Showing posts with label perempuan. Show all posts
Showing posts with label perempuan. Show all posts

Sunday, May 05, 2013

mengingat kartini, mengingat perempuan Talang Mamak

1



.. sekedar catatan di hari Kartini..

Terlepas dari segala kontroversi tentang mengapa hari Kartini, mengapa Kartini, dsb; menurut saya Kartini adalah sosok perempuan yang patut diteladani. entah berjuang dengan pena, senjata, dsb; perempuan berkontribusi dalam sejarah bangsa ini. yang membedakan Kartini adalahdia menulis... 

perjumpaan saya dengan perempuan Talang Mamak dan mengenal mereka lebih dekat dimulai ketika penelitian saya berlangsung.

Kartini memperjuangkan pendidikan bagi perempuan, namun di Talang Mamak pendidikan adalah hal yang sulit, bagaimana tidak sekolah dasar ada di sana (Durian Cacar) di tahun 1997. Inipun tidak bisa diakses oleh semua masyarakat. Seorang gadis kecil (10 tahun) berkata "ndak ada yang bawa awak ke sekolah, sekolah jauh. Orang tua awak tak bolehkan awak pegi." Pendidikan pun masih dirasa sebagai sesuatu yang tidak terlalu penting bagi sebagian orang. Pun demikian tentu saja berbeda dengan situasi sebelumnya dimana perempuan tidak memiliki akses terhadap pendidikan, terkait dengan jauhnya sekolah dan realitas bahwa mereka tinggal di dalam hutan. Kini situasi berubah, masuknya perusahaan ke lokasi mereka, dibangunnya jalan, serta perkembangan daerah di sekitar mereka telah mengubah daerah mereka menjadi lebih 'terbuka'. 

Sayangnya perubahan di lingkungan mereka tidak serta merta membawa ke kehidupan yang lebih baik. Sebagian besar orang Talang Mamak di Durian Cacar kehilangan tanahnya, entah dijualnya atau diambil oleh PT yang masuk ke wilayah mereka. Perempuan yang semula memiliki hak atas tanah, di beberapa kasus kehilangan haknya. Terkadang suaminya menjual tanahnya tanpa memberitahunya. bisa dibayangkan, tanpa tanah, tentu saja kehidupan masyarakat yang sulit bertambah sulit. Di beberapa kasus, perempuan menjadi lebih bergantung pada suaminya, karena sulitnya pencaharian. Dalam perbincangan saya dengan beberapa perempuan, mereka sangat takut jika suaminya meninggalkan mereka terlebih bagi mereka yang sudah tidak memiliki keluarga dekat. Ini tentunya menunjukkan bawa perempuan bukanlah single category. Latar belakang yang dimiliki memiliki andil terhadap kerentanan dan juga perilaku mereka. 




Sunday, January 22, 2012

Merindukan Ruang Publik yang Aman bagi Perempuan (dan Anak)

0

Miris hati saya, ketika pagi ini membaca sebuah tulisan "Mahasiswi Diperkosa Lima Pemuda di Angkot." Ini mengingatkan saya pada status mbak Mariana Amiruddin di FB beberapa hari yang lalu,
"Seorang ibu menunggu angkot di pinggir kota sendirian. Datanglah angkot kosong gelap. Saya panik, langsung saya beri tumpangan. Kebetulan satu tujuan. Lalu kami berdua diskusi soal perkosaan di angkot dan situasi kota yg memburuk."
Saya menjadi bertanya, apakah mimpi tentang ruang publik yang aman bagi perempuan (dan anak) masih jadi mimpi belaka di negeri ini? Beberapa waktu yang lalu ketika bertemu dengan kelompok perempuan di Turku (red: Finlandia), mereka bertanya apa yang membedakan hidup di Indonesia dengan di Turku dari perspektif saya yang perempuan. Agak sulit menjawabnya, ada beberapa hal yang membuat saya turn green with envy dengan keadaan di sini. Salah satunya adalah rasa aman, meski malam atau dini hari saya masih berada di jalan yang sepi dan gelap, sendirian; namun saya merasa aman. Tidak ada street harassment yang biasa saya dapati atau saksikan di Indonesia, entah itu komentar dari sekelompok orang (laki-laki) atau siulan. Hal yang sama saya rasakan ketika berada di Thailand, meski tentu saja kadar rasa amannya tidak setinggi di sini. 

 Saya kemudian bertanya, akankah ketika kembali nanti ke negeri tercinta ruang publik sudah menjadi tempat yang aman bagi perempuan. Ketika berbicara tentang ruang publik dan rasa aman, kemudian saya teringat dengan pernyataan seorang tokoh yang menyalahkan busana yang dipakai perempuan. Ah.. kembali perempuan menjadi yang paling bertanggungjawab atas urusan moral. Tubuh perempuan disalahkan dan bagaimana perempuan berbusana menjadi hal yang dituding sebagai penyebab ketidakamanan pada perempuan. Permasalahannya apakah pada perempuan dan busana yang dikenakannya atau pada cara pandang yang menjadikan perempuan sebagai objek? Ketika masyarakat saling menghormati dan menghargai satu sama lain, tidak memandang pihak yang lain sebagai objek, ruang publik yang aman bagi perempuan (dan anak) bahkan bagi siapa pun tentu saja bukan impian belaka. ----

Thursday, March 10, 2011

Sebuah Apologi: Catatan di Hari Perempuan Internasional

0


Pengantar
Tulisan ini adalah apologi saya atas komentar saya di sebuah situs jejaring sosial. Kenapa apologi, karena ini adalah pembelaan saya atas kata-kata saya, yang saya sadari sulit untuk saya lempar ulang di situs tersebut.

8 Maret lalu adalah peringatan 100 tahun hari perempuan internasional. Perayaan ini bukan tanpa sebab, ini adalah penghargaan atas perjuangan perempuan biasa yang meretas sejarah, sebuah perjuangan untuk berpartisipasi dalam masyarakat. 100 tahun yang lalu pada tanggal 8 Maret 1911, untuk pertama kalinya hari perempuan sedunia diperingati (meski tentu saja perjuangan perempuan tidak dimulai dari tahun itu) di Austria, Denmark, Jerman dan Swiss. Lebih dari satu juta perempuan dan laki-laki turun ke jalan menuntut hak untuk ikut serta dalam pemilu dan posisi di dalam pemerintahan , mereka menuntut hak bekerja, kesempatan memperoleh pelatihan, dan penghapusan diskriminasi dalam pekerjaan. Peringatan ini tentu saja penghargaan dan dukungan terhadap perjuangan perempuan, tidak hanya masa lalu, tapi juga masa kini dan masa yang akan datang. Perjuangan itu masih berlanjut.


Berikut adalah apologi saya:

Harapan di "hari Perempuan Sedunia" : semoga tahun depan atau tahun ini ada yang mencetuskan "Hari Laki-Laki Sedunia"


harus ada sejarahnya kenapa, jangan terus karena perempuan punya hari perempuan dan laki-laki mempertanyakan harinya..


Sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya, bahwa butuh waktu berabad-abad bagi perempuan untuk mendapatkan haknya (hak memilih, hak bekerja, hak atas pendidikan, dsb), karena tentu saja laki-laki telah lebih dahulu mendapatkan haknya. Hari perempuan adalah penghargaan serta dukungan bagi perjuangan perempuan.

Bagaimana dengan keadaan perempuan? Berdasarkan data UNIFEM, secara global 6 dari 10 perempuan mengalami kekerasan fisik atau seksual. Di Indonesia, berdasarkan data Komnas Perempuan tahun 2004, terdapat 5.934 kasus kekerasan menimpa perempuan. Meski jumlah ini meningkat dari tahun sebelumnya, tentu saja tidak menjadi indikator bahwa kekerasan terhadap perempuan meningkat. Berdasarkan data Bank Dunia, secara global kesempatan mendapatkan pendidikan masih didominasi laki-laki, dimana 65% anak perempuan tidak sekolah. Di Indonesia, tingkat kematian ibu masih cukup tinggi yaitu 307 per 100.000 kelahiran hidup, yang masih menjadi salah satu yang tertinggi di kalangan negara-negara ASEAN (Kompas). Berdasarkan data World Bank di tahun 2002, angka melek huruf perempuan adalah 86%, sementara laki-laki 94%. Juga lebih pendeknya jumlah waktu rata-rata sekolah perempuan daripada lelaki (6,5 berbanding 7,6 tahun).

Hari perempuan bukan sekedar simbolis saja, namun penghargaan serta dukungan bagi perjuangan perempuan, untuk kondisi yang lebih baik. Dan, masihkah anda bertanya mengapa? Ketika secara pribadi mempertanyakan diskriminasi yang mungkin pernah dialami atas nama jenis kelamin, mungkin anda bisa berefleksi sendiri. Pernahkah anda diperlakukan tidak adil, hanya karena anda laki-laki atau perempuan? Menjadi teringat diri saya, dalam sebuah acara keluarga ketika saya kecil. Saya iri dengan saudara laki-laki saya yang bisa bermain, sementara saya dan (tentu saja) saudara-saudara perempuan saya yang lain harus membantu memasak dan mempersiapkan makanan.

"Hari Perempuan Men-traktir Sedunia" .....

Sengaja saya menanggapi joke ini. Di Indonesia, jumlah remitan PRT migran (yang semuanya adalah perempuan) mencapai 7,135 miliar dolar AS (lebih lanjut bisa dibaca di sini) Jumlah yang tidak sedikit, bahkan penyumbang devisa negara terbesar kedua. Uang dari cucuran keringat perempuan tersebut digunakan untuk membiayai pembangunan. Jadi, tidakkah merasa sudah 'ditraktir' perempuan. Ini tentu saja belum termasuk dengan pekerjaan tidak berbayar (baca: reproductive work) yang dilakukan perempuan.

Sunday, February 27, 2011

PRT migran oh PRT migran...

3

Beberapa hari lalu publik dikejutkan dengan pernyataan Ketua DPR RI, Marzuki Alie yang menyatakan
"PRT TKW itu membuat citra Indonesia buruk."
Lebih lanjut Marzuki menyarankan untuk menghentikan sementara pengiriman TKW PRT, yang dinyatakannya sebagai pendapat pribadi.
"Saya setuju hentikan TKW PRT untuk sementara waktu. PRT sebaiknya tidak kita kirim karena memalukan. Sebaiknya dihentikan. Ini pendapat pribadi."
Pernyataan yang mengundang kontroversi itu tak ayal menuai berbagai protes. Bagaimana tidak, karena pernyataan itu mencerminkan bagaimana PRT TKIP dipandang, terlebih oleh seorang pejabat publik yang sayangnya adalah ketua DPR. (sengaja saya menggunakan singkatan TKIP atau Tenaga Kerja Indonesia Perempuan, karena menurut saya istilah TKW mendiskriminasikan TKIP, ketika istilah TKI digunakan untuk laki-laki sementara perempuan menggunakan istilah TKW-Red).

Berdasarkan data migrancare, tidak kurang 4.5 juta warga Indonesia berada di luar negeri debagai pekerja migran (TKI. Ini artinya sekitar 2% penduduk Indonesia (mengambil angka sensus penduduk 2010, jumlah penduduk Indonesia 237.556.363) mengadu nasib sebagai TKI, dan jumlah ini tentu saja terus bertambah, mengingat hampir setiap tahun sekitar 600-700 ribu orang diberangkat ke luar negeri (http://www.tkiindo.co.cc) Sebagian besar dari mereka (sekitar 70%) adalah perempuan yang bekerja di sektor domestik (PRT) dan manufaktur, sementara laki-laki kebanyakan bekerja sebagai buruh perkebunan, konstruksi, transportasi dan jasa (migrantcare).

Sebutan pahlawan devisa rasanya cukup tepat, bagaimana tidak dari cucuran peluh mereka tersumbang kurang lebih Rp 24 triliun bagi devisa negara yang berasal dari remitan (Kemenakertrans). Sementara itu, berdasarkan penelusuran Kantor Bank Indonesia (KBI) Surabaya, jumlah remitan pada tahun 2010 mencapai 100 triliun (Republika). Bahkan menurut data migrancare, pada tahun 2010, jumlah remitan mencapai 7,135 miliar dolar AS, atau lebih besar dari jumlah bantuan pembangunan negara asing (1,2 miliar dolar AS). Jumlah yang tidak sedikit tentu saja, dan TKI menjadi penyumbang devisa nomor 2 untuk negara.

Membincangkan persoalan PRT migran cukuplah kompleks, dan hal ini tidak bisa dipandang dari sisi kurangnya skill PRT Indonesia atau perilaku negatif dari PRT migran, sebagaimana yang disampaikan Marzuki Alie. PRT migran menjadi alternatif upaya karena negara belum mampu menyejahterakan warganya. Tidak hanya itu saja, PRT migran yang semuanya perempuan menghadapi berbagai bentuk diskriminasi, misalnya saja diskriminasi dalam pengupahan, rentan terhadap kekerasan baik fisik atau seksual serta jam kerja yang cukup panjang. Ini belum ditambah dengan rentannya posisi mereka sebagai pekerja migran yang berhadapan dengan sistem keimigrasian yang restriktif dan belum terlindunginya hak-haknya dalam UU tenaga kerja.

Menjadi teringat percakapan saya beberapa waktu lalu dengan mantan PRT migran yang menceritakan panjangnya jam kerja yaitu dari jam 5 pagi hingga jam 2 pagi, hampir 21 jam! Hal ini tentu saja hanya dialami perempuan, karena sektor domestik (rumah tangga) yang telah dikonstruksikan sebagai ranah perempuan. Tingginya permintaan akan sektor domestik ini kemudian menyebabkan feminisasi migrasi, dimana sebagian besar migran adalah perempuan. Bahkan salah satu dampak hal ini, pihak PJTKI lebih memudahkan TKIP dibanding TKIL, misalnya saja dengan membebankan biaya yang cukup besar bagi calon TKIL yang akan berangkat ke luar negeri. Tuntutan ekonomi kemudian menjadikan banyak perempuan mengadu nasib di luar negeri sebagai PRT migran. Ketiadaan skill dan rendahnya pendidikan membuat mereka kurang bisa mengakses sektor profesional. Pertanyaannya, apakah menjadi PRT migran adalah cita-cita mereka? Bagaimana dengan negara, apakah sudah mampu menyediakan pendidikan murah berkualitas bagi warganya?

Menimpakan kesalahan pada PRT migran mencerminkan kesan 'cuci tangan' pemerintah. Bukankah menjadi kewajiban pemerintah untuk memastikan bahwa setiap PRT yang bekerja di luar negeri memiliki keterampilan yang memadai? Dan bukankah kewajiban negara untuk melindungi warga negaranya? termasuk mereka yang bekerja di luar negeri.

Menghentikan pengiriman PRT migran untuk sementara waktu bukanlah jalan keluar yang cerdas, terlebih ketika negara belum mampu memberikan kesejahteraan bagi warganya. Cita-cita negara kesejahteraan sebagaimana tertuang dalam konstitusi nasional tampaknya masih jauh dari realitas. Menghentikan pengiriman PRT migran sementara waktu bahkan boleh jadi mempertinggi jalur ilegal pengiriman PRT migran. Hal ini juga jelas pelanggaran hak untuk bekerja.

Sudah seharusnya pemerintah mulai membuat langkah-langkah strategis dan serius serta kebijakan pro rakyat. Pengakuan terhadap Pekerja Rumah Tangga migran dan juga komitmen perlindungan yang serius adalah wajib hukumnya. PRT migran bukanlah komoditas, dan perlu adanya perlindungan komprehensif terhadap mereka, misalnya saja dengan meningkatkan kualitas pekerja rumah tangga, memastikan PRT migran bekerja di tempat yang aman, kontrol terhadap PJTKI, serta memaksimalkan diplomasi perlindungan terhadap TKI. Hal ini tentu saja perlu dibarengi dengan upaya-upaya peningkatan kesejahteraan warga negara seperti penciptaan lapangan kerja, kebijakan sosial bagi warga negara, pendidikan gratis dan berkualitas, dan tentu saja pemberantasan korupsi.

Pustaka:
"Jumlah TKI di LN Capai 3 Juta," di http://us.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2006/bulan/03/tgl/20/time/162544/idnews/562163/idkanal/10 (27/02/2011).
http://www.migrantcare.net/
"Marzuki Alie: TKW PRT Buat Citra Indonesia Buruk," di http://us.detiknews.com/read/2011/02/26/135623/1579983/10/marzuki-alie-tkw-prt-buat-citra-indonesia-buruk (26/02/2011)
"Pernyataan Marzuki Alie Soal PRT Diprotes Keras," di http://us.detiknews.com/read/2011/02/26/204930/1580172/10/pernyataan-marzuki-alie-soal-prt-diprotes-keras (27/02/2011)
"Marzuki Tak Pantas Hina Pahlawan Devisa," di http://us.detiknews.com/read/2011/02/27/042027/1580222/10/marzuki-tak-pantas-hina-pahlawan-devisa (27/02/2011)
"Tahun 2010, TKI kirim Uang Rp 100 Triliun," Republika, di http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/nasional/10/12/05/150754-tahun-2010-tki-kirim-uang-rp-100-triliun (27/02/2011)



Thursday, February 17, 2011

Surname

1

Mengisi sebuah formulir kadang menjadi hal yang menjengkelkan ketika mereka meminta surname. Nama saya terdiri dari 3 kata, dan semuanya adalah nama saya. Tidak ada surname di nama saya, namun karena ketentuan yang berkiblat barat itu, jadilah kata kedua pada nama saya adalah middle name dan kata terakhir sebagai surname.

Adalah hal yang menarik membincangkan surname ini. Teman saya memiliki surname yang merupakan nama keluarganya. Ketika dia dipanggil Mrs. X, dia menolak karena itu berarti dia adalah istri dari ayahnya. Lain halnya dengan teman saya yang berasal dari negeri matador, dia memiliki 2 surname, yaitu nama belakang ibu dan ayahnya dimana keduanya dipakai secara bersamaan.

Hal ini menjadi menarik ketika saya berdiskusi dengan teman saya dari Jepang, yang meneliti tentang surname di Jepang. Di Jepang, ketika seseorang menikah, mereka diwajibkan untuk mengganti nama belakangnya. Bisa nama belakang istri ataupun suami, tergantung kesepakatan berdua. Namun tentu saja, kebanyakan menggunakan nama belakang pihak laki-laki. Persoalan menjadi rumit, ketika keduanya bercerai dan dalam kasus sang anak ikut istri. Ketika suami menikah lagi, kemudian meminta sang anak melepaskan nama keluarganya dan mengganti dengan nama keluarga ibu. Nama adalah identitas, sehingga tidak terbayangkan ketika sudah puluhan tahun menggunakan nama tersebut dan diminta untuk menggantinya.

Bagaimana di negara ini? Saya melihat kecenderungan dari teman-teman perempuan saya secara informal menggunakan nama belakang suaminya (yang padahal bukan surnamenya). Sekedar catatan, tentu saja bukan berasal dari masyarakat patrilineal macam batak atau matrilineal macam minangkabau. Entahlah apa maksudnya. Namun bagi saya, timbul pertanyaan, kenapa harus perempuan yang menggantinya? kenapa bukan laki-laki?

Sebelum berkeluarga, beberapa perempuan menggunakan nama keluarga (ayah)nya di belakang namanya. Ketika dia kemudian pergi ke luar negeri, orang menyapanya dengan Ms. ....(nama keluarganya). Ketika kemudian dia berkeluarga, dia kemudian menggunakan nama suaminya di nama belakangnya. Tidak hanya itu saja, orang-orang kemudian memanggilanya dengan sebutan Bu.... (nama suaminya). Atau ketika anaknya lahir kemudian disapa dengan ibunya .... (nama anaknya). Aah.. kapan dipanggil dengan namanya sendiri?

Orang boleh jadi berkata, apalah arti sebuah nama mengutip kata Shakespeare. Tapi bukankah nama adalah identitas seseorang?

Wednesday, February 16, 2011

How Far Can You Go, a note from Pornography Law

0

UU Pornografi kembali mencuat ketika sidang Ariel dilakukan, bagaimana tidak karena Ariel menjadi selebritis pertama yang dikenai hukuman berdasarkan UU Pornografi.

Pro kontra tentang UU Pornografi hingga kini masih ditemui, meski tentu saja tidak sekencang ketika awal-awal Undang-Undang ini disahkan. Meski banyak yang kontra, banyak pula yang mendukung dikeluarkannya undang-undang ini.

Lahirnya undang-undang ini (katanya) tidak lepas dari keprihatinan akan banyaknnya anak-anak yang mengakses pornografi atau menjaga moralitas bangsa. Pun demikian, hal ini mengandung ambiguitas, bukankah kita sudah memiliki UU Perlindungan Anak dan UU ITE? dan apakah persoalan moralitas bisa dibawa ke ranah hukum?

Menyimak pasal 1 ayat 1 dalam UU tersebut tentang definisi pornografi:
Pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya
melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum,
yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan
dalam masyarakat.


apakah definisi norma kesusilaan? siapakah yang menentukan? jikalau yang menentukan adalah masyarakat, masyarakat yang mana? Kita tidak bisa lantas mengenaralisasi, sebagaimana diketahui negara kita terdiri dari banyak etnis dan budaya, singkat kata sangat pluralis. Bagaimana menentukan definisi norma kesusilaan dalam masyarakat yang sangat plural? Selama ini kita mendefinisikan norma kesusilaan terkait dengan adat atau agama, dan itu tentu saja menjadikan adanya perbedaan dalam mendefinisikan norma kesusilaan.

Diawali dengan definisi yang kabur dan sangat multitafsir, menjadi pertanyaan bagaimana implementasi Undang-undang di masa datang. Bisa dipastikan apabila definisi yang kelak dipakai adalah definisi kelompok yang suaranya paling kencang, dan apakah itu menggambarkan masyarakat?

Dalam penjelasan pasal 4 ayat 1 huruf (a) disebutkan bahwa:
Yang dimaksud dengan "persenggamaan yang menyimpang" antara lain persenggamaan atau aktivitas seksual lainnya dengan mayat, binatang, oral seks, anal seks, lesbian, dan homoseksual.


Menyimak pasal tersebut, homoseksual adalah deviant, dan negara hanya mengakui heteronormativity. Persoalan seksualitas adalah persoalan privat dan dengan memberikan pelabelan tersebut, negara telah memasuki ranah pribadi seseorang.

Undang-undang tersebut, tidak memiliki sensitifitas akan trafiking dan bahkan persetujuan pun bisa jadi karena keterpaksaan, ancaman dan sebagainya. Hal ini terlihat dalam pasal 8:
Setiap orang dilarang dengan sengaja atau atas persetujuan dirinya menjadi objek atau model yang mengandung muatan pornografi.


Undang-undang ini jelas mengatur masalah moralitas terkait dengan seksualitas. Persoalannya adalah di masyarakat Indonesia yang patriarkal ini, ketika berbicara mengenai seksualitas, maka yang ditunjuk adalah perempuan. Artinya, mengatur seksualitas adalah mengatur/ mengontrol tubuh perempuan.


Undang-Undang pornografi dapat diunduh di sini. Lebih lanjut tentang UU pornografi dapat dilihat di sini.


Monday, February 07, 2011

sexual contract

0

One of the most popular theory on state is social contract theory. Thomas Hobbes (1651), John Locke (1689), and Jean-Jacques Rousseau (1762) are the most famous philosophers of contractarianism. The notion of this theory is the society give their sovereignty to the state in order to receive or maintain social order through role of law. Meaning that the basis the basis of government is consent, in where people are agree to be roled and government are entitled to role.

Thomas Hobbes (1588-1679) came with the idea of a state of nature (anarchy condition), and in that condition, there are no social goods. In order to produce the things that not exist, social cooperation is needed so people will not harm each other and people must rely on one another to keep their agreement. It means that in order to have social order, people need government and in establishing government people give some of their personal freedom, and give authority to the government to enforce laws and agreements. So, those who living under a government are parties to a social contract.

Social contract theory argue that “the state exists to enforce the rules necessary for social living, while morality consists in the whole set of rules that facilitate social living”. (Rachels, p. 144) Thus, government is needed to enforce the basic rules of social living (e.g. don’t rob people, don’t break agreements), while morality may encompass some rules that are important for social living but are outside the scope of the state (this might include, for example, “Don’t insult people for no reason”.)


Sexual contract is the critic to social contract theory. She address that admittedly women are found as equals in their relations with men, but they are not part of that group which later contracted in to form the political state. Social contract theory does not challenge the original patriarchal right. As Sir Robert Filmer claimed that political power is paternal power. Meaning that when they talking about individual, they talking about individual man. Women is missing in the social contract theory. If men getting their right because they give their contract to the state, so women having their right because of their relations with men.

If social contract is the story of freedom, sexual contract is the story of subjection. The story of sexual contract is to show how sexual difference (whether man or woman and the contraction) as political difference, is central to the civil society (Pateman).

to be continue....


References
"Social Contract Theory," available online on http://www.csus.edu/indiv/g/gaskilld/ethics/sct.htm (03/03/2011)
"Social Contract Theory," available online on http://www.politicalphilosophy.info/socialcontracttheory.html.

Sunday, February 06, 2011

violence against women

0

human rights are women's right

(UN Conferences)

What come on your mind, when somebody ask you about violence against women? have you ever experience?
Did you know that based on UNIFEM data, globally, up to six out of every ten women experience physical and/or sexual violence in their lifetime. A World Health Organization study of 24,000 women in 10 countries found that the prevalence of physical and/or sexual violence by a partner varied from 15 percent in urban Japan to 71 percent in rural Ethiopia, with most areas being in the 30–60 percent range. For more figure around the world, you can click here.

Women are situated on the context of legal pluralism, meaning that a single standard law may not operative.

Saturday, January 15, 2011

membincangkan poligami

0

Selama beberapa hari berjalan-jalan ke beberapa tempat, ada banyak pengalaman yang saya peroleh dan tentu saja ada pertanyaan yang mengusik saya. Ketika berada di Vietnam, beberapa orang menanyakan tentang poligami di Indonesia. Mereka berpikir bahwa semua laki-laki di Indonesia memiliki istri lebih dari satu. Bahkan menurut seorang ibu di hotel yang saya inapi, persoalan poligami di Indonesia sempat dimuat di surat kabar di Vietnam. Tidak heran jika mereka berpikir bahwa poligami adalah hal yang lumrah bagi semua laki-laki di Indonesia (dan juga di negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam). Nabi Muhammad memiliki istri lebih dari 1, hal ini yang selalu menjadi justifikasi dilakukannya poligami. Padahal tidak demikian.

Membincangkan poligami boleh jadi adalah hal yang terlalu sering diulas. Akhir-akhir ini poligami memang sering diperbincangkan, entah karena dilakukan oleh dai kondang dll. Beberapa argumen tentang poligami antara lain: poligami bisa dilakukan apabila suami bisa berlaku adil terhadap istri-istrinya. Bisakah demikian?

Hal lain adalah atas persetujuan istri pertama. Hal ini menurut saya debatable juga. Apakah persetujuan itu, memang benar-benar pilihannya? Namun berbicara tentang pilihan, benarkah itu adalah pilihan? Bagaimana membedakan pilihan, apabila pikiran atau mindset sudah terbentuk oleh budaya, sehingga tidak melihat alternatif lain? Apakah bisa disebut pilihan?

Thursday, October 07, 2010

ketika perempuan bersama

0

picture: google images 

Sudah lebih dari dua bulan ini saya berada di salah satu perguruan tinggi di negeri Gajah Putih untuk menimba ilmu. Di sini saya bertemu dengan banyak orang dengan berbagai macam etnis, kebangsaan dan budaya. Demikian halnya dengan mahasiswa Indonesia yang belajar di sini, berasal dari berbagai macam latar belakang, baik itu suku, profesi atau agama. Terasa sekali pluralitas di sini, tidak salah jika kemudian kampus ini mengusung slogan multinational community. Berbicara tentang pluralitas, menjadi teringat perbincangan dengan teman saya. Mereka terkejut ketika saya menceritakan bahwa Indonesia terdiri dari kurang lebih 17.000 pulau, dengan berbagai suku dan memiliki lebih dari 300 bahasa lokal. Saya bangga dengan keragaman yang dimiliki Indonesia, dan di perantauan semangat nasionalisme itu menjadi semakin kuat. Keragaman tidak hanya menjadi milik suatu daerah atau negara, keragaman juga dimiliki perempuan. Mengapa secara spesifik saya membahas perempuan? Tentu saja bukan semata karena saya belajar Gender and Development, namun karena isu pluralisme (keberagaman) sangat dekat dengan isu perempuan. Melalui pluralisme, keragaman perempuan diakui dan melalui pluralisme, perempuan memperoleh hak-haknya karena kebenaran tidak hanya milik laki-laki, tetapi juga perempuan. Di kampus tempat saya menuntut ilmu, kami-perempuan, berasal dari negara yang berbeda, agama yang berbeda, budaya yang berbeda dan juga status sosial ekonomi yang berbeda, bahkan mungkin orientasi seksual yang berbeda. Namun secara biologis kami sama, perempuan, dan kami merasakan hal yang sama sebagai perempuan. Kami menolak dan menentang pelecehan seksual, dan bersama kami menyadari pula bahwa pelecehan seksual tidak hanya dialami perempuan saja, namun mayoritas korban adalah perempuan. Meskipun di sini menganut zero tolarance for sexual harassment, namun tidak lantas membuat pelecehan seksual raib. Pelecehan seksual masih saja terjadi, dan mungkin sebagaimana fenomena gunung es, karena rata-rata korban tidak mau menceritakan pengalamannya. Entah karena merasa malu, dan tidak ingin kasusnya tersebar luas atau tekanan dari pihak lain. Mendukung korban berbicara saja tidak cukup untuk melawan pelecehan seksual, karena yang lebih penting adalah mendukung budaya yang saling menghargai antara perempuan dan laki-laki, diantara laki-laki dan diantara perempuan. Tanpa adanya rasa saling menghargai, mustahil menciptakan lingkungan yang harmoni. Terlebih dengan adanya berbagai perbedaan. Inilah yang kemudian mendorong kami untuk memulai mengorganisasikan diri, membentuk wadah untuk berkumpul dan bercerita. Ketika perempuan bersama, dengan segala perbedaan yang dimiliki masing-masing individu kami merasa kuat dan bersemangat untuk mendukung dunia yang ramah perempuan, ramah anak dan ramah pada kelompok terpinggirkan lainnya. Mungkin ini sebuah awal dari perjuangan yang entah kapan akan selesainya, namun niat baik akan menuai hasil yang baik juga bukan? Semoga

Saturday, October 02, 2010

patriarchy

0

source: thefiendish.com


What is patriarchy?
There are a lot of concepts to explain patriarchy, in the different ways. Nevertheless, patriarchy has 2 similar core elements, first, gender inequality and second is a degree of systematicity. The first core can be expressed as the domination of men over women. The domination here is based on the social dimension, not using biological categories. If patriarchy using biological categories, the way to overcome patriarchy is by eliminating one category it means the destruction of human species.



Patriarchy derived from patriarch, meaning: elder men. There are some definitions of patriarchy:
principle of the dominion of senior males over juniors, male as well as female, in the family, tribe or nations, allied with the reckoning of descent in the male line. (dictionary)

a set of social power relation that enable men to dominate women (sokoloff).

a system of social structures and practices in which men dominate, oppress and exploit women (walby).

To sum up, patriarchy can be defined as a system of social structures and practices in which enable men dominate, oppress and exploit women as well as the domination of the older to the younger.

Walby defined 6 structures of system of patriarchy: patriarchal relations in household work, patriarchal relations in paid work, a patriarchal state, male violance, patriarchal relations in sexuality and patriarchal relations in cultural institutions.

There have been two major form of patriarchy (Walby): public and private. Private patriacrhy is based upon household production, in where a patriarch controlling women individually and directly in the relatively private sphere of the home. While public patriarchy is based on structures rather than the household.


more, click here

Tes Keperawanan Sebagai Syarat Masuk Sekolah: Kalau Tidak Perawan Tidak Boleh Sekolah?

0

"Tiap-tiap warga negara berhak atas pendidikan dan pengajaran."
(UUD 1945)


Anggota dewan dari salah satu provinsi di Indonesia mengeluarkan wacana tentang tes keperawanan sebagai syarat masuk sekolah. Hal ini menuai kontroversi, ada yang pro dan banyak pula yang kontra. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, jika saya tidak perawan, apakah saya bisa sekolah?

Berbincang tentang tes keperawanan, menurut saya menjadi sangat diskriminatif. Bagaimana tidak, karena tes tersebut hanya ditujukan kepada anak perempuan. Dan tentu saja, hal ini melanggar hak anak dan hak asasi manusia, serta sebagaimana pasal dalam UUD 1945 yang saya kutip dimuka, sangat tidak konstitusional, karena tiap-tiap warga negara berhak atas pendidikan dan pengajaran tidak peduli perawan atau perjaka, semua tanpa terkecuali.

Keperawanan perempuan dipandang tinggi di masyarakat, inilah yang kadang membuat saya tersenyum kecut. Bukankah seharusnya tidak ada pembedaan antara laki-laki dan perempuan? Apa bedanya antara laki-laki dan perempuan. Jika kemudian memandang tes keperawanan adalah solusi akan maraknya pergaulan bebas, adanya tes tersebut membuat perempuan seakan sebagai 'terdakwa' akan maraknya pergaulan bebas. Bagaimana dengan laki-laki?

Jika kemudian tes tersebut diterapkan, bagaimana dengan anak perempuan yang tidak lolos tes tersebut? Mereka akan mengalami beban agenda. Tidak bisa sekolah sudah pasti, dan bagaimana mereka mengakses pendidikan? Siapa yang kemudian bertanggung jawab atas hal tersebut? Yang kedua adalah stigma masyarakat terhadap dirinya. Anak-anak relatif rapuh dibandingkan dengan orang dewasa, dan sudah pasti beban mental dan psikologis yang ditanggungnya dapat berakibat pada kejiwaannya. Dan ini hanya akan dialami oleh anak perempuan...

Terkait dengan tingginya pergaulan bebas di kalangan remaja yang sangat dikhawatirkan para orang tua, tes keperawanan sebagai syarat masuk sekolah bukanlah solusi yang bijak. Hal ini justru mengarah pada diskriminasi dan merugikan anak. Bukankah sebagai orang dewasa kita harus memikirkan yang terbaik untuk anak? Pendidikan seks untuk remaja dapat menjadi alternatif yang bijak dalam menangkal maraknya pergaulan bebas, terlebih di tengah masifnya terpaan informasi dan komunikasi melalui media massa yang dapat dengan mudah diakses oleh semua orang.

TOLAK TES KEPERAWANAN SEBAGAI SALAH SATU SYARAT MASUK SEKOLAH

Sunday, September 27, 2009

Menikah itu Pilihan

1


Pertanyaan "Kapan menikah?" rasa-rasanya menjadi pertanyaan yang acap dilontarkan kepada saya. Dan jawaban saya saya adalah, marriage is not yet across on my mind. Saya belum ada gambaran tentang hal itu, bagi saya menikah itu adalah pilihan. Dalam agama yang saya anut pun menikah itu sunah, bukan wajib. Now I am single, and I am happy (beberapa orang mengatakan hal tersebut hanya untuk menghibur diri saja, benarkah? saya rasa tidak).

Menikah membawa konsekuensi yang berbeda antara laki-laki dan perempuan. Bagaimana tidak, perempuan yang belum juga menikah kemudian dianggap sebagai 'perawan tua' atau 'tidak laku' (hello memangnya barang dagangan, sehingga dibilang tidak laku?). Ini tentu saja berbeda dengan laki-laki, yang rasa-rasanya jarang diperlakukan demikian.

Alasan yang paling rasional, mengapa orang-orang menanyakan hal tersebut kepada perempuan, menurut saya terkait dengan persoalan kesehatan reproduksi. Umur perempuan yang relatif aman untuk melahirkan adalah 19 - 35 tahun. Ini artinya, perempuan yang diharapkan menikah pada rentang umur tersebut. Ini terkait dengan salah satu alasan pernikahan, yaitu melanjutkan keturunan.

Menikah adalah pilihan, dan tentunya ini harus dihormati oleh semua orang. Sehingga jangan sampai kemudian seorang perempuan menikah karena tidak ingin menendapatkan label yang buruk di masyarakat. Ini artinya, apa yang kita lakukan adalah berdasarkan apa yang kita inginkan dan kita yakini, bukan karena mengikuti apa kata orang.

Saturday, June 06, 2009

sejenak berbincang nasib BMI

0

Fenomena buruh migran kemudian memunculkan apa yang dinamakan dengan feminisasi migrasi. Dimana banyak perempuan kemudian menjadi buruh migran di beberapa negara. Alih-alih memperoleh rezeki yang sulit didapatkan di negeri sendiri tidak jarang buruh migran ini mengalami eksploitasi di tempat kerja. Eksploitasi tubuh atau kerja terkadang ditambah pula dengan kekerasan yang dilakukan oleh suami. Keadaan semacam ini saya jumpai dalam perjumpaan saya dengan beberapa kawan saya yang menjadi BMI.

Sebut saja namanya S. Seorang perempuan yang tinggal di sebuah kota di kawasan Pantai utara di Jawa Barat. Kemiskinan kemudian membuat banyak perempuan di desa tempat tinggalnya beramai-ramai ke luar negeri untuk bekerja. Entah itu melalui jalur legal ataupun ilegal. Demikian halnya dengan S yang kemudian berangkat sebagai BMI di sebuah negara di kawasan timur tengah.

Suami S mengizinkannya berangkat ke luar negeri sebagai BMI. Bagi perempuan lebih mudah bekerja di luar negeri ketimbang laki-laki. Berbeda dengan laki-laki yang harus membayar sejumlah uang dengan nominal yang cukup tinggi. Bagi perempuan biaya yang dikeluarkan jauh lebih rendah. Selain itu, perempuan lebih banyak dibutuhkan karena sektor yang membutuhkan adalah rumah tangga dan dengan upah yang rendah karena pekerjaan di ranah domestik belum dihargai. Ini tentu saja tidak lepas dari adanya ketidakadilan gender, dimana perempuan diperankan dengan peran domestik.

Sebagaimana dengan nasib BMI lainnya, S bekerja siang malam dengan sedikit waktu untuk beristirahat. Setiap bulannya S mengirimkan uang kepada suaminya. Berkat kiriman uang dari S, suami S membeli sebuah rumah dan dia mengatakan pada S akan mengikuti pemilihan lurah di desanya. Bukan rahasia lagi jika untuk menjadi calon lurah harus mengeluarkan uang yang cukup banyak. Alhasil uang yang dikirimkan S tersedot untuk hal itu, dan malangnya suami S kalah dalam pemilihan lurah.

2 tahun berlalu, dan kontrak kerja S pun habis sehingga S memutuskan untuk pulang. Ketika pulang, betapa kecewanya S ketika mengetahui bahwa suaminya telah menikah lagi dan S tidak diperbolehkan tinggal di rumah yang dibeli melalui hasil keringatnya. Hasil kiriman S selama bekerja di luar negeri habis tak bersisa, bahkan terusir dari rumahnya sendiri. Dengan nasibnya itu, S kemudian memutuskan untuk kembali ke luar negeri.

Masih di kota yang sama. Sebut saja namanya N. Untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya, apalagi penghasilan suaminya sebagai pengayuh becak yang tidak seberapa membhuat N memutuskan untuk bekerja di luar negeri sebagai PRT. Belum 2 tahun masa kerjanya, N kembali ke kampungnya dalam keadaan hamil. Majikannya telah menghamilinya dan tidak mau bertanggung jawab. Bahkan majikan perempuannya memukulinya karena hal tersebut. N tidak kuasa membela diri, dan dia dipulangkan. Beruntunglah, suaminya mau menerimanya. Dengan keadaan N tersebut, tentu saja membuat perekonomian keluarga muda itu semakin sulit.

Cerita S ataupun N tentu saja hanya 2 dari banyak cerita sedih pahlawan devisa negara ini. Persoalan buruh migran bukanlah hal baru, dan tentu saja diperlukan komitmen yang serius untuk mengatasi hal ini.

Sunday, March 08, 2009

Merayakan Hari Perempuan Internasional

0




“Bersatulah kaum perempuan sedunia untuk memperjuangkan persamaan hak perempuan dan anak-anak untuk pembebasan nasional dan perdamaian”
Deklarasi Kopenhagen


Dalam gerakan perempuan internasional, tanggal 8 Maret dirayakan sebagai hari perempuan internasional. Perayaan ini tidak lepas dari usaha untuk memperingati keberhasilan perempuan di bidang ekonomi, sosial dan politik. Melalui perayaan ini, perempuan di seluruh dunia, dari berbagai etnik, agama, budaya, politik dan ekonomi merayakan hari tersebut dan meningkatkan solidaritas terhadap perjuangan perempuan di seluruh dunia. Barangkali ini adalah momen yang tepat untuk merayakan dan memperkuat persaudarian perempuan (sisterhood).

Hingga saat ini, perempuan masih menghadapi berbagai persoalan akibat ketidakadilan gender, misalnya diskriminasi, kekerasan seksual dan perempuan adalah pihak yang menghadapi kondisi paling berat karena faktor kemiskinan. Kesadaran terhadap ketertindasan kaum perempuan ini kemudian muncul di berbagai daerah. Misalnya saja di Indonesia, kita mengenal Kartini, dimana melalui tulisan-tulisannya Kartini mengemukakan pendapatnya tentang emansipasi perempuan,

Sejarah Hari Perempuan Internasional
Ide peringatan hari perempuan sedunia, sebenarnya telah berkembang sejak seabad yang lalu, saat dunia industri sedang dalam tahap pengembangan dan pergolakan. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari aksi massal pekerja perempuan ke pabrik tekstil/ pakaian industri di New York, Amerika Serikat pada tanggal 8 Maret 1857. Aksi ini adalah upaya untuk menentang kerja seharian penuh, gaji yang rendah dan kondisi kerja yang buruk. Dua tahun kemudian, di bulan Maret pula untuk pertama kalinya pekerja perempuan tersebut mendirikan serikat buruh sebagai upaya melindungi diri mereka dan memperjuangkan beberapa hak dasar di tempat kerja.

Lima puluh satu tahun kemudian, tanggal 8 Maret 1908, 15.000 perempuan turun ke jalan di sepanjang kota New York menuntut diberlakukannya jam kerja yang lebih pendek, hak memilih dalam pemilu dan menghentikan adanya pekerja di bawah umur. Dalam aksi tersebut, mereka menyerukan slogan roti dan bunga, yang merupakan perlambang jaminan ekonomi dan kesejahteraan hidup.

Pada tahun 1910 diselenggarakan konferensi perempuan di Kopenhagen, yang dihadiri oleh 100 orang laki-laki dan perempuan, wakil dari 17 negara. Pertemuan tersebut kemudian menghasilkan beberapa kesepakatan yaitu pemberlakuan Undang-undang standar 8 jam kerja per hari, perbaikan kondisi kerja dan tuntutan hak untuk memilih/ dipilih bagi kaum perempuan, serta kesepakatan bersama untuk melakukan aksi protes atau demonstrasi massal di setiap Negara untuk mencapai tuntutan-tuntutan hak keadilan bagi kaum perempuan. Namun demikian, belum ditentukan tanggal pasti untuk peringatan tersebut.

Perjuangan tersebut tidak bisa dilepaskan dari usaha Clara Zetkin. Clara Zetkin merupakan wakil perempuan sosialis – Berlin yang memperjuangkan hak-hak pekerja perempuan dan pekerja anak-anak dalam kongres internasional II di Paris. Dalam kongres tersebut, Clara mengajukan beberapa persoalan pekerja perempuan dan anak untuk dimasukkan dalam program perjuangan gerakan buruh. Dalam perjuangannya, Clara berusaha untuk mendekatkan gerakan-gerakan perempuan sosialis di berbagai Negara. Pada tahun 1910, Clara berinisiatif untuk mengadakan konferensi internasional perempuan di Kopenhagen.

Setahun setelah konferensi Kopenhagen, untuk pertama kalinya pada tanggal 19 Maret di Austria, Denmark, Jerman dan Swiss hari perempuan sedunia diperingati dimana lebih dari satu juta perempuan dan laki-laki turun ke jalan. Mereka menuntut agar perempuan memiliki hak untuk ikut serta dalam pemilu dan memiliki posisi dalam pemerintahan serta hak bekerja, kesempatan memperoleh pelatihan dan penghapusan diskriminasi dalam pekerjaan.

Kurang dari seminggu semenjak peringatan tersebut, pada tanggal 25 Maret terjadi insiden tragis di New York yang menewaskan lebih dari 140 orang buruh perempuan, yang mayoritas merupakan imigran dari Italia dan Yahudi di perusahaan Triangle Shirtwaist (peristiwa ini disebut sebagai tragedi Triangle Factory Fire). Kejadian ini membawa pengaruh dalam peraturan perburuhan Amerika Serikat dan pengecaman terhadap kondisi kerja yang telah menyebabkan insiden tersebut.

Pada tahun 1911, saat pecahnya perang dunia pertama, 8 Maret dirayakan dengan pawai dan demontrasi perempuan di berbagai Negara Eropa. Saat Revolusi Rusia dimulai, hari perempuan internasional ditandai dengan demonstrasi-demonstrasi massa dan protes untuk menuntut bahan makanan, yang dilakukan oleh kaum perempuan, laki-laki dan anak-anak. Di Inggris, peringatan hari perempuan internasional menjadi peringatan tahunan sesudah perang dunia kedua. Sementara itu di Amerika Serikat, peringatan hari perempuan internasional menjadi peringatan tahunan sejak munculnya Gerakan Pembebasan Perempuan yang lahir bersamaan dengan gerakan hak-hak sipil dan gerakan perdamaian anti perang pada tahun 1960an.

Pada tahun 1977, PBB mengajak semua Negara anggota untuk memproklamasikan hari sebagai hari PBB untuk Hak Asasi Perempuan dan Hari Perdamaian Dunia, yang penetapan harinya diserahkan kepada masing-masing Negara. Kebanyakan Negara menetapakn 8 Maret sebagai hari perempuan internasional, dan PBB pada tahun 1978 menetapakan tanggal 8 Maret dalam daftar hari libur resmi.

Merefleksikan Hari Perempuan Internasional
Hari perempuan internasional merupakan hari untuk menyatakan bahwa hak asasi perempuan adalah hak asasi manusia. Peringatan ini pada hakekatnya meripakan perjuangan untuk mencapai keadilan, kesetaraan dan kemanusiaan, tidak saja bagi perempuan namun bagi kelompok minoritas dan the voiceless lainnya.

Peringatan hari perempuan internasional, bukan kemudian menjadi euphoria terhadap perjuangan perempuan, namun menjadi momen untuk berefleksi dan melakukan aksi dalam mewujudkan dunia yang lebih baik dan berkeadilan. Peringatan hari perempuan internasional di Indonesia kurang banyak diketahui. Namun demikian, di Indonesia terdapat perayaan Hari Kartini dan Hari Ibu sebagai penghargaan terhadap perempuan. Pun demikian, sayangnya peringatan kedua hari tersebut kurang menekankan pada perjuangan perempuan dan lebih menekankan pada peran domestik perempuan.

Dalam level internasional, terdapat beberapa konvensi dan deklarasi mengenai perempuan, misalnya saja CEDAW yang merupakan bill of right Hak Asasi Perempuan. Pun demikian situasi dan kondisi perempuan hingga saat ini masih jauh dari harapan. Kekerasan terhadap perempuan masih menjadi realitas yang sering dijumpai sehari-hari.

Tuesday, January 01, 2008

perempuan, di mana dalam sejarah

0

Sejarah bangsa Indonesia nampaknya lebih didominasi oleh laki-laki. Namun tulisan ini tentu saja tidak ingin menghadapkan laki-laki vis a vis perempuan. Hanya saja menarik untuk dicermati bagaimana sebenarnya peran perempuan di Indonesia.

Ada beberapa pahlawan perempuan yang tercatat dalam sejarah, sebut saja R.A. Kartini, Dewi Sartika, Cut Nyak Dien, Roehana Kudus, Nyi ageng Serang dan Cut Meutia. Namun rasanya jumlah pahlawan laki-laki lebih banyak beberapa kali lipatnya. Dalam sejarah Indonesia, nampaknya kiprah perempuan kurang mendapat porsi yang besar.

Organisasi perempuan pertama di Indonesia adalah Putri Mardika, yang dibentuk pada tahun 1912. Mereka menuntut hak-hak demokratis, menentang poligami dan perkawinan kanak-kanak. Pada tahun 1920an, banyak organisasi perempuan berdiri. Di tahun 1930, Isteri Sedar muncul sebagai sebuah organisasi perempuan radikal yang menyerukan agar perempuan berpartisipasi dalam politik dan memfokuskan pada kesengsaraan kaum perempuan kelas bawah. Ini menunjukkan bahwa dalam kurun waktu tersebut telah ada gerakan feminis di Indonesia yang menuntut terpenuhi dan terlindunginya hak perempuan. Jadi gerakan feminis sebenarnya bukan hal yang baru di Indonesia.

Kartini tidak bisa dilepaskan dalam sejarah perempuan di Indonesia. Namanya disebut-sebut sebagai perempuan yang pertama mengajukan ide tentang emansipasi perempuan. Sampai-sampai hari kelahirannya diperingati sebagai hari Kartini. Tidak heran jika ditanya siapa pahlawan perempuan, pasti nama Kartinilah yang pertama akan disebut.

Organisasi perempuan yang cukup bagus selama ini adalah Gerwani. Namun pada masa Soeharto, peran politik perempuan dihancurkan. Gerwani dilabeli sebagai organisasi terlarang. Kebebasan perempuan dalam berorganisasi diberangus.

Di era Orde Baru, ketidakadilan terhadap perempuan dilanggengkan. Pada masa ini, dapat dibilang adanya tahap 'ibuisme'. Perempuan diberi peran sebagai pengurus rumah tangga dan pendukung setia keluarga. Hal tersebut diungkapkan dalam gerakan resmi PKK, di mana organisasi tersebut adalah basis untuk organisasi perempuan yang didukung oleh negara.

Saturday, December 22, 2007

Hari Perempuan Indonesia

0

22 Desember diIndonesia diperingati sebagai hari ibu. Sementara itu, di negara lain yaitu Amerika Serikat dandan 75 negara lain (Kanada, Australia, Jerman, Jepang, Italia), hari ibu atu mother's day diperingati pada hari minggu minggu kedua bulan Mei. Sementara itu, di beberapa negara Eropa dan Timur Tengah, diperingati setiap bulan Maret.
Sejarah Hari Ibu
Sejarah Hari Ibu diawali dari bertemunya para pejuang wanita dengan mengadakan Kongres Perempuan di tahun 1928. Organisasi perempuan sendiri sudah ada sejak 1912, yang diilhami oleh perjuangan para pahlawan wanita abad ke-19 seperti M. Christina Tiahahu, Cut Nya Dien, Cut Mutiah, R.A. Kartini, Walanda Maramis, Dewi Sartika, Nyai Achmad Dahlan, Rangkayo Rasuna Said dan lain-lain.

Pada tanggal 22 Desember 1928 organisasi-organisasi perempuan mengadakan kongres pertamanya di Yogyakarta dan membentuk Kongres Perempuan yang kini dikenal sebagai Kongres Wanita Indonesia (Kowani), kongres berikutnya diadakan di Jakarta dan Bandung. Kongres pertama tersebut dihadiri sekitar 30 organisasi perempuan dari 12 kota di Jawa dan Sumatera. Tujuan kongres ini untuk mempersatukan cita-cita dan usaha memajukan perempuan Indonesia dan menggabungkan organisasi-organisasi perempuan Indonesia dalam suatu badan federasi yang demokratis tanpa memandang latar belakang agama, politik, dan kedudukan sosial dalam masyarakat.


Peristiwa tersebut dianggap sebagai salah satu tonggak penting dalam sejarah perjuangan kaum perempuan Indonesia.Kongres ini adalah salah satu puncak kesadaran berorganisasi kaum perempuan Indonesia. Pemimpin organisasi perempuan dari berbagai wilayah se-Nusantara berkumpul menyatukan pikiran dan semangat untuk berjuang menuju kemerdekaan dan perbaikan nasib kaum perempuan. Berbagai isu yang saat itu dipikirkan untuk digarap adalah persatuan perempuan Nusantara; pelibatan perempuan dalam perjuangan melawan kemerdekaan; pelibatan perempuan dalam berbagai aspek pembangunan bangsa; perdagangan anak-anak dan kaum perempuan; perbaikan gizi dan kesehatan bagi ibu dan balita; pernikahan usia dini bagi perempuan, dan sebagainya. Tanpa diwarnai gembar-gembor kesetaraan jender, para pejuang perempuan itu melakukan pemikiran kritis dan aneka upaya yang amat penting bagi kemajuan bangsa. Ini menunjukkan bahwa sebenarnya gerakan feminis telah ada di Indonesia pada waktu itu.

Hari Perempuan Indonesia
Apabila ditilik dari sejarahnya, menurut saya perjuangan yang dilakukan oleh perempuan pada saat itu lebih berfokus pada perempuan pada umumnya. Tidak secara spesifik tentang persoalan ibu. Ini penting karena apa yang diperjuangkan pada waktu itu adalah tentang "hak-hak perempuan".

Perayaan hari ibu ini justru membuat pemahaman masyarakat lebih kepada penghargaan terhadap ibu, atas perannya yang telah melahirkan, membesarkan, mendampingi suami, dan lainnya. Oleh karenanya peringatan hari ibu ini menjadi terjebak pada pemberian kado untuk ibu. Sebagai bentuk penghormatan,kaum perempuan dibebaskan dari tugas domestik yang sehari-hari dianggap merupakan kewajibannya, seperti memasak, merawat anak, dan urusan rumah tangga lainnya.

padahal apabila kita melihat sejarah munculnya hari ibu di Indonesia ini berbeda dengan hari ibu di negara-negara lain. Kelompok perempuan di Indonesia pada waktu itu sudah cukup progresif dalam memperjuangkan hak-hak perempuan. Perayaan hari ibu, menurut saya akan mengaburkan nilai-nilai perjuangan aktivis perempuan pada saat itu.

Jadi, selamat hari perempuan!!!

Tuesday, November 20, 2007

tentang perempuan

0

Kemarin, saya mendapatkan kesempatan untuk bertemu dengan beberapa perempuan dari beberapa daerah, yah masih di jawa barat ajalah...

Keadaan perempuan, masih saja terpinggirkan (apalagi ketika melihat budaya patriarki yang masih mengakar di negeri ini). Salah seorang teman menceritakan tentang pernikahan usia muda yang dia alami. Anak memang dianggap hak milik orang tua, sehingga apa yang terjadi dalam hidupnya ditentukan oleh orang tua, demikian pula dengan pernikahan. Jawa Barat memang terkenal sebagai daerah dengan tingkatr pernikahan usia muda yang cukup tinggi. Hal ini juga membuat tingkat perceraian cukup tinggi pula.

Nggak hanya itu saja, perempuan memiliki akses pendidikan yang lebih rendah bagi laki-laki. Perempuan yang berpendidikan tinggi memang banyak, namun perempuan yang berpendidikan rendah juga tak kalah banyak. Anggapan di masyarakat bahwa perempuan tidak usah berpendidikan tinggi masih ada, karena ujung-ujungnya perempuan bekerja di rumah tangga.

Terbatasnya pilihan pekerjaan dan dorngan ekonoi, membuat banyak perempuan kemudian bekerja di luar negeri. Hal ini tentu saja membuat mereka rentan untuk diperdagangkan. Pilihan bekerja di luar negeri tidak jarang menghadapkan perempuan dalam situasi sulit, seperti penyiksaan dari majikan (fisik, seksual dan ekonomi).

Keadaan perempuan memang belum seperti yang diharapkan. Tapi itu adalah tantangan untuk memperjuangkannya...

Monday, August 27, 2007

persaudarian perempuan, lemah?

0

Benarkah persaudarian perempuan lemah?
Hal ini masih saja menggelisahkan saya. Dalam perjalanan hidup saya sebagai seorang perempuan, nyatanya saya selalu dihadapkan pada lemahnya persaudarian perempuan.
Ini tentu saja berbeda dengan laki-laki, yang saya pikir lebih mempunyai ikatan persaudaraan yang kuat dibandingkan perempuan.
Persaudarian antar perempuan seringkali dilemahkan oleh rasa iri, cemburu, laki-laki dan sebagainya..
Padahal untuk menuju kesetaraan antara perempuan dan laki-laki serta mengakhiri penindasan terhadap perempuan, maka ikatan persaudariaan ini harus dikuatkan.

Thursday, August 09, 2007

perempuan dan perdamaian

1

Hubungan antara perempuan dan perdamaian bukanlah suatu hal yang baru. Sejarah membuktikan bahwa saat konflik terjadi perempuan bergerak dalam mengupayakan perdamaian. Perempuan dan kelompok perempuan memainkan peran penting dalam perdamaian. Sayangnya hal ini acapkali terabaikan. Masalah menjaga atau pengupayaan perdamaian seringkali dianggap sebagai wilayah kekuasaan laki-laki, demikian halnya dengan masalah keamanan dan pertahanan.

Dalam situasi konflik/ perang, perempuan dan anak menjadi kelompok yang tidak diuntungkan. Perempuan memiliki beban dalam menjaga kelangsungan hidup keluarganya (saat laki-laki berperang, perempuan menjaga rumah dan juga ekonomi), dan dalam situasi tersebut ekskalasi kekerasan terhadap perempuan dan anak pun meningkat. Dari sini terlihat bagaimana perdamaian terkait erat dengan hak perempuan. Deklarasi internasional tentang keadilan social melihat bahwa hak sosial dan politik perempuan tidak bisa terpenuhi tanpa adanya keadaan yang stabil dan damai.

Saat terjadi perang, perempuan mengorganisasikan diri untuk mengupayakan perdamaian. Di awal tahun 1820, perempuan Amerika membentuk Female Peace Society, sementara itu pada tahun 1854 terbentuklah kelompok perdamaian transnasional pertama, the European Women’s Peace League yang dipelopori oleh Frederika Bremer.1 Di awal tahun 1891, National Council of Women (NCW) dan Women’s Christian Temperance Union (WCTU) meminta pemerintah Amerika Serikat untuk menghindarkan terjadinya perang dengan Chili. Pada tahun 1980an, berdiri Mothers Against Silence di Israel, Women in Black di Israel muncul setelah intifada 1988 dan di tahun 1995 muncul the Saturday Mother di Turki.

Bertolak dari hal tersebut, menarik untuk dikaji lebih dalam mengenai peran perempuan dalam perdamaian. Dalam mengkaji masalah tersebut, penting untuk dibahas mengenai feminisme, karena feminisme merupakan gerakan untuk menciptakan keadilan antara laki-laki dan perempuan. Proses perdamaian itu sendiri sudah semestinya membawa dampak bagi terciptanya situasi yang adil.

Feminisme dan Perdamaian
Beberapa tokoh feminisme sepakat bahwa perang hanya ada dalam benak laki-laki. Ini disebabkan karena laki-laki ditumbuhkan dengan sifat agresif (laki-laki disosialisasikan untuk lekat dengan kekerasan, misalnya dengan bermain perang-perangan, dsb).

Berkelahi, menaklukkan, menguasai, dan menyerang kemudian disebut sebagai kemampuan laki-laki (masculine skill). Sifat masculin yang berlebihan ini yang menyebabkan terjadinya konflik/ perang. Konflik dan peperangan kemudian dipahami sebagai berkumpulnya paham-paham maskulinitas yang mengabaikan pihak-pihak inferior (termasuk perempuan). Oleh karenanya, laki-laki harus disadarkan atas sifat destruktifnya, karena hipermaskulin dapat menyebabkan terjadinya kehancuran. Adanya perang, kekerasan, termasuk kekerasan terhadap perempuan berawal dari cara pandang maskulin.

Sementara itu, perempuan yang dalam kesehariannya dekat dengan konsep alam dan mengasuh anak, dalam dirinya tumbuh sifat memelihara. Oleh karenanya perempuan memeiliki potensi dalam melakukan kegiatan perdamaian. Berkaitan dengan hal ini, ada salah satu gerakan perempuan yang menjuluki dirinya Pasifis, merupakan gerakan masyarakat yang mendorong pengurangan senjata dan perang. Lou Harris dan Harris Poll, mengatakan bahwa perempuan jauh lebih maju daripada laki-laki dalam mendesakkan kahadiran kualitas dasar kemanusiaan, lebih berdedikasi pada perdamaian dan menentang perang serta lebih memberikan perhatian terhadap kekerasan terhadap anak, serta begitu tergerak hatinya terhadap apa yang disebut sebagai the pall of violence (selubung kekerasan).

Sementara itu, menurut Françoise de Eaubonne yang pertama kali memperkenalkan "Revolusi Ekologis", hanya perempuanlah yang cocok mengemban misi perdamaian. Kedekatan perempuan dengan konsep Ibu Bumi (mother's nature), menyebabkan perempuan memiliki potensi untuk melakukan revolusi ekologis.

Ekofeminisme melihat adanya masalah sosial, kultural dan struktural berupa dominasi yang sangat kuat dalam relasi antarkelompok manusia (ras, etnik, negara bangsa, agama, seks dan jender) dan antar manusia dengan lingkungannya yang menyebabkan penderitaan bagi manusia, baik perang atau kehancuran lingkungan hidup. Dalam ideology ini, ditemukan titik tolak bersama, yaitu tentang energi feminitas yang berpotensi untuk menjaga bumi. Oleh karena itu, jelas terlihat bahwa sub-ordinasi perempuan tidak hanya membawa dampak buruk pada perempuan, namun juga kepada laki-laki. Demikian pula sebaliknya, kesetaraan gender akan menguntungkan perempuan dan juga laki-laki.