Showing posts with label tulisan. Show all posts
Showing posts with label tulisan. Show all posts

Tuesday, April 07, 2015

Hilangkah Rasa Cinta di Negeri Ini? Makanan Berbahaya di Sekitar Kita (sebuah catatan di hari kesehatan sedunia)

8



Akhir-akhir ini marak pemberitaan makanan berbahaya, misalnya kikil berformalin, makanan yang menggunakan pewarna tekstil, saus sambal berbahan kimia, batu es dari air yang tercemar, gorengan yang dicampur plastik, bakso dengan boraks, dan sebagainya. 

Kemudahan dalam menjual makanan di Indonesia, di satu sisi menjadi kelebihan sekaligus kekurangan. Entah berapa banyak orang menggantungkan hidupnya dari sini, yang pasti jumlahnya sangat banyak. Untuk menjual makanan pun relatif gampang, bahkan izin pun tidak dimiliki namun bisa tetap bebas berdagang. Menjadi teringat obrolan dengan seorang teman di Finlandia, di sana tidak bisa sembarangan menjual makanan, harus melalui serangkaian proses terlebih dahulu. Bahkan izin tersebut akan direviu secara berkala. 

Pernah suatu kali ketika pergi di sebuah tempat wisata di Jakarta, saya melihat seseorang mengambil batu es dari gelas bekas kemudian mencucinya dan menaruhnya di tempat yang baru lalu mengisinya dengan air teh atau air jeruk dan bersiap untuk menjajakan minuman itu. Meski tentu saja, tidak semua penjual makanan seperti itu, namun tetap saja pemberitaan tentang makanan berbahaya membuat saya merinding. Bayangkan apa yang terjadi ketika bahan berbahaya tersebut masuk ke tubuh kita, terlebih ketika dikonsumsi dalam jangka waktu yang lama. 

Sedikit saya melakukan pencarian di google terkait dengan efek bahan berbahaya tersebut apabila dikonsumsi. Inilah sedikit hasil dari pencarian saya... Penggunaan zat pewarna tekstil yaitu rhodamin B dalam jangka panjang dapat menyebabkan gejala pembesaran hati dan ginjal, kerusakan hati, gangguan fungsi hati, gangguan fisiologis tubuh atau bahkan bisa menyebabkan timbulnya kanker hati (BPOM). Sementara itu, pemakaian boraks yang sedikit dan lama akan menyebabkan adanya akumulasi (penimbunan) pada jaringan otak, hati, lemak dan ginjal. Pemakaian dalam jumlah banyak mengakibatkan demam, koma, depresi dan apatis (gangguan yang bersifat sarafi). 

berbahaya bukan?

Bahan kimia berbahaya di makanan tentu saja menjadi ancaman kesehatan di masyarakat. Menurut catatan WHO, sekitar 2 juta orang terutama anak-anak meninggal dunia setiap tahunnya akibat makanan dan minuman yang tidak aman. Sekitar 1,5 juta anak meninggal di dunia setiap tahunnya yang sebagian besar disebabkan makanan dan minuman yang tercemar. Tak hanya itu saja, di seluruh dunia setiap tahunnya dapat terjadi sekitar 1,5 miliar gangguan kesehatan karena makanan. 

mengenali makanan dengan bahan berbahaya
Bakso berfomalin biasanya tidak mudah hancur, awet lebih dari tiga hari di suhu ruangan, tidak lengket dan lalat enggan hinggap. 
Bakso dengan boraks biasanya teksturnya lebih kenyal, aroma bakso kurang alami, warna lebih putih, memantul jika dijatuhkan dan tidak lengket. 
Kikil berfomalin cirinya warna putih (bening) mengkilap, tekstur sangat kenyal, tidak berbau, tidak dihinggapi lalat, harganya lebih murah. 
Saos tomat berbahaya, cirinya lebih kental dan warna lebih gelap, lebih tahan lama dan anti jamur, bila dicampur air putih membutuhkan waktu lama untuk berbaur.



hilangkah rasa cinta di negeri ini?
Adanya produsen makanan yang dengan sengaja menggunakan bahan berbahaya dalam pembuatan produk makanannya dengan memikirkan keuntungan materi semata, menimbulkan tanya tentang rasa cinta di negeri ini.. Rasa cinta kepada sesama, rasa cinta kepada konsumen produknya.. Cinta tentunya tidak akan membuat seseorang menyakiti atau membahayakan orang lain.. Entah itu menggunakan bahan berbahaya dalam membuat produk makanan atau menjual bahan berbahaya tersebut di toko yang menjual bahan makanan. 

Hilangkah rasa cinta di negeri ini, sehingga ada yang lebih memilih menambah kocek di kantungnya daripada keselamatan sesamanya? Atau ketidaktahuan yang terpelihara terus?


sumber:
https://lifestyle.sindonews.com/berita/1195308/185/kenali-ciri-ciri-bakso-mengandung-boraks-dan-formalin
https://lifestyle.kompas.com/read/2009/09/01/20362112/inilah.ciri-ciri.kikil.berformalin#:~:text=KOMPAS.com%20%E2%80%94%20Berikut%20adalah%20ciri,%2D%20Tidak%20berbau.
https://www.fimela.com/lifestyle-relationship/read/4092181/mengenali-tanda-saus-tomat-dan-sambal-yang-berbahaya
foto credit: antara





Saturday, February 15, 2014

Valentine's Day dan Rasa Cinta di Negeri Ini

1


Tanggal 14 Februari disebut sebagai hari valentine, hari dimana orang mengungkapkan kasih sayang pada orang yang dicintainya. Tentang sejarahnya, ada banyak versi tentang asal mula hari valentine ini. Tak hanya itu, bahkan beberapa sumber mengkaitkan hari valentine dengan keyakinannya, serta berpendapat tidak perlu merayakannya. 

Terlepas dari kontroversi atau pro konta tentang hari kasih sayang ini, saya pikir adanya hari kasih sayang adalah momentum untuk menyebarkan cinta dan kasih sayang. Cinta ini sendiri adalah kekuatan yang kuat yang mampu mengubah dunia, tidak berlebihan jika Mahatma Gandhi berkata "where there is love, there is life."  


cinta atau kasih sayang tentu saja tidak melulu adalah cinta sepasang kekasih atau pasangan, namun bisa diartikan lebih luas lagi. Cinta kepada sesama, cinta kepada lingkungan, dan sebagainya. Menjadi pertanyaan bagi saya ketika melihat realitas-realitas yang terjadi di masyarakat, dan mempertanyakan tentanga cinta. Apakah cinta sudah terkikis dari individu di negeri ini?

Suatu ketika saya menonton tayangan di sebuah stasiun televisi swasta, yang menayangkan tentang penggunaan cat tekstil dalam produksi makanan, lain waktu tentang penggunaan boraks dalam memproduksi makanan, kali yang lain tentang daging tikus yang dijual sebagai daging ayam. Apakah sudah hilang rasa cinta kepada sesama, sehingga untuk mendapatkan rupiah mengorbankan orang lain, tanpa memikirkan bagaimana akibat dari perbuatannya itu kepada orang lain. 

Di lain waktu, saya menyeberang jalan di zebra cross, traffic light berwarna merah. namun masih ada beberapa kendaraan yang melaju tanpa memikirkan pejalan kaki yang menyeberang. Hal yang sama terjadi ketika saya naik sepeda, traffic light berwarna merah dan saya menghentikan sepeda saya, namun motor dari belakang terus melaju hingga sedikit menabrak saya. Apakah tidak terpikir bahwa saya dan sepeda saya tentu saja tidak sebanding dengan motor. 

di suatu tempat yang lain, seorang ayah memperkosa anaknya, guru memperkosa muridnya atau suami yang menyiksa istrinya. tentunya masih banyak lagi kasus-kasus yang terjadi dengan nada serupa. Membuat saya kembali bertanya, hilangkah rasa cinta di antara kita semua?

Kasus korupsi yang marak diberitakan pun kembali membuat saya bertanya, apakah Rupiah sedemikian menggiurkan dibanding dengan akibat dari korupsi yang dilakukan: masih tingginya angka kemiskinan, anak putus sekolah, kesenjangan dalam masyarakat, dsb. 

namun tentu saja masih ada secercah harapan akan rasa cinta di negeri ini, ketika secara bertubi-tubi bencana datang, masyarakat saling tolong menolong, menggalang bantuan untuk membantu sesamanya yang ditimpa bencana. 

Refleksi bagi saya pribadi tentang rasa cinta ini, mungkin adalah dengan berpikir mengenai perbuatan yang saya lakukan dan implikasinya bagi orang lain. mungkin hal ini adalah hal kecil, namun adalah wujud cinta pada orang lain. dan akhirnya, selamat membagi dan menyebarkan cinta kepada sesama. 



Thursday, May 16, 2013

Semua Berawal dari Keluarga

0

Halo Takita...
Kakak sudah baca surat Takita, wah Takita makin pandai saja ya.. Jadi gemes nih, hehehe... Maaf ya baru sempat membalas surat Takita, kemarin kakak sibuk mengerjakan thesis. Untungnya sekarang sudah selesai, jadi bisa cerita-cerita sama Takita...  ini nih thesis kakak... akhirnya selesai juga setelah berbulan-bulan penuh perjuangan.



Membaca surat Takita, kakak jadi teringat masa kecil kakak dulu. Bapak dan ibu kakak juga yang pertama kali mengajari membaca dan menulis; hanya saja zaman kakak dulu belum ada handphone dan blog, jadi kakak belajar menulisnya di buku saja. Waktu sudah bisa menulis, kakak suka sekali membuat daftar kata-kata berdasarkan jumlah suku katanya. Orang tua kakak selalu menemani kakak, dan memberi tahu kosakata-kosakata baru ketika kakak sudah kehabisan perbendaharaan kata. Ketika kakak mulai bisa membaca, setiap keluarga kakak pergi ke rumah makan, bapak dan ibu kakak selalu meminta kakak untuk membacakan menunya, tidak peduli berapa lama waktu yang kakak butuhkan untuk membacanya. Hasilnya, kakak menjadi lancar membaca dan memiliki banyak perbendaharaan kata.

Takita pernah mendapatkan hadiah dari ayah dan ibu Takita ketika Takita jadi juara kelas? Ketika masih di Sekolah Dasar,  Bapak kakak berkata, beliau akan membelikan kakak sepeda jika kakak rangking 20, sementara kalau kakak rangking 1, akan mendapatkan es krim. Jauh sekali ya bedanya..? Kakak merasa aneh, bagaimana tidak, mengapa menjadi juara kelas hanya mendapatkan es krim, sementara tidak menjadi juara kelas mendapatkan sepeda. Namun dari situ kakak belajar untuk tidak mengharapkan sesuatu dari apa yang sudah dikerjakan. Sampai sekarang, kakak terbiasa melakukan sesuatu karena kakak menginginkannya, bukan karena sesuatu yang nantinya kakak dapatkan. Ini juga yang membuat kakak lebih menghargai proses dibanding hasil akhir. Hasil akhir bukanlah masalah, yang terpenting adalah bagaimana usaha kita untuk meraihnya. Sama seperti ketika kita belajar suatu pelajaran, yang penting adalah bagaimana kita bisa menguasai pelajaran tersebut, bukan nilai yang kita dapatkan.


Dari dulu kecil, orang tua kakak tidak pernah membeda-bedakan sesuatu berdasarkan gender. Waktu kecil, orang tua kakak membolehkan kakak bermain boneka, masak-masakan, dan juga bermain bola atau perang-perangan. Bahkan Bapak kakak pun mengajari kakak memperbaiki genteng rumah yang bocor, meski kakak seorang perempuan. Melalui keluarga kakak belajar bahwa, apapun itu gender/ jenis kelaminnya bukan menjadi halangan untuk melakukan sesuatu. Tentu Takita pernah mendengar tentang diskriminasi karena gender bukan? Dimana seseorang mendapatkan perlakuan diskriminasi karena dia terlahir sebagai laki-laki atau perempuan. Kakak yakin, jika di semua bidang, termasuk keluarga, setiap anak  belajar untuk menghargai satu sama lain dan juga keadilan gender; tentunya keadilan gender dan juga penghargaan terhadap tiap individu bisa terwujud. 


Di sekolah, kakak banyak mendapatkan pengetahuan dan pelajaran, pastinya Takita begitu juga kan? Namun bagi kakak, di keluargalah kakak belajar ilmu hidup. Keluarga memiliki banyak andil, bagaimana  kepribadian kakak terbentuk. Rasa-rasanya apa yang dikatakan Max Kazeronnie benar jugathe primal and the best education start from the family. Bagaimana Takita? Pasti Takita setuju kan? Seperti yang Takita bilang, kalau Takita mulai belajar mendengar, berbicara, membaca, menulis dan cara bersikap ke teman atau saudara, dari keluarga. Keluargalah tempat pertama kita belajar dan melalui pendidikan keluarga yang baik, tentunya akan berpengaruh positif pada diri kita.

Sama seperti Takita, kakak juga punya mimpi agar semua anak mendapatkan pendidikan terbaik di keluarga. Apalagi ketika kakak membaca beberapa kasus seperti kekerasan oleh gang motor, penyalahgunaan narkoba, dsb; dengan pendidikan yang baik di keluarga, bisa memberikan pondasi yang kokoh untuk kepribadian seseorang. Dan pada akhirnya generasi muda yang berkualitas akan tercipta, ini tentunya impian kita semua bukan..?

Ini cerita kakak tentang pendidikan yang kakak dapat di keluarga kakak. Oke Takita, sampai bertemu di surat selanjutnya ya...


salam,
ria

Posting ini diikutkan Program Keluarga dan Pendidikanku oleh Takita dan BlogFam  



”Lomba

Sunday, May 05, 2013

mengingat kartini, mengingat perempuan Talang Mamak

1



.. sekedar catatan di hari Kartini..

Terlepas dari segala kontroversi tentang mengapa hari Kartini, mengapa Kartini, dsb; menurut saya Kartini adalah sosok perempuan yang patut diteladani. entah berjuang dengan pena, senjata, dsb; perempuan berkontribusi dalam sejarah bangsa ini. yang membedakan Kartini adalahdia menulis... 

perjumpaan saya dengan perempuan Talang Mamak dan mengenal mereka lebih dekat dimulai ketika penelitian saya berlangsung.

Kartini memperjuangkan pendidikan bagi perempuan, namun di Talang Mamak pendidikan adalah hal yang sulit, bagaimana tidak sekolah dasar ada di sana (Durian Cacar) di tahun 1997. Inipun tidak bisa diakses oleh semua masyarakat. Seorang gadis kecil (10 tahun) berkata "ndak ada yang bawa awak ke sekolah, sekolah jauh. Orang tua awak tak bolehkan awak pegi." Pendidikan pun masih dirasa sebagai sesuatu yang tidak terlalu penting bagi sebagian orang. Pun demikian tentu saja berbeda dengan situasi sebelumnya dimana perempuan tidak memiliki akses terhadap pendidikan, terkait dengan jauhnya sekolah dan realitas bahwa mereka tinggal di dalam hutan. Kini situasi berubah, masuknya perusahaan ke lokasi mereka, dibangunnya jalan, serta perkembangan daerah di sekitar mereka telah mengubah daerah mereka menjadi lebih 'terbuka'. 

Sayangnya perubahan di lingkungan mereka tidak serta merta membawa ke kehidupan yang lebih baik. Sebagian besar orang Talang Mamak di Durian Cacar kehilangan tanahnya, entah dijualnya atau diambil oleh PT yang masuk ke wilayah mereka. Perempuan yang semula memiliki hak atas tanah, di beberapa kasus kehilangan haknya. Terkadang suaminya menjual tanahnya tanpa memberitahunya. bisa dibayangkan, tanpa tanah, tentu saja kehidupan masyarakat yang sulit bertambah sulit. Di beberapa kasus, perempuan menjadi lebih bergantung pada suaminya, karena sulitnya pencaharian. Dalam perbincangan saya dengan beberapa perempuan, mereka sangat takut jika suaminya meninggalkan mereka terlebih bagi mereka yang sudah tidak memiliki keluarga dekat. Ini tentunya menunjukkan bawa perempuan bukanlah single category. Latar belakang yang dimiliki memiliki andil terhadap kerentanan dan juga perilaku mereka. 




Thursday, January 03, 2013

gamer girl manifesto

0

this is from my assignment ;)
----






Today I came across to a video in youtube, gamer girl manifesto by SexyNerdGirlPresents. It is a manifesto of female gamers telling not to sexualize them for their existence in the game world. It is not only embrace that sexist is not acceptable, but also suggest not to be homophobic and racist. In the end they questioning ”you know what kind of player they are and what kind of player you are.”
Don’t be racist. Don’t be homophobic. Don’t be sexist. Follow that code and everybody will have a good time. And when someone breaks that code, CALL THEM OUT. Don’t just let it ride.
I think it is an interesting video and have great message. The female gamers in that video are quite diverse which also represent that female gamer are heterogeneous.  However there are quite few differences from people who like it and dislike it. There are 13,689 likes and 10,560 dislike and most of the comments are negative. Mostly people said that in the online game gender does not matter, because the important thing is how u play. Is that really happen? I do not think so.
When I am playing online game, I never get harass but I can not generalize my experience with others. In my online field work, I did it in the online game (AIKA) and asked the experience of female gamer. One female gamer said that when people know she is female, they start to bully her. Another female gamer told me why she use male character, because she don’t want to get harass by other gamer. It means, that choosing male character seems to be a safe way for the female gamer to avoid harassment.
Then I tried to find out the female gamer’s experience in the online game, and I found an interesting blog by Jenny Hariver titled not in the kitchen anymore. Her blog documented her experience when playing games, included  sexism in the online game.
Further, in her blog, Valerie who made that video told the reason of that video as well as why she choose sexynerdgirl as her account name. This is interesting since her choice to use sexynerdgirl have raise controversy and even people start to accuse her, she tried to get attention by using that kind of name.
I do support that in the gaming culture, the culture of non-sexist, non-racism and non homophobic should be embraced and that video not only mention about sexism! In the game world which is stereotypically male dominated area, it is possible that sexist behavior exist in the gamer community.  Further, the game which using sexy female avatars may also contribute on it.

Saturday, December 22, 2012

memaknai 22 desember, lebih dari sekedar hari ibu

1
























Beberapa hari sebelum tanggal 22 Desember dan hingga tanggal itu, berbagai status tentang hari ibu, yang mengucapkan terima kasih kepada ibu berseliweran di media sosial yang saya miliki, entah facebook atau twitter. Sedikit diantaranya mengurai makna lebih dalam dengan berkata hari perempuan atau hari pergerakan perempuan. Pun saya yang memasang status yang mengulik sedikit sejarah hari ibu di Indonesia dan memilih menulis "selamat hari perempuan" mengundang beberapa komentar, ada yang setuju dan ada juga yang memberikan jempol. Ini tentu saja bukan yang pertama kali, ketika saya memilih untuk alih-alih berucap hari ibu menjadi hari perempuan. 

Delapan puluh empat tahun yang lalu, tiga puluh organisasi perempuan berkumpul di Jogjakarta dalam Kongres Wanita (Perempuan) Indonesia I. 
Kongres yang membahas berbagai persoalan perempuan kala itu, kemudian menghasilkan beberapa keputusan (sumber wartafeminis.wordpress.com): 
  • mengirimkan mosi kepada pemerintah kolonial untuk menambah sekolah bagi anak perempuan
  • pemerintah wajib memberikan surat keterangan pada waktu nikah (undang-undang perkawinan; dan segeranya diadakan peraturan yang memberikan tunjangan kepada janda dan anak-anak pegawai negeri Indonesia
  • memberikan beasiswa bagi siswa perempuan yang memiliki kemampuan belajar tetapi tidak memiliki biaya pendidikan, lembaga itu disebut stuidie fonds
  • mendirikan suatu lembaga dan mendirikan kursus pemberantasan buta huruf, kursus kesehatan serta mengaktifkan usaha pemberantasan perkawinan anak-anak
  • mendirikan suatu bdan yang menjadi wadah pemufakatan dan musyawarah dari berbagai perkumpulan di Indonesia, yaitu Perikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia (PPPI)
  • PPPI bertujuan memberikan informasi dan menjadi mediator berbagai perkumpulan perempuan di dalamnya. 

Mengulik sejarahnya, hari ibu yang ditujukan tuk mengenang pergerakan perempuan di Indonesia (hmm, agak rancu juga menulis kalimat ini, soalnya saya belum pernah membaca isi dekrit presiden no. 39/1959 yang menetapkan hari ibu itu), rasa-rasanya mengalami pereduksian makna jika lebih menjadi ucapan terima kasih pada ibu (bukan berarti saya menentang untuk mengucapkan terima kasih dan menghargai jasa-jasa ibu), namun harusnya dimaknai pula lebih luas dibanding hal tersebut. 
Dan, apakabar perempuan Indonesia...? Membaca keputusan Kongres Perempuan I tersebut, membuat saya miris. Bagaimana tidak, persoalan yang dihadapi perempuan kala itu ternyata masih dialami perempuan-perempuan Indonesia saat ini. Sebut saja pernikahan siri, pernikahan kanak-kanak, yang paling hot tentu saja kasus pernikahan salah seorang bupati di suatu daerah di Jawa. Pengalaman tinggal beberapa saat di daerah pedalaman di Sumatra, menunjukkan perempuanlah yang kebanyakan tidak bisa baca tulis (ini tentu saja sangat subjektif, karena saya hanya melihat di satu daerah saja, untuk lebih globalnya saya tidak tahu pasti tentang statistiknya). Dampak dari hal itu, perempuan yang sudah menjadi warga kelas dua, makin tepinggirkan; terkucil dari perkembangan tekhnologi (macam hp). Perempuan yang saya maksud di sini tentu saja tidak semua perempuan, karena kebanyakan perempuan muda telah bisa baca tulis. Jika melihat secara global, mungkin cukup menggembirakan. Lihat saja, banyak perempuan kini yang bekerja, mencapai tingkat pendidikan yang tinggi, memiliki jabatan tinggi, dsb, dsb, namun jika melihat lebih dalam, mungkin belum banyak berita gembira yang didapatkan..
Karenanya, saya lebih memilih untuk memaknai 22 Desember sebagi hari pergerakan perempuan ketimbang jatuh dalam pereduksian makna hari ibu. 

Tuesday, June 05, 2012

Sosial Media, the End of Gender?

0

Ada sebuah video menarik di TED berjudul Social Media, the End of Gender. Ini mengingatkan saya dengan discourse tentang internet sebagai genderless space, dimana gender doesn't matter. Benarkah? Saya rasa tidak, hingga saat ini saya masih percaya bahwa everything is gendered, even cyber-spaces. 

Video tersebut menekankan tentang internet dan marketing, dimana sebelumnya konsumen dibedakan sesuai dengan demografinya. Misalnya berdasarkan kelompok umur, jenis kelamin dsb. Artinya jika anda berada dalam suatu kelompok demografi tertentu, anda memiliki kecenderungan tertentu. Pun demikian, saat ini sulit sekali untuk melakukan pengelompokkan tersebut, sehingga demografi bukanlah hal utama terlebih internet memungkinkan hal tersebut. Akibatnya, apa yang disukai seseorang itu yang lebih penting. Yang membuat saya tidak nyaman di sini adalah, kita ditrack online, berdasarkan apa yang kita lakukan di dunia maya. Hanya karena saya berkunjung ke sebuah dating situs, ketika saya berpikir untuk melakukan online field work untuk tugas kuliah, saya menjumpai iklan dating situs di blog saya. Atau karena saya sering mencari hostel atau penerbangan murah, terkadang ada iklan hostel dan penerbangan juga. 

Pun demikian, demografi ternyata masih penting juga. Pernah saya membuktikan dengan mengganti jenis kelamin saya menjadi laki-laki di Facebook dan mengatakan interested in men. Awalnya saya tidak melihat adanya perbedaan ketika saya memilih jenis kelamin perempuan dan interested in none. Namun kemudian, saya mendapatkan iklan tentang gay cities dan beberapa iklan produk yang ditujukan untuk laki-laki (e.g. pencukur kumis, dsb). Hal tersebut belum pernah saya dapatkan sebelum saya mengganti info pribadi saya di Facebook. 

Thursday, April 26, 2012

tolak lagu kamseupay

2

Seorang teman memposting di Facebook tentang lagu berjudul "Kamseupay" yang dinyanyikan Lolipop. Lagu tersebut memupuk diskriminasi sosial di kalangan anak-anak yang beranjak dewasa. Lagu tersebut juga menjadi soundtrack sinetron putih abu-abu. Penasaran dengan lagu tersebut, saya coba cari di Youtube dan mencermati lirik lagunya.Berikut adalah lirik lagu tersebut:
Jangan dekat-dekat denganku Karena kamu bukan level-ku Kita beda kasta, beda segalanya Jangan mimpi saingi aku Kalau kamu masih punya malu Modal dengkul aja, gak ada harganya Gaya lo… Tingkah lo… Muka lo… KAM-SE-U-PAY Gaya lo… Tingkah lo… Muka lo… KAM-SE-U-PAY Tak sudi berteman sama rakyat jelata Mendingan lo semua kelaut aja Lihat ku aduhai, gaya pun keren pandai Gak seperti lo semua yang, KAM-SE-U-PAY Ho… eoh eoh… Eoh eoh… Euwwww….. KAM-SE-U-PAY Jangan dekat-dekat denganku Karena kamu bukan level-ku Kita beda kasta, beda segalanya Jangan mimpi saingi aku Kalau kamu masih punya malu Modal dengkul aja, gak ada harganya Gaya lo… Tingkah lo… Muka lo… KAM-SE-U-PAY Gaya lo… Tingkah lo… Muka lo… KAM-SE-U-PAY Tak sudi berteman sama rakyat jelata Mendingan lo semua kelaut aja Lihat ku aduhai, gaya pun keren pandai Gak seperti lo semua yang, KAM-SE-U-PAY Ho… eoh eoh… Eoh eoh… Euwwww….. KAM-SE-U-PAY
Membaca lirik tersebut saya jadi geleng-geleng kepala sendiri dan yah saya setuju jika lagu ini memupuk dikriminasi sosial. Dilihat dari liriknya, lagu ini sejak awal sudah mengusung tentang perbedaan level, kasta dan sangat diskriminatif.
Jangan dekat-dekat denganku Karena kamu bukan level-ku Kita beda kasta, beda segalanya
Tak sudi berteman sama rakyat jelata Mendingan lo semua kelaut aja
Apa jadinya jika anak-anak dijejali lagu seperti ini? Ini sama saja mengajarkan untuk melakukan diskriminasi sosial. Saya sendiri tidak rela jika generasi muda sudah dijejali dengan hal-hal yang mengajarkan diskriminasi.

Sunday, January 22, 2012

Merindukan Ruang Publik yang Aman bagi Perempuan (dan Anak)

0

Miris hati saya, ketika pagi ini membaca sebuah tulisan "Mahasiswi Diperkosa Lima Pemuda di Angkot." Ini mengingatkan saya pada status mbak Mariana Amiruddin di FB beberapa hari yang lalu,
"Seorang ibu menunggu angkot di pinggir kota sendirian. Datanglah angkot kosong gelap. Saya panik, langsung saya beri tumpangan. Kebetulan satu tujuan. Lalu kami berdua diskusi soal perkosaan di angkot dan situasi kota yg memburuk."
Saya menjadi bertanya, apakah mimpi tentang ruang publik yang aman bagi perempuan (dan anak) masih jadi mimpi belaka di negeri ini? Beberapa waktu yang lalu ketika bertemu dengan kelompok perempuan di Turku (red: Finlandia), mereka bertanya apa yang membedakan hidup di Indonesia dengan di Turku dari perspektif saya yang perempuan. Agak sulit menjawabnya, ada beberapa hal yang membuat saya turn green with envy dengan keadaan di sini. Salah satunya adalah rasa aman, meski malam atau dini hari saya masih berada di jalan yang sepi dan gelap, sendirian; namun saya merasa aman. Tidak ada street harassment yang biasa saya dapati atau saksikan di Indonesia, entah itu komentar dari sekelompok orang (laki-laki) atau siulan. Hal yang sama saya rasakan ketika berada di Thailand, meski tentu saja kadar rasa amannya tidak setinggi di sini. 

 Saya kemudian bertanya, akankah ketika kembali nanti ke negeri tercinta ruang publik sudah menjadi tempat yang aman bagi perempuan. Ketika berbicara tentang ruang publik dan rasa aman, kemudian saya teringat dengan pernyataan seorang tokoh yang menyalahkan busana yang dipakai perempuan. Ah.. kembali perempuan menjadi yang paling bertanggungjawab atas urusan moral. Tubuh perempuan disalahkan dan bagaimana perempuan berbusana menjadi hal yang dituding sebagai penyebab ketidakamanan pada perempuan. Permasalahannya apakah pada perempuan dan busana yang dikenakannya atau pada cara pandang yang menjadikan perempuan sebagai objek? Ketika masyarakat saling menghormati dan menghargai satu sama lain, tidak memandang pihak yang lain sebagai objek, ruang publik yang aman bagi perempuan (dan anak) bahkan bagi siapa pun tentu saja bukan impian belaka. ----

Monday, October 17, 2011

sejenak membincangkan cinta dalam sajak 'Aku Ingin'

0


Aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
Dengan kata yang tak sempat diucapkan
Kayu kepada api yang menjadikanya abu
Aku ingin mecintaimu dengan sederhana:
Dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
Awan kepada hujan yang menjadikannya tiada
Sapardi Djoko Damono, (1989)



Mungkin cinta adalah tema yang paling sering kita dengar saban hari, entah di televisi, roman, lagu atau dalam kehidupan sehari-hari. Membincangkan tentang cinta membuat saya teringat dengan sajak Aku Ingin-nya Sapardi Djoko Damono. Puisi ini cukup populer, jika tidak percaya anda bisa menggooglingnya dan akan keluar berlembar-lembar hasil termasuk musikalisasi puisi tersebut. Mungkin andapun akan menemukan video karya saya di sini, wah kenapa saya malah jadi promosi ya ^_^ hehehe.. back to the topic



Puisi ini mungkin terkesan sederhana, namun sejatinya mengandung makna yang dalam (setidaknya bagi saya). Untaian kata-kata tersebut menyentuh benar dalam diri saya, salah satu kepiawaian SDD adalah meramu kata-kata dan ini adalah salah satunya. Bahkan hingga kini saya masih berusaha memaknai untaian kata dalam sajak itu.

mencinta dengan sederhana
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Saya menjadi bertanya bagaimanakah itu mencintai dengan sederhana? Cinta dalam wajah yang sederhana, tanpa ada kerumitan atau hal-hal yang 'wah'. Membaca sajak 'Aku Ingin', SDD menghadirkan wajah kesederhanaan cinta dalam peniadaan sebagaimana hubungan api dan kayu atau awan dan hujan.

Mencermati kata-kata tersebut, membuat saya berpikir tentang unconditional love. Hubungan kayu dan api dan awan dan hujan, mungkin adalah hubungan yang tak pernah kita pikirkan. Rasa-rasanya hubungan tersebut adalah suatu yang normal adanya, mungkin demikianlah pengorbanan, tak mengharap berbalas. Suatu hubungan yang tulus mungkin.

Kadang menjadi bertanya, kenapa mencintai seseorang, andai dia adalah pembunuh, masihkah mencintainya? andai dia bukan anak kita, masihkah mencintainya? dan masih banyak andai andai yang lain tentu saja. Cinta.. dan pada akhirnya saya hanya bisa mengutip kata-kata Joni Mitchell,
....and still somehow I really don't know love at all.

Mungkinkah saya yang membuat cinta menjadi sebuah rumusan yang complicated dan tak berusaha mennyederhanakannya? entahlah.. Mungkin saya masih terjebak dengan definisi atau apalah tentang cinta atau mungkin bagaimana menyebut perasaan saya. Menjadi bertanya apakah saya sudah benar-benar mencinta? Mencinta dengan sederhana sebagaimana yang tertuang dalam sajak aku ingin.

Atau mungkin ini adalah bentuk cinta yang lain. Cinta tuhan kepada makhluknya...

Wednesday, July 01, 2009

Ulang Tahun Jakarta: Menjadikan Jakarta Kota Ramah Anak

0

500 tahun yang lalu, Jakarta adalah sebuah bandar kecil di muara sungai Ciliwung. Kota bandar itu kemudian berkembang menjadi bandar internasional yang ramai. Dalam laporan para penulis Eropa pada abad XVI, kota itu disebutkan sebagai sebuah kota bernama Kalapa yang menjadi Bandar Kerajaan Hindu bernama Sunda yang beribukota di Pajajaran. Dalam upaya pencarian akan rempah-rempah, Portugis menduduki kota tersebut. Selanjutnya, Kalapa berhasil dikuasai oleh seorang muda bernama Fatahillah yang kemudian mengganti nama Kalapa menjadi Jayakarta pada tanggal 22 Juni 1527 (yang kemudian menjadi hari ulang tahun kota Jakarta). Pada akhir abad XVI, Jayakarta dikuasai oleh VOC, dan diubah namanya menjadi Batavia. Batavia selanjutnya menjadi pusat perekonomian dan pemerintahan. (http://www.my-indonesia.info/page.php?ic=1197&id=1461). 

 22 Juni yang lalu, Jakarta merayakan ulang tahunnya ke-482, sebuah perjalanan yang cukup panjang tentunya. Momen ini cukup istimewa, mengingat yang berulang tahun adalah ibukota negara. Berbagai even pun digelar, sebut saja Festival Passer Baru, Pekan Raya Jakarta hingga banjir diskon di beberapa tempat. Adalah menarik untuk melihat fenomena anak di Jakarta, mengingat jumlah anak di Jakarta cukup banyak, sekitar 60-70% dari jumlah populasi di Jakarta. 

Kota Ramah Anak
Ide tentang kota diawali dengan penelitian tentang Childern’s Perception of the Environment oleh Kevin Lynch (arsitek dari Massachusetts Institute of Technology) di 4 kota, yaitu Melbourne, Warsawa, Salta dan Mexico City pada tahun 1971 – 1975, dalam rangka program Growing Up in the City yang disponsori oleh UNESCO. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa lingkungan kota yang terbaik bagi anak adalah yang memiliki komuniti yang kuat secara fisik dan sosial, mempunyai aturan yang tegas dan jelas, yang memberi kesempatan kepada anak; dan fasilitas pendidikan yang mampu memberi kesempatan bagi anak untuk mempelajari dan menyelidiki lingkungan serta dunia mereka. Dalam tataran internasional, terkait dengan hal anak, PBB telah mengadopsi Konvensi Hak Anak Tahun 1989, yang didalamnya memuat 4 hak pokok anak, yaitu hak hidup, perlindungan, tumbuh kembang dan partisipasi. Selain itu, terdapat pula prinsip-prinsip yang harus diperhatikan, yaitu non diskriminasi dan mengutamakan yang terbaik untuk anak (the best interested of child). Pada KTT Bumi di Rio de Janeiro tahun 1992, disepakati prinsip-prinsip Agenda 21, yaitu Program Aksi untuk Pembangunan Berkelanjutan. Pada Bab 25 Agenda 21 dinyatakan bahwa anak dan remaja merupakan salah satu major group yang dilibatkan untuk melindungi lingkungan dan kegiatan masyarakat yang sesuai dan berkelanjutan. Bab 28 Agenda 21 juga menjadi rujukan bahwa remaja berperan serta dalam pengelolaan lingkungan. Penelitian Kevin Lynch kemudian ditinjau kembali, dan dilakukan penelitian serupa oleh Dr Louse Chawla dari Children and Environment Program of the Norwegian Centre for Child Research yang diseponsori oleh UNESCO dan Child Watch International di Argentina (Buenos Aires dan Salta), Australia (Melbourne), Inggris (Northampton), India (Bangalore), Norwegia (Trondheim), Polandia (Warsawa), Afrika Selatan (Johannesburg) dan Amerika Serikat (Oaklands dan California). Selanjutnya, pada Konferensi Habitat II di Istambul, Turki pada tahun 1996 ditandatangani sebuah Program Aksi untuk Membuat Permukiman yang lebih nyaman untuk ditempati dan berkelanjutan. Dalam pasal 13, secara spesifik ditegaskan bahwa anak dan remaja harus mempunyai tempat tinggal yang layak, terlibat dalam proses pengambilan keputusan, terpenuhinya kebutuhan dan peran anak dalam bermain di komunitinya. 

Tuesday, November 25, 2008

Maria Walanda Maramis, Pejuang Emansipasi Perempuan dari Sulawesi

0

Tidak banyak tulisan yang mengungkapkan tentang Maria Walanda Maramis. Padahal apabila melihat sepak terjang beliau, cukup memberikan kontribusi dalam sejarah emansipasi perempuan di negeri ini. 

Maria Josephine Chaterine Maramis, atau lebih dikenal dengan nama Maria Walanda Maramis, lahir di Kema, sebuah kota kecil di Kabupaten Minahasa Utara pada tanggal 1 Desember 1872. Maria adalah anak ketiga dari tiga bersaudara, kakak perempuannya bernama Antje dan kakak laki-lakinya bernama Andries. Andries kemudian terlibat dalam pergolakan kemerdakaan Indonesia. 

Ketika berumur 6 tahun, kedua orang tua Maria meninggal dan Maria beserta saudara-saudaranya dibawa oleh Pamannya (Rotinsulu) ke Maumbi. Di sana Maria dan Antje disekolahkan di Sekolah Melayu di Maumbi. Sekolah ini setingkat Sekolah Dasar, dimana para siswanya belajar membaca dan menulis serta sedikit ilmu pengetahuan dan sejarah. Pada saat itu, pendidikan bagi perempuan sangat rendah, karena mereka diharapkan untuk menikah dan mengasuh anak. Berutung, Paman Maria, Rotinsulu merupakan orang terpandang dan memiliki banyak teman yang pada umumnya orang Belanda, sehingga Maria memiliki pergaulan yang luas meskipun hanya mendapatkan pendidikan sekolah dasar. Maria akrab dengan salah satu keluarga pendeta Belanda, Ten Hoeven. Pendeta yang mempunyai pandangan luas di bidang pendidikan tersebut sangat mempengaruhi jiwa Maria. Maria kemudian bercita-cita untuk memajukan perempuan Minahasa. Ini tidak lepas dari keadaan saat itu, dimana adat istiadat merupakan hambatan bagi kaum perempuan. Akibat pendidikan yang rendah, banyak perempuan kurang mengerti tentang persoalan kesehatan, rumah tangga dan mengasuh anak. 

Maria menikah pada umur 18 tahun dengan Yosephine Frederik Calusung Walanda, seorang guru bahasa di HIS Manado. Dari suaminya, Maria banyak belajar tentang bahasa dan pengetahuan lain seperti keadaan masyarakat di Sulawesi. Pada bulan Juli 1917, dengan bantuan suaminya serta kawan-kawannya yang lain, Maria mendirikan PIKAT (Percintaan Ibu Kepada Anak Turunannya). Organisasi ini bertujuan untuk mendidik kaum perempuan dalam hal rumah tangga, seperti memasak, menjahit, merawat bayi, pekerjaan tangan dan sebagainya. Maria berpendapat bahwa perempuan adalah tiang keluarga, dimana di pundak perempuan inilah tergantung masa depan anak-anak. Oleh karenanya, perempuan perlu mendapatkan pendidikan yang baik. Maria juga melihat kenyataan di masyarakat, dimana banyak anak perempuan yang bersekolah dan mempunyai keahlian seperti juru rawat dan bidan namun akhirnya menjadi ibu rumah tangga biasa. 

Melalui tulisannya di harian Tjahaja Siang di Manado, Maria mengemukakan pemikiran-pemikirannya tentang perempuan. Kepada ibu-ibu terkemukan di daerah lain, Maria menganjurkan agar mendirikan cabang PIKAT. Kemudian tumbuh cabang-cabang PIKAT di Minahasa, seperti di Maumbi, Tondano, Sangirtalaud, Gorontalo, Poso dan Motoling. Cabang PIKAT juga terdapat di Jawa dan Kalimantan, yaitu di Batavia, Bandung, Bogor, Cimahi, Magelang, Surabaya, Balikpapan, Sangusangu dan Kotaraja. Pada tanggal 2 Juli 1918 di Manado didirikan sekolah rumah tangga untuk perempuan-perempuan muda, yaitu Huishound School PIKAT. Untuk menambah pemasukan uang, Maria menjual kue-kue dan pekerjaan tangan. Inisiatif Maria ini kemudian membuat hampir setiap orang terpandang di Manado memberikan sumbangan untuk sekolah tersebut. Selain itu Maria juga mengadakan pertunjukkan sandiwara Pingkan Mogogumoy, sebuah cerita klasik Minahasa. Berkat usahanya tersebut, berhasil didirikan gedung sekolah dan asrama. Hampir setiap bulan Maria mengadakan rapat dengan pengurus cabang setempat, seperti Pandano, Tomohon, Amurang, Airmadidi, dan Bolang Mongondow. Maria juga selalu menanamkan rasa kebangsaan di hati kaum perempuan, dengan menganjurkan memakai pakaian daerah dan berbahasa Indonesia. Pada tahun 1932, PIKAT mendirikan Opieiding School Var Vak Onderwijs Zeressen atau Sekolah Kejuruan Putri. 

Maria juga aktif untuk mewujudkan cita-citanya, agar kaum perempuan memiliki hak yang sama dengan laki-laki. Maria juga yakin bahwa perempuan mampu mengikuti pelajaran yang lebih tinggi seperti laki-laki. Selain itu, Maria juga berusaha agar perempuan diberi tempat dalam urusan politik, seperti duduk dalam keanggotaan Dewan Kota atau Volksraad (Dewan Rakyat). Pada tanggal 22 April 1924, Maria meninggal dunia. 45 tahun kemudian, Maria dianugerahi gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional.