Hubungan antara perempuan dan perdamaian bukanlah suatu hal yang baru. Sejarah membuktikan bahwa saat konflik terjadi perempuan bergerak dalam mengupayakan perdamaian. Perempuan dan kelompok perempuan memainkan peran penting dalam perdamaian. Sayangnya hal ini acapkali terabaikan. Masalah menjaga atau pengupayaan perdamaian seringkali dianggap sebagai wilayah kekuasaan laki-laki, demikian halnya dengan masalah keamanan dan pertahanan.
Dalam situasi konflik/ perang, perempuan dan anak menjadi kelompok yang tidak diuntungkan. Perempuan memiliki beban dalam menjaga kelangsungan hidup keluarganya (saat laki-laki berperang, perempuan menjaga rumah dan juga ekonomi), dan dalam situasi tersebut ekskalasi kekerasan terhadap perempuan dan anak pun meningkat. Dari sini terlihat bagaimana perdamaian terkait erat dengan hak perempuan. Deklarasi internasional tentang keadilan social melihat bahwa hak sosial dan politik perempuan tidak bisa terpenuhi tanpa adanya keadaan yang stabil dan damai.
Saat terjadi perang, perempuan mengorganisasikan diri untuk mengupayakan perdamaian. Di awal tahun 1820, perempuan Amerika membentuk Female Peace Society, sementara itu pada tahun 1854 terbentuklah kelompok perdamaian transnasional pertama, the European Women’s Peace League yang dipelopori oleh Frederika Bremer.1 Di awal tahun 1891, National Council of Women (NCW) dan Women’s Christian Temperance Union (WCTU) meminta pemerintah Amerika Serikat untuk menghindarkan terjadinya perang dengan Chili. Pada tahun 1980an, berdiri Mothers Against Silence di Israel, Women in Black di Israel muncul setelah intifada 1988 dan di tahun 1995 muncul the Saturday Mother di Turki.
Bertolak dari hal tersebut, menarik untuk dikaji lebih dalam mengenai peran perempuan dalam perdamaian. Dalam mengkaji masalah tersebut, penting untuk dibahas mengenai feminisme, karena feminisme merupakan gerakan untuk menciptakan keadilan antara laki-laki dan perempuan. Proses perdamaian itu sendiri sudah semestinya membawa dampak bagi terciptanya situasi yang adil.
Feminisme dan Perdamaian
Beberapa tokoh feminisme sepakat bahwa perang hanya ada dalam benak laki-laki. Ini disebabkan karena laki-laki ditumbuhkan dengan sifat agresif (laki-laki disosialisasikan untuk lekat dengan kekerasan, misalnya dengan bermain perang-perangan, dsb).
Berkelahi, menaklukkan, menguasai, dan menyerang kemudian disebut sebagai kemampuan laki-laki (masculine skill). Sifat masculin yang berlebihan ini yang menyebabkan terjadinya konflik/ perang. Konflik dan peperangan kemudian dipahami sebagai berkumpulnya paham-paham maskulinitas yang mengabaikan pihak-pihak inferior (termasuk perempuan). Oleh karenanya, laki-laki harus disadarkan atas sifat destruktifnya, karena hipermaskulin dapat menyebabkan terjadinya kehancuran. Adanya perang, kekerasan, termasuk kekerasan terhadap perempuan berawal dari cara pandang maskulin.
Sementara itu, perempuan yang dalam kesehariannya dekat dengan konsep alam dan mengasuh anak, dalam dirinya tumbuh sifat memelihara. Oleh karenanya perempuan memeiliki potensi dalam melakukan kegiatan perdamaian. Berkaitan dengan hal ini, ada salah satu gerakan perempuan yang menjuluki dirinya Pasifis, merupakan gerakan masyarakat yang mendorong pengurangan senjata dan perang. Lou Harris dan Harris Poll, mengatakan bahwa perempuan jauh lebih maju daripada laki-laki dalam mendesakkan kahadiran kualitas dasar kemanusiaan, lebih berdedikasi pada perdamaian dan menentang perang serta lebih memberikan perhatian terhadap kekerasan terhadap anak, serta begitu tergerak hatinya terhadap apa yang disebut sebagai the pall of violence (selubung kekerasan).
Sementara itu, menurut Françoise de Eaubonne yang pertama kali memperkenalkan "Revolusi Ekologis", hanya perempuanlah yang cocok mengemban misi perdamaian. Kedekatan perempuan dengan konsep Ibu Bumi (mother's nature), menyebabkan perempuan memiliki potensi untuk melakukan revolusi ekologis.
Ekofeminisme melihat adanya masalah sosial, kultural dan struktural berupa dominasi yang sangat kuat dalam relasi antarkelompok manusia (ras, etnik, negara bangsa, agama, seks dan jender) dan antar manusia dengan lingkungannya yang menyebabkan penderitaan bagi manusia, baik perang atau kehancuran lingkungan hidup. Dalam ideology ini, ditemukan titik tolak bersama, yaitu tentang energi feminitas yang berpotensi untuk menjaga bumi. Oleh karena itu, jelas terlihat bahwa sub-ordinasi perempuan tidak hanya membawa dampak buruk pada perempuan, namun juga kepada laki-laki. Demikian pula sebaliknya, kesetaraan gender akan menguntungkan perempuan dan juga laki-laki.
Thursday, August 09, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
1 komentar:
Pretty nice post. I just stumbled upon youur weblog and
wanted to say that I've reaally enjoyed surfing around your blog posts.
In any case I'll be subscribing to your rrss feed and I hope you wrfite again very
soon!
Post a Comment