Sunday, February 27, 2011

PRT migran oh PRT migran...

3

Beberapa hari lalu publik dikejutkan dengan pernyataan Ketua DPR RI, Marzuki Alie yang menyatakan
"PRT TKW itu membuat citra Indonesia buruk."
Lebih lanjut Marzuki menyarankan untuk menghentikan sementara pengiriman TKW PRT, yang dinyatakannya sebagai pendapat pribadi.
"Saya setuju hentikan TKW PRT untuk sementara waktu. PRT sebaiknya tidak kita kirim karena memalukan. Sebaiknya dihentikan. Ini pendapat pribadi."
Pernyataan yang mengundang kontroversi itu tak ayal menuai berbagai protes. Bagaimana tidak, karena pernyataan itu mencerminkan bagaimana PRT TKIP dipandang, terlebih oleh seorang pejabat publik yang sayangnya adalah ketua DPR. (sengaja saya menggunakan singkatan TKIP atau Tenaga Kerja Indonesia Perempuan, karena menurut saya istilah TKW mendiskriminasikan TKIP, ketika istilah TKI digunakan untuk laki-laki sementara perempuan menggunakan istilah TKW-Red).

Berdasarkan data migrancare, tidak kurang 4.5 juta warga Indonesia berada di luar negeri debagai pekerja migran (TKI. Ini artinya sekitar 2% penduduk Indonesia (mengambil angka sensus penduduk 2010, jumlah penduduk Indonesia 237.556.363) mengadu nasib sebagai TKI, dan jumlah ini tentu saja terus bertambah, mengingat hampir setiap tahun sekitar 600-700 ribu orang diberangkat ke luar negeri (http://www.tkiindo.co.cc) Sebagian besar dari mereka (sekitar 70%) adalah perempuan yang bekerja di sektor domestik (PRT) dan manufaktur, sementara laki-laki kebanyakan bekerja sebagai buruh perkebunan, konstruksi, transportasi dan jasa (migrantcare).

Sebutan pahlawan devisa rasanya cukup tepat, bagaimana tidak dari cucuran peluh mereka tersumbang kurang lebih Rp 24 triliun bagi devisa negara yang berasal dari remitan (Kemenakertrans). Sementara itu, berdasarkan penelusuran Kantor Bank Indonesia (KBI) Surabaya, jumlah remitan pada tahun 2010 mencapai 100 triliun (Republika). Bahkan menurut data migrancare, pada tahun 2010, jumlah remitan mencapai 7,135 miliar dolar AS, atau lebih besar dari jumlah bantuan pembangunan negara asing (1,2 miliar dolar AS). Jumlah yang tidak sedikit tentu saja, dan TKI menjadi penyumbang devisa nomor 2 untuk negara.

Membincangkan persoalan PRT migran cukuplah kompleks, dan hal ini tidak bisa dipandang dari sisi kurangnya skill PRT Indonesia atau perilaku negatif dari PRT migran, sebagaimana yang disampaikan Marzuki Alie. PRT migran menjadi alternatif upaya karena negara belum mampu menyejahterakan warganya. Tidak hanya itu saja, PRT migran yang semuanya perempuan menghadapi berbagai bentuk diskriminasi, misalnya saja diskriminasi dalam pengupahan, rentan terhadap kekerasan baik fisik atau seksual serta jam kerja yang cukup panjang. Ini belum ditambah dengan rentannya posisi mereka sebagai pekerja migran yang berhadapan dengan sistem keimigrasian yang restriktif dan belum terlindunginya hak-haknya dalam UU tenaga kerja.

Menjadi teringat percakapan saya beberapa waktu lalu dengan mantan PRT migran yang menceritakan panjangnya jam kerja yaitu dari jam 5 pagi hingga jam 2 pagi, hampir 21 jam! Hal ini tentu saja hanya dialami perempuan, karena sektor domestik (rumah tangga) yang telah dikonstruksikan sebagai ranah perempuan. Tingginya permintaan akan sektor domestik ini kemudian menyebabkan feminisasi migrasi, dimana sebagian besar migran adalah perempuan. Bahkan salah satu dampak hal ini, pihak PJTKI lebih memudahkan TKIP dibanding TKIL, misalnya saja dengan membebankan biaya yang cukup besar bagi calon TKIL yang akan berangkat ke luar negeri. Tuntutan ekonomi kemudian menjadikan banyak perempuan mengadu nasib di luar negeri sebagai PRT migran. Ketiadaan skill dan rendahnya pendidikan membuat mereka kurang bisa mengakses sektor profesional. Pertanyaannya, apakah menjadi PRT migran adalah cita-cita mereka? Bagaimana dengan negara, apakah sudah mampu menyediakan pendidikan murah berkualitas bagi warganya?

Menimpakan kesalahan pada PRT migran mencerminkan kesan 'cuci tangan' pemerintah. Bukankah menjadi kewajiban pemerintah untuk memastikan bahwa setiap PRT yang bekerja di luar negeri memiliki keterampilan yang memadai? Dan bukankah kewajiban negara untuk melindungi warga negaranya? termasuk mereka yang bekerja di luar negeri.

Menghentikan pengiriman PRT migran untuk sementara waktu bukanlah jalan keluar yang cerdas, terlebih ketika negara belum mampu memberikan kesejahteraan bagi warganya. Cita-cita negara kesejahteraan sebagaimana tertuang dalam konstitusi nasional tampaknya masih jauh dari realitas. Menghentikan pengiriman PRT migran sementara waktu bahkan boleh jadi mempertinggi jalur ilegal pengiriman PRT migran. Hal ini juga jelas pelanggaran hak untuk bekerja.

Sudah seharusnya pemerintah mulai membuat langkah-langkah strategis dan serius serta kebijakan pro rakyat. Pengakuan terhadap Pekerja Rumah Tangga migran dan juga komitmen perlindungan yang serius adalah wajib hukumnya. PRT migran bukanlah komoditas, dan perlu adanya perlindungan komprehensif terhadap mereka, misalnya saja dengan meningkatkan kualitas pekerja rumah tangga, memastikan PRT migran bekerja di tempat yang aman, kontrol terhadap PJTKI, serta memaksimalkan diplomasi perlindungan terhadap TKI. Hal ini tentu saja perlu dibarengi dengan upaya-upaya peningkatan kesejahteraan warga negara seperti penciptaan lapangan kerja, kebijakan sosial bagi warga negara, pendidikan gratis dan berkualitas, dan tentu saja pemberantasan korupsi.

Pustaka:
"Jumlah TKI di LN Capai 3 Juta," di http://us.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2006/bulan/03/tgl/20/time/162544/idnews/562163/idkanal/10 (27/02/2011).
http://www.migrantcare.net/
"Marzuki Alie: TKW PRT Buat Citra Indonesia Buruk," di http://us.detiknews.com/read/2011/02/26/135623/1579983/10/marzuki-alie-tkw-prt-buat-citra-indonesia-buruk (26/02/2011)
"Pernyataan Marzuki Alie Soal PRT Diprotes Keras," di http://us.detiknews.com/read/2011/02/26/204930/1580172/10/pernyataan-marzuki-alie-soal-prt-diprotes-keras (27/02/2011)
"Marzuki Tak Pantas Hina Pahlawan Devisa," di http://us.detiknews.com/read/2011/02/27/042027/1580222/10/marzuki-tak-pantas-hina-pahlawan-devisa (27/02/2011)
"Tahun 2010, TKI kirim Uang Rp 100 Triliun," Republika, di http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/nasional/10/12/05/150754-tahun-2010-tki-kirim-uang-rp-100-triliun (27/02/2011)



3 komentar:

Anonymous said...

Saya selaku muslimah sangat setuju TKIP dihentikan sama sekali mengingat keberadaan wanita yang harus senantiasa didampingi oleh muhrimnya ketika keluar rumah demi keamanannya. Di Indonesia wanita bisa pergi kemanapun setiap saat karena kondisidi Indonesia aman bagi para wanita tetapi di LN terutama di Negara Timur Tengah keberadaan wanita sangat rentan dengan kekersan.

Kekerasan yang menimpa TKIP disebabkan karena TKIP melanggar : 1. Ketentuan agama (keluar dari rumah tanpa didampingi muhrimnya) 2. Tidak mempunyai ketrampilan dalam menjalankan pekerjaannya meski hanya sebagai PRT, pekerjaan sebagai PRT juga diperlukan keahlian)

TKIP menyumbang devisa yang begitu besar bagi NKRI bukan hal yang membanggakan, tetapi sangat memalukan, dan tugas serta kewajaiban Pemerintah dan DPR untuk menjadikan rakyat Indonesia sejahtera, dengan cara pertama-tama mencerdaskan rakyat Indonesia agar bisa berfikir cerdas untuk bisa sejahtera di negeri sendiri, Indonesia merupakan negara yang mempunyai kekayaan luar biasa mengapa masyarakatnya harus menjadi budak di LN dan diperlakukan hina di negeri orang lain. hentikan pengiriman TKIP sebagai PRT terutama di Timur Tengah dan di Malaysia.

eko susiati said...

Saya selaku muslimah sangat setuju TKIP dihentikan sama sekali mengingat keberadaan wanita yang harus senantiasa didampingi oleh muhrimnya ketika keluar rumah demi keamanannya. Di Indonesia wanita bisa pergi kemanapun setiap saat karena kondisidi Indonesia aman bagi para wanita tetapi di LN terutama di Negara Timur Tengah keberadaan wanita sangat rentan dengan kekersan.

Kekerasan yang menimpa TKIP disebabkan karena TKIP melanggar : 1. Ketentuan agama (keluar dari rumah tanpa didampingi muhrimnya) 2. Tidak mempunyai ketrampilan dalam menjalankan pekerjaannya meski hanya sebagai PRT, pekerjaan sebagai PRT juga diperlukan keahlian)

TKIP menyumbang devisa yang begitu besar bagi NKRI bukan hal yang membanggakan, tetapi sangat memalukan, dan tugas serta kewajaiban Pemerintah dan DPR untuk menjadikan rakyat Indonesia sejahtera, dengan cara pertama-tama mencerdaskan rakyat Indonesia agar bisa berfikir cerdas untuk bisa sejahtera di negeri sendiri, Indonesia merupakan negara yang mempunyai kekayaan luar biasa mengapa masyarakatnya harus menjadi budak di LN dan diperlakukan hina di negeri orang lain. hentikan pengiriman TKIP sebagai PRT terutama di Timur Tengah dan di Malaysia.

ria permana sari said...

andai saja kehidupan ini semudah membalik telapak tangan. Menjadi teringat pengalaman teman saya yang dulu pernah menjadi TKIP. Bahkan orang tuanya yang menyuruh mereka menjadi TKIP karena tuntutan ekonomi. Ada juga yang disuruh suaminya untuk menjadi TKIP. Pekerjaan domestik yang masih dianggap ranahnya perempuan menjadikan banyak permintaan akan tenaga kerja perempuan. Di sisi yg lain kita harus melihat hak untuk mendapatkan pekerjaan yang layak. sudahkah terpenuhi?
pelarangan TKIP secara legal hanya akan membuat aliran tenaga kerja ilegal semakin marak. Bagaimana tidak, kemiskinan ditambah dengan cengkraman kapitalisme global menjadikan perempuan (dan laki-laki) menjadi korban.