Thursday, October 07, 2010

ketika perempuan bersama

0

picture: google images 

Sudah lebih dari dua bulan ini saya berada di salah satu perguruan tinggi di negeri Gajah Putih untuk menimba ilmu. Di sini saya bertemu dengan banyak orang dengan berbagai macam etnis, kebangsaan dan budaya. Demikian halnya dengan mahasiswa Indonesia yang belajar di sini, berasal dari berbagai macam latar belakang, baik itu suku, profesi atau agama. Terasa sekali pluralitas di sini, tidak salah jika kemudian kampus ini mengusung slogan multinational community. Berbicara tentang pluralitas, menjadi teringat perbincangan dengan teman saya. Mereka terkejut ketika saya menceritakan bahwa Indonesia terdiri dari kurang lebih 17.000 pulau, dengan berbagai suku dan memiliki lebih dari 300 bahasa lokal. Saya bangga dengan keragaman yang dimiliki Indonesia, dan di perantauan semangat nasionalisme itu menjadi semakin kuat. Keragaman tidak hanya menjadi milik suatu daerah atau negara, keragaman juga dimiliki perempuan. Mengapa secara spesifik saya membahas perempuan? Tentu saja bukan semata karena saya belajar Gender and Development, namun karena isu pluralisme (keberagaman) sangat dekat dengan isu perempuan. Melalui pluralisme, keragaman perempuan diakui dan melalui pluralisme, perempuan memperoleh hak-haknya karena kebenaran tidak hanya milik laki-laki, tetapi juga perempuan. Di kampus tempat saya menuntut ilmu, kami-perempuan, berasal dari negara yang berbeda, agama yang berbeda, budaya yang berbeda dan juga status sosial ekonomi yang berbeda, bahkan mungkin orientasi seksual yang berbeda. Namun secara biologis kami sama, perempuan, dan kami merasakan hal yang sama sebagai perempuan. Kami menolak dan menentang pelecehan seksual, dan bersama kami menyadari pula bahwa pelecehan seksual tidak hanya dialami perempuan saja, namun mayoritas korban adalah perempuan. Meskipun di sini menganut zero tolarance for sexual harassment, namun tidak lantas membuat pelecehan seksual raib. Pelecehan seksual masih saja terjadi, dan mungkin sebagaimana fenomena gunung es, karena rata-rata korban tidak mau menceritakan pengalamannya. Entah karena merasa malu, dan tidak ingin kasusnya tersebar luas atau tekanan dari pihak lain. Mendukung korban berbicara saja tidak cukup untuk melawan pelecehan seksual, karena yang lebih penting adalah mendukung budaya yang saling menghargai antara perempuan dan laki-laki, diantara laki-laki dan diantara perempuan. Tanpa adanya rasa saling menghargai, mustahil menciptakan lingkungan yang harmoni. Terlebih dengan adanya berbagai perbedaan. Inilah yang kemudian mendorong kami untuk memulai mengorganisasikan diri, membentuk wadah untuk berkumpul dan bercerita. Ketika perempuan bersama, dengan segala perbedaan yang dimiliki masing-masing individu kami merasa kuat dan bersemangat untuk mendukung dunia yang ramah perempuan, ramah anak dan ramah pada kelompok terpinggirkan lainnya. Mungkin ini sebuah awal dari perjuangan yang entah kapan akan selesainya, namun niat baik akan menuai hasil yang baik juga bukan? Semoga

0 komentar: