Fenomena buruh migran kemudian memunculkan apa yang dinamakan dengan feminisasi migrasi. Dimana banyak perempuan kemudian menjadi buruh migran di beberapa negara. Alih-alih memperoleh rezeki yang sulit didapatkan di negeri sendiri tidak jarang buruh migran ini mengalami eksploitasi di tempat kerja. Eksploitasi tubuh atau kerja terkadang ditambah pula dengan kekerasan yang dilakukan oleh suami. Keadaan semacam ini saya jumpai dalam perjumpaan saya dengan beberapa kawan saya yang menjadi BMI.
Sebut saja namanya S. Seorang perempuan yang tinggal di sebuah kota di kawasan Pantai utara di Jawa Barat. Kemiskinan kemudian membuat banyak perempuan di desa tempat tinggalnya beramai-ramai ke luar negeri untuk bekerja. Entah itu melalui jalur legal ataupun ilegal. Demikian halnya dengan S yang kemudian berangkat sebagai BMI di sebuah negara di kawasan timur tengah.
Suami S mengizinkannya berangkat ke luar negeri sebagai BMI. Bagi perempuan lebih mudah bekerja di luar negeri ketimbang laki-laki. Berbeda dengan laki-laki yang harus membayar sejumlah uang dengan nominal yang cukup tinggi. Bagi perempuan biaya yang dikeluarkan jauh lebih rendah. Selain itu, perempuan lebih banyak dibutuhkan karena sektor yang membutuhkan adalah rumah tangga dan dengan upah yang rendah karena pekerjaan di ranah domestik belum dihargai. Ini tentu saja tidak lepas dari adanya ketidakadilan gender, dimana perempuan diperankan dengan peran domestik.
Sebagaimana dengan nasib BMI lainnya, S bekerja siang malam dengan sedikit waktu untuk beristirahat. Setiap bulannya S mengirimkan uang kepada suaminya. Berkat kiriman uang dari S, suami S membeli sebuah rumah dan dia mengatakan pada S akan mengikuti pemilihan lurah di desanya. Bukan rahasia lagi jika untuk menjadi calon lurah harus mengeluarkan uang yang cukup banyak. Alhasil uang yang dikirimkan S tersedot untuk hal itu, dan malangnya suami S kalah dalam pemilihan lurah.
2 tahun berlalu, dan kontrak kerja S pun habis sehingga S memutuskan untuk pulang. Ketika pulang, betapa kecewanya S ketika mengetahui bahwa suaminya telah menikah lagi dan S tidak diperbolehkan tinggal di rumah yang dibeli melalui hasil keringatnya. Hasil kiriman S selama bekerja di luar negeri habis tak bersisa, bahkan terusir dari rumahnya sendiri. Dengan nasibnya itu, S kemudian memutuskan untuk kembali ke luar negeri.
Masih di kota yang sama. Sebut saja namanya N. Untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya, apalagi penghasilan suaminya sebagai pengayuh becak yang tidak seberapa membhuat N memutuskan untuk bekerja di luar negeri sebagai PRT. Belum 2 tahun masa kerjanya, N kembali ke kampungnya dalam keadaan hamil. Majikannya telah menghamilinya dan tidak mau bertanggung jawab. Bahkan majikan perempuannya memukulinya karena hal tersebut. N tidak kuasa membela diri, dan dia dipulangkan. Beruntunglah, suaminya mau menerimanya. Dengan keadaan N tersebut, tentu saja membuat perekonomian keluarga muda itu semakin sulit.
Cerita S ataupun N tentu saja hanya 2 dari banyak cerita sedih pahlawan devisa negara ini. Persoalan buruh migran bukanlah hal baru, dan tentu saja diperlukan komitmen yang serius untuk mengatasi hal ini.
Saturday, June 06, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 komentar:
Post a Comment