UU Pornografi kembali mencuat ketika sidang Ariel dilakukan, bagaimana tidak karena Ariel menjadi selebritis pertama yang dikenai hukuman berdasarkan UU Pornografi.
Pro kontra tentang UU Pornografi hingga kini masih ditemui, meski tentu saja tidak sekencang ketika awal-awal Undang-Undang ini disahkan. Meski banyak yang kontra, banyak pula yang mendukung dikeluarkannya undang-undang ini.
Lahirnya undang-undang ini (katanya) tidak lepas dari keprihatinan akan banyaknnya anak-anak yang mengakses pornografi atau menjaga moralitas bangsa. Pun demikian, hal ini mengandung ambiguitas, bukankah kita sudah memiliki UU Perlindungan Anak dan UU ITE? dan apakah persoalan moralitas bisa dibawa ke ranah hukum?
Menyimak pasal 1 ayat 1 dalam UU tersebut tentang definisi pornografi:
apakah definisi norma kesusilaan? siapakah yang menentukan? jikalau yang menentukan adalah masyarakat, masyarakat yang mana? Kita tidak bisa lantas mengenaralisasi, sebagaimana diketahui negara kita terdiri dari banyak etnis dan budaya, singkat kata sangat pluralis. Bagaimana menentukan definisi norma kesusilaan dalam masyarakat yang sangat plural? Selama ini kita mendefinisikan norma kesusilaan terkait dengan adat atau agama, dan itu tentu saja menjadikan adanya perbedaan dalam mendefinisikan norma kesusilaan.
Diawali dengan definisi yang kabur dan sangat multitafsir, menjadi pertanyaan bagaimana implementasi Undang-undang di masa datang. Bisa dipastikan apabila definisi yang kelak dipakai adalah definisi kelompok yang suaranya paling kencang, dan apakah itu menggambarkan masyarakat?
Dalam penjelasan pasal 4 ayat 1 huruf (a) disebutkan bahwa:
Menyimak pasal tersebut, homoseksual adalah deviant, dan negara hanya mengakui heteronormativity. Persoalan seksualitas adalah persoalan privat dan dengan memberikan pelabelan tersebut, negara telah memasuki ranah pribadi seseorang.
Undang-undang tersebut, tidak memiliki sensitifitas akan trafiking dan bahkan persetujuan pun bisa jadi karena keterpaksaan, ancaman dan sebagainya. Hal ini terlihat dalam pasal 8:
Undang-undang ini jelas mengatur masalah moralitas terkait dengan seksualitas. Persoalannya adalah di masyarakat Indonesia yang patriarkal ini, ketika berbicara mengenai seksualitas, maka yang ditunjuk adalah perempuan. Artinya, mengatur seksualitas adalah mengatur/ mengontrol tubuh perempuan.
Undang-Undang pornografi dapat diunduh di sini. Lebih lanjut tentang UU pornografi dapat dilihat di sini.
Pro kontra tentang UU Pornografi hingga kini masih ditemui, meski tentu saja tidak sekencang ketika awal-awal Undang-Undang ini disahkan. Meski banyak yang kontra, banyak pula yang mendukung dikeluarkannya undang-undang ini.
Lahirnya undang-undang ini (katanya) tidak lepas dari keprihatinan akan banyaknnya anak-anak yang mengakses pornografi atau menjaga moralitas bangsa. Pun demikian, hal ini mengandung ambiguitas, bukankah kita sudah memiliki UU Perlindungan Anak dan UU ITE? dan apakah persoalan moralitas bisa dibawa ke ranah hukum?
Menyimak pasal 1 ayat 1 dalam UU tersebut tentang definisi pornografi:
Pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya
melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum,
yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan
dalam masyarakat.
apakah definisi norma kesusilaan? siapakah yang menentukan? jikalau yang menentukan adalah masyarakat, masyarakat yang mana? Kita tidak bisa lantas mengenaralisasi, sebagaimana diketahui negara kita terdiri dari banyak etnis dan budaya, singkat kata sangat pluralis. Bagaimana menentukan definisi norma kesusilaan dalam masyarakat yang sangat plural? Selama ini kita mendefinisikan norma kesusilaan terkait dengan adat atau agama, dan itu tentu saja menjadikan adanya perbedaan dalam mendefinisikan norma kesusilaan.
Diawali dengan definisi yang kabur dan sangat multitafsir, menjadi pertanyaan bagaimana implementasi Undang-undang di masa datang. Bisa dipastikan apabila definisi yang kelak dipakai adalah definisi kelompok yang suaranya paling kencang, dan apakah itu menggambarkan masyarakat?
Dalam penjelasan pasal 4 ayat 1 huruf (a) disebutkan bahwa:
Yang dimaksud dengan "persenggamaan yang menyimpang" antara lain persenggamaan atau aktivitas seksual lainnya dengan mayat, binatang, oral seks, anal seks, lesbian, dan homoseksual.
Menyimak pasal tersebut, homoseksual adalah deviant, dan negara hanya mengakui heteronormativity. Persoalan seksualitas adalah persoalan privat dan dengan memberikan pelabelan tersebut, negara telah memasuki ranah pribadi seseorang.
Undang-undang tersebut, tidak memiliki sensitifitas akan trafiking dan bahkan persetujuan pun bisa jadi karena keterpaksaan, ancaman dan sebagainya. Hal ini terlihat dalam pasal 8:
Setiap orang dilarang dengan sengaja atau atas persetujuan dirinya menjadi objek atau model yang mengandung muatan pornografi.
Undang-undang ini jelas mengatur masalah moralitas terkait dengan seksualitas. Persoalannya adalah di masyarakat Indonesia yang patriarkal ini, ketika berbicara mengenai seksualitas, maka yang ditunjuk adalah perempuan. Artinya, mengatur seksualitas adalah mengatur/ mengontrol tubuh perempuan.
Undang-Undang pornografi dapat diunduh di sini. Lebih lanjut tentang UU pornografi dapat dilihat di sini.