Showing posts with label gender. Show all posts
Showing posts with label gender. Show all posts

Sunday, March 17, 2013

Transgender? So What?

0

Beberapa hari yang lalu, beberapa kawan-kawan saya heboh tentang berita Renaldi Rahman (dulunya sempat menjadi artis cilik) yang menjadi transgender. Ternyata berita ini bukanlah berita baru, beberapa tahun sebelumnya juga sudah ada kabar mengenai hal ini. Menjadi transgender, so what?

Membaca beberapa komentar di berita tersebut, membuat saya mengernyitkan dahi, bagaimana tidak, hampir sebagian besar menyayangkan keputusannya menjadi trans gender, bahkan mengkait-kaitkan dengan azab. Ada pula komentar menarik yang mengatakan, jika menjad transgender dan mau diterima publik di Indonesia, harus memakai jilbab, terlibat aktif dalam kegiatan-kegiatan sosial, naik haji, dsb. Miris bukan

Menjadi teringat, beberapa tahun yang lalu saya mengikuti sebuah seminar tentang transgender dan homoseksual, seorang peserta adalah trans gender (laki-laki ke perempuan). Dia mengungkapkan pengalamannya, bagaimana tidak mudahnya menjadi transgender dan diterima oleh publik. Contoh kecil adalah pengalamannya tentang toilet atau ketika berkemah. Ketika menggunakan toilet perempuan, dia 'ditolak' oleh beberapa perempuan menggunakan toilet tersebut, sementara menggunakan toilet laki-laki adalah tidak mungkin karena dia merasa dirinya adalah perempuan. Demikian halnya ketika berkemah, tentang di tenda mana dia kemudian tidur. 

Sungguh tidak mudah menjadi transgender. Pun demikian tidak semua trans gender di negeri ini mendapatkan perlakuan diskriminasi. Membaca berita tentang Dena (Renaldi Denada) yang mengungkapkan pengalamannya, boleh jadi adalah pengecualian, bagaimana lingkungan di sekitarnya menerimanya dan dia pun tak mendapatkan perlakuan diskriminan. 

Heteronormativity norm
Seseorang terlahir menjadi laki-laki atau perempuan, tidak bisa keduanya. Demikian norma yang berlaku umum di masyarakat. Bagaimana proses menjadi laki-laki dan perempuan? Ketika bayi lahir, kemudian berdasarkan alat kelamin yang dimilikinya, dokter mengatakan bayi perempuan atau bayi laki-laki. Dari situlah kemudian ekternalisasi nilai tentang laki-laki dan perempuan biasanya dimulai. 

bersambung 


Thursday, January 03, 2013

gamer girl manifesto

0

this is from my assignment ;)
----






Today I came across to a video in youtube, gamer girl manifesto by SexyNerdGirlPresents. It is a manifesto of female gamers telling not to sexualize them for their existence in the game world. It is not only embrace that sexist is not acceptable, but also suggest not to be homophobic and racist. In the end they questioning ”you know what kind of player they are and what kind of player you are.”
Don’t be racist. Don’t be homophobic. Don’t be sexist. Follow that code and everybody will have a good time. And when someone breaks that code, CALL THEM OUT. Don’t just let it ride.
I think it is an interesting video and have great message. The female gamers in that video are quite diverse which also represent that female gamer are heterogeneous.  However there are quite few differences from people who like it and dislike it. There are 13,689 likes and 10,560 dislike and most of the comments are negative. Mostly people said that in the online game gender does not matter, because the important thing is how u play. Is that really happen? I do not think so.
When I am playing online game, I never get harass but I can not generalize my experience with others. In my online field work, I did it in the online game (AIKA) and asked the experience of female gamer. One female gamer said that when people know she is female, they start to bully her. Another female gamer told me why she use male character, because she don’t want to get harass by other gamer. It means, that choosing male character seems to be a safe way for the female gamer to avoid harassment.
Then I tried to find out the female gamer’s experience in the online game, and I found an interesting blog by Jenny Hariver titled not in the kitchen anymore. Her blog documented her experience when playing games, included  sexism in the online game.
Further, in her blog, Valerie who made that video told the reason of that video as well as why she choose sexynerdgirl as her account name. This is interesting since her choice to use sexynerdgirl have raise controversy and even people start to accuse her, she tried to get attention by using that kind of name.
I do support that in the gaming culture, the culture of non-sexist, non-racism and non homophobic should be embraced and that video not only mention about sexism! In the game world which is stereotypically male dominated area, it is possible that sexist behavior exist in the gamer community.  Further, the game which using sexy female avatars may also contribute on it.

Tuesday, June 05, 2012

Sosial Media, the End of Gender?

0

Ada sebuah video menarik di TED berjudul Social Media, the End of Gender. Ini mengingatkan saya dengan discourse tentang internet sebagai genderless space, dimana gender doesn't matter. Benarkah? Saya rasa tidak, hingga saat ini saya masih percaya bahwa everything is gendered, even cyber-spaces. 

Video tersebut menekankan tentang internet dan marketing, dimana sebelumnya konsumen dibedakan sesuai dengan demografinya. Misalnya berdasarkan kelompok umur, jenis kelamin dsb. Artinya jika anda berada dalam suatu kelompok demografi tertentu, anda memiliki kecenderungan tertentu. Pun demikian, saat ini sulit sekali untuk melakukan pengelompokkan tersebut, sehingga demografi bukanlah hal utama terlebih internet memungkinkan hal tersebut. Akibatnya, apa yang disukai seseorang itu yang lebih penting. Yang membuat saya tidak nyaman di sini adalah, kita ditrack online, berdasarkan apa yang kita lakukan di dunia maya. Hanya karena saya berkunjung ke sebuah dating situs, ketika saya berpikir untuk melakukan online field work untuk tugas kuliah, saya menjumpai iklan dating situs di blog saya. Atau karena saya sering mencari hostel atau penerbangan murah, terkadang ada iklan hostel dan penerbangan juga. 

Pun demikian, demografi ternyata masih penting juga. Pernah saya membuktikan dengan mengganti jenis kelamin saya menjadi laki-laki di Facebook dan mengatakan interested in men. Awalnya saya tidak melihat adanya perbedaan ketika saya memilih jenis kelamin perempuan dan interested in none. Namun kemudian, saya mendapatkan iklan tentang gay cities dan beberapa iklan produk yang ditujukan untuk laki-laki (e.g. pencukur kumis, dsb). Hal tersebut belum pernah saya dapatkan sebelum saya mengganti info pribadi saya di Facebook. 

menjadi feminis

0


Ada banyak reaksi ketika seseorang mengatakan dirinya feminis, demikian halnya dengan saya yang mengatakan tengah berproses menjadi feminis. Satu pihak mendukung, ada yang netral dan ada yang mengkritik baik langsung ataupun tak langsung. Saya tak pernah ambil pusing, karena bagi saya ini adalah hak saya, toh saya tak merugikan orang lain. Pun demikian saya menjadi ingin menuliskannya.

Bagi beberapa orang feminis dicap sebagai pembenci laki-laki, lesbian, pendukung aborsi, menginginkan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, menentang kodrat,..... Mungkin ada punya pendapat tersendiri tentang hal tersebut? Bagi saya, menjadi feminis adalah menentang perlakuan diskriminatif, eksploitatif dan marginalisasi (tidak hanya atas nama gender). Saya sependapat dengan apa yang dikemukan bell hooks,
feminism is a movement to end sexism, sexist exploitation and oppression


bersambung, mo ngerjain tugas dulu

Thursday, May 05, 2011

seorang awam membaca RUU Fakir Miskin

0

Baru-baru ini, entah di FB, di twitter atau di situs online ramai dengan kunjungan DPR RI ke Australia dalam rangka studi banding untuk RUU Fakir Miskin. Bukan karena substansi RUUnya tapi karena email. Saya tidak akan membahas tentang persoalan email dan komisi 8, tetapi bagaimana saya sebagai orang awam membaca RUU Fakir Miskin.

Versi lengkap RUU Fakir Miskin bisa dibaca di sini Terkait dengan penduduk miskin, berdasarkan data BPS tahun 2010, terdapat 31 juta penduduk miskin, atau setara dengan jumlah penduduk Malaysia atau separuh dari total populasi Thailand (Komnas HAM). Terkait dengan penanganan fakir miskin, pemerintah sebenarnya telah memiliki beberapa undang-undang, yaitu UU Sistem Jaminan Sosial Nasional dan UU Kesejahteraan Sosial

Dalam RUU tersebut, fakir miskin didefinisikan sebagai berikut:
Fakir miskin adalah orang yang sama sekali tidak mempunyai sumber mata pencaharian dan tidak mempunyai kemampuan memenuhi kebutuhan pokok yang layak bagi kehidupan dirinya dan/atau keluarganya

Berdasarkan definisi tersebut, berarti seseorang dikategorikan sebagai fakir miskin jika: tidak memiliki sumber mata pencaharian dan tidak mempunyai kemampuan memenuhi kebutuhan pokok yang layak bagi dirinya dan atau keluarganya. Kemudian muncul pertanyaan bagaimana jika seseorang memiliki sumber mata pencaharian namun tidak mampu memenuhi kebutuhan pokok yang layak bagi dirinya dan keluarganya? mengingat kata sambung yang digunakan adalah 'dan' bukan 'dan/ atau'. Jadi kedua kondisi tersebut harus terpenuhi. (atau ini adalah sesat pikir saya?)

Dalam RUU tersebut, saya membaca hanya ada 1 pasal (pasal 18) yang berbicara secara khusus tentang perempuan, itupun dalam konteks penyuluhan dan bimbingan.
ayat 1 : Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab menyelenggarakan penyuluhan dan bimbingan bagi fakir miskin agar mampu menolong dan mengorganisasikan dirinya dalam meningkatkan kualitas hidupnya.


ayat 3 : Selain kepada sasaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penyuluhan dan bimbingan diberikan kepada: a. para ibu selama periode sebelum hamil, masa kehamilan, sesudah melahirkan dan menyusui, sehingga dapat melahirkan generasi yang sehat dan berkualitas.


RUU ini sama sekali tidak menyinggung tentang perempuan kepala keluarga, yang kemungkinan banyak diantaranya adalah fakir miskin. Identifikasi perempuan kepala keluarga akan membuat RUU ini lebih sensitif, mengingat adanya klausul tersebut akan membuat para stakeholder memberikan perhatian kepada perempuan kepala keluarga, terlebih di beberapa daerah (berdasarkan video yang saya lihat, hasil produksi sebuah NGO) masih ada perlakuan diskriminatif terhadap perempuan kepala keluarga yang menjadikan mereka semakin termarginalkan.

Jika dibaca secara keseluruhan RUU ini gender netral, artinya tidak membeda-bedakan antara perempuan dan laki-laki. Semua fakir miskin, baik perempuan atau laki-laki memiliki hak yang sama. Memang belum ada data secara spesifik yang menggambarkan kemiskinan perempuan, namun apabila melihat realitas yang terjadi dimana angka kematian ibu masih cukup tinggi, masih adanya ketimpangan gender dalam partisipasi anak perempuan dan laki mengikuti pendidikan formal di tingkat sekolah lanjutan, masih terkonsentrasinya pekerja perempuan di sektor pekerjaan dengan tingkat pendidikan dan gaji yang rendah.

(bersambung.. maaf saya sakit perut jadi belum bisa melanjutkan)

Tuesday, April 19, 2011

Gender Quota in Election

0

“Women's empowerment and their full participation on the basis of equality in all spheres of society, including participation in the decision-making process and access to power, are fundamental for the achievement of equality, development and peace.”
(Beijing Declaration, 1995)

Gender quotas in election can be a means to boost women’s participation in politics. This is in line with the international agenda for women’s advancement in all spheres, as mention in the Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination against Women (CEDAW) and also Beijing Platform for Action 1995. Now gender quota seems became ‘fever’, which is followed by several countries in the world.

In Indonesia, the regulation on gender quota for the first time is introduced on 2003 through Law number 23/ 2003. New law on Legislative General Election (Law number 10/2008) and Political Party (Law number 2/2008) also regulated gender quota. Mentioned on that law, every political party should ensure at lease 30% quota of women representatives in the process of establishment, as well as in the board structures. Furthermore, a political party could participate in 2009 general election if there were at least 30% women in the party’s board. But, that regulation seems as just a symbolic sign, since not followed by clear regulated implementation as well as sanction for non-compliance.

for the complete essay can click here

Saturday, January 15, 2011

membincangkan poligami

0

Selama beberapa hari berjalan-jalan ke beberapa tempat, ada banyak pengalaman yang saya peroleh dan tentu saja ada pertanyaan yang mengusik saya. Ketika berada di Vietnam, beberapa orang menanyakan tentang poligami di Indonesia. Mereka berpikir bahwa semua laki-laki di Indonesia memiliki istri lebih dari satu. Bahkan menurut seorang ibu di hotel yang saya inapi, persoalan poligami di Indonesia sempat dimuat di surat kabar di Vietnam. Tidak heran jika mereka berpikir bahwa poligami adalah hal yang lumrah bagi semua laki-laki di Indonesia (dan juga di negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam). Nabi Muhammad memiliki istri lebih dari 1, hal ini yang selalu menjadi justifikasi dilakukannya poligami. Padahal tidak demikian.

Membincangkan poligami boleh jadi adalah hal yang terlalu sering diulas. Akhir-akhir ini poligami memang sering diperbincangkan, entah karena dilakukan oleh dai kondang dll. Beberapa argumen tentang poligami antara lain: poligami bisa dilakukan apabila suami bisa berlaku adil terhadap istri-istrinya. Bisakah demikian?

Hal lain adalah atas persetujuan istri pertama. Hal ini menurut saya debatable juga. Apakah persetujuan itu, memang benar-benar pilihannya? Namun berbicara tentang pilihan, benarkah itu adalah pilihan? Bagaimana membedakan pilihan, apabila pikiran atau mindset sudah terbentuk oleh budaya, sehingga tidak melihat alternatif lain? Apakah bisa disebut pilihan?

Sunday, November 28, 2010

Rethinking Empowerment

0


Every people, every organizations, the society and also the government talking about empowerment. What is empowerment? Even in the different/ conflicting different approach, they talking about empowerment. May be empowerment is such of watchword, it seems to fit many shoes. Even for women empowerment in the still largely male dominated world. What is the actually mean of empowerment? It is a buzzy and fuzzy word.

In the article 'rethinking em(power)ment, gender and development'; Parpart, Rai and Staudt propose a new approach to women empowerment by focusing in 4 issues. First, empowerment should be analysed in global and national as well as local terms. Second, empowerment involves the exercise rather than possession of power. Third, empowerment take a place in institutional, material and discursive context and at least, empowerment is both of process and outcome.

What the Scholar Said about Empowerment

Thursday, October 07, 2010

Gender Dimension on Globalization

0

Globalization as the situation of border-less world, can not be avoided. Actually globalization is not a new process, it was happened long long time ago, since the colonization era.
Globalization

Gender and Globalization
Globalization gave different impact between women and men, among women and among men.

Saturday, October 02, 2010

patriarchy

0

source: thefiendish.com


What is patriarchy?
There are a lot of concepts to explain patriarchy, in the different ways. Nevertheless, patriarchy has 2 similar core elements, first, gender inequality and second is a degree of systematicity. The first core can be expressed as the domination of men over women. The domination here is based on the social dimension, not using biological categories. If patriarchy using biological categories, the way to overcome patriarchy is by eliminating one category it means the destruction of human species.



Patriarchy derived from patriarch, meaning: elder men. There are some definitions of patriarchy:
principle of the dominion of senior males over juniors, male as well as female, in the family, tribe or nations, allied with the reckoning of descent in the male line. (dictionary)

a set of social power relation that enable men to dominate women (sokoloff).

a system of social structures and practices in which men dominate, oppress and exploit women (walby).

To sum up, patriarchy can be defined as a system of social structures and practices in which enable men dominate, oppress and exploit women as well as the domination of the older to the younger.

Walby defined 6 structures of system of patriarchy: patriarchal relations in household work, patriarchal relations in paid work, a patriarchal state, male violance, patriarchal relations in sexuality and patriarchal relations in cultural institutions.

There have been two major form of patriarchy (Walby): public and private. Private patriacrhy is based upon household production, in where a patriarch controlling women individually and directly in the relatively private sphere of the home. While public patriarchy is based on structures rather than the household.


more, click here

Tes Keperawanan Sebagai Syarat Masuk Sekolah: Kalau Tidak Perawan Tidak Boleh Sekolah?

0

"Tiap-tiap warga negara berhak atas pendidikan dan pengajaran."
(UUD 1945)


Anggota dewan dari salah satu provinsi di Indonesia mengeluarkan wacana tentang tes keperawanan sebagai syarat masuk sekolah. Hal ini menuai kontroversi, ada yang pro dan banyak pula yang kontra. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, jika saya tidak perawan, apakah saya bisa sekolah?

Berbincang tentang tes keperawanan, menurut saya menjadi sangat diskriminatif. Bagaimana tidak, karena tes tersebut hanya ditujukan kepada anak perempuan. Dan tentu saja, hal ini melanggar hak anak dan hak asasi manusia, serta sebagaimana pasal dalam UUD 1945 yang saya kutip dimuka, sangat tidak konstitusional, karena tiap-tiap warga negara berhak atas pendidikan dan pengajaran tidak peduli perawan atau perjaka, semua tanpa terkecuali.

Keperawanan perempuan dipandang tinggi di masyarakat, inilah yang kadang membuat saya tersenyum kecut. Bukankah seharusnya tidak ada pembedaan antara laki-laki dan perempuan? Apa bedanya antara laki-laki dan perempuan. Jika kemudian memandang tes keperawanan adalah solusi akan maraknya pergaulan bebas, adanya tes tersebut membuat perempuan seakan sebagai 'terdakwa' akan maraknya pergaulan bebas. Bagaimana dengan laki-laki?

Jika kemudian tes tersebut diterapkan, bagaimana dengan anak perempuan yang tidak lolos tes tersebut? Mereka akan mengalami beban agenda. Tidak bisa sekolah sudah pasti, dan bagaimana mereka mengakses pendidikan? Siapa yang kemudian bertanggung jawab atas hal tersebut? Yang kedua adalah stigma masyarakat terhadap dirinya. Anak-anak relatif rapuh dibandingkan dengan orang dewasa, dan sudah pasti beban mental dan psikologis yang ditanggungnya dapat berakibat pada kejiwaannya. Dan ini hanya akan dialami oleh anak perempuan...

Terkait dengan tingginya pergaulan bebas di kalangan remaja yang sangat dikhawatirkan para orang tua, tes keperawanan sebagai syarat masuk sekolah bukanlah solusi yang bijak. Hal ini justru mengarah pada diskriminasi dan merugikan anak. Bukankah sebagai orang dewasa kita harus memikirkan yang terbaik untuk anak? Pendidikan seks untuk remaja dapat menjadi alternatif yang bijak dalam menangkal maraknya pergaulan bebas, terlebih di tengah masifnya terpaan informasi dan komunikasi melalui media massa yang dapat dengan mudah diakses oleh semua orang.

TOLAK TES KEPERAWANAN SEBAGAI SALAH SATU SYARAT MASUK SEKOLAH

Friday, August 20, 2010

Gender and Technology

0

“To talk about women and technology in the same breath seems strange, even incongruous. Technology is powerful, remote, incomprehensible, human, scientific, expensive and –above all – male. What does it have to do with women?"


(Faulkner and Arnold, 1985, p.1)


Do you think that technologies are inherently male? Are technologies have male's face? On the science project we can see the less number of women. May be male dominated the technologies area, but we can see women's contribution in technology innovation (although in a small number).