Thursday, July 12, 2012

sylvia

0


Dying is an art, like everything else. I do it exceptionally well. I do it so it feels like hell. I do it so it feels real. I guess you could say I've a call.
Sylvia Platt

Beberapa waktu lalu saya menonton film berjudul "Sylvia", film ini merupakan autobiografi dari Sylvia Platt. Sylvia adalah penyair perempuan, seorang Amerika. Dia akhirnya menikah dengan seorang penyair juga, Ted Hudges. Hubungan mereka diliputi dengan cinta, mereka memiliki dua orang anak, tapi ini bukan akhir dari hubungan mereka. Masa lalu Sylvia, yang membuatnya mentally unstable membuat hubungan mereka menjadi sulit dan hal ini diperburuk dengan affair yang dilakukan Ted. Akhirnya mereka berpisah, ketika Sylvia mengetahui hubungan Ted dengan Assia, seorang penyair. Perpisahannya dengan Ted membuat Sylvia merasa tertekan, meski kemudian dia bisa menuliskan puisi-puisi yang briliant tentang kesedihan dan "blackness." Sejatinya, cinta Sylvia pada Ted tidak berubah dan perpisahan mereka membuatnya menjadi lemah. Sylvia akhirnya memutuskan untuk meminta Ted kembali padanya. Meski keduanya masih saling mencintai, namun Ted tidak bisa kembali menjalin hubungan dengan Sylvia karena Assia sedang hamil. Hal ini benar-benar membuat Sylvia terpukul dan ia memutuskan untuk bunuh diri.

--

film ini sangat berkesan bagi saya dan saya melihat diri saya pada Sylvia. Saya pernah berkata pada seseorang, ketika dia mengatakan hal yang sama pada saya, "Saya akan memastikan, dia tidak akan memiliki cerita yang sama dengan Sylvia." Saya berjanji itu padanya, but none promise me that I wouldn't have different story since i think i'll do the same as her one day... I'll make my theatrical

Tuesday, June 05, 2012

Sosial Media, the End of Gender?

0

Ada sebuah video menarik di TED berjudul Social Media, the End of Gender. Ini mengingatkan saya dengan discourse tentang internet sebagai genderless space, dimana gender doesn't matter. Benarkah? Saya rasa tidak, hingga saat ini saya masih percaya bahwa everything is gendered, even cyber-spaces. 

Video tersebut menekankan tentang internet dan marketing, dimana sebelumnya konsumen dibedakan sesuai dengan demografinya. Misalnya berdasarkan kelompok umur, jenis kelamin dsb. Artinya jika anda berada dalam suatu kelompok demografi tertentu, anda memiliki kecenderungan tertentu. Pun demikian, saat ini sulit sekali untuk melakukan pengelompokkan tersebut, sehingga demografi bukanlah hal utama terlebih internet memungkinkan hal tersebut. Akibatnya, apa yang disukai seseorang itu yang lebih penting. Yang membuat saya tidak nyaman di sini adalah, kita ditrack online, berdasarkan apa yang kita lakukan di dunia maya. Hanya karena saya berkunjung ke sebuah dating situs, ketika saya berpikir untuk melakukan online field work untuk tugas kuliah, saya menjumpai iklan dating situs di blog saya. Atau karena saya sering mencari hostel atau penerbangan murah, terkadang ada iklan hostel dan penerbangan juga. 

Pun demikian, demografi ternyata masih penting juga. Pernah saya membuktikan dengan mengganti jenis kelamin saya menjadi laki-laki di Facebook dan mengatakan interested in men. Awalnya saya tidak melihat adanya perbedaan ketika saya memilih jenis kelamin perempuan dan interested in none. Namun kemudian, saya mendapatkan iklan tentang gay cities dan beberapa iklan produk yang ditujukan untuk laki-laki (e.g. pencukur kumis, dsb). Hal tersebut belum pernah saya dapatkan sebelum saya mengganti info pribadi saya di Facebook. 

menjadi feminis

0


Ada banyak reaksi ketika seseorang mengatakan dirinya feminis, demikian halnya dengan saya yang mengatakan tengah berproses menjadi feminis. Satu pihak mendukung, ada yang netral dan ada yang mengkritik baik langsung ataupun tak langsung. Saya tak pernah ambil pusing, karena bagi saya ini adalah hak saya, toh saya tak merugikan orang lain. Pun demikian saya menjadi ingin menuliskannya.

Bagi beberapa orang feminis dicap sebagai pembenci laki-laki, lesbian, pendukung aborsi, menginginkan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, menentang kodrat,..... Mungkin ada punya pendapat tersendiri tentang hal tersebut? Bagi saya, menjadi feminis adalah menentang perlakuan diskriminatif, eksploitatif dan marginalisasi (tidak hanya atas nama gender). Saya sependapat dengan apa yang dikemukan bell hooks,
feminism is a movement to end sexism, sexist exploitation and oppression


bersambung, mo ngerjain tugas dulu

Friday, May 04, 2012

sebuah surat untuk teman-teman kecilku

0



masihkah kalian ingat bersama kita ke museum Bahari? Rasanya masih jelas memori itu di ingatanku, bahkan hingga hari ini

Apa kabar kalian, kawan-kawan kecilku?

Kali ini kerinduan kepada kalian terasa sangat, bukan karena sepi yang merecah-recah atau penat yang tidak berkesudahan, tapi karena aku benar-benar merindu kalian. Aku mungkin tak bisa mengingat semua nama kalian, mungkin aku yang sudah menua untuk bisa mengingat nama kalian satu persatu; namun setiap memori yang kita lalui bersama masih tersimpan jelas di ingatanku.

Senja kala itu, ketika pertama kali aku menjejakkan kaki di tempat kalian tinggal, di utara ibukota. Mungkin adalah jodoh, jika kemudian kami memutuskan untuk berhenti di sebuah tempat tak jauh dari sungai yang tak lagi jernih airnya serta berbagai jenis sampah yang menggunung. Kami memutuskan untuk melangkah lebih jauh ke perkampungan itu, ke rumah-rumah yang berhimpit satu sama lain, sangat rapat.

Adalah kegelisahan yang menyeruak, ketika melangkah lebih jauh ke tempat kalian tinggal. Jika aku selalu menggerutu tentang masa kecil aku, tentang orang tuaku yang tak membelikan mainan baru, atau tak sering mengajakku berwisata ke tempat yang indah-indah di luar sana, luluh lantak semua itu. Mungkin karena keadaan hingga kalian tumbuh dewasa lebih cepat dan memahami realitas kehidupan yang sebenarnya. Atau terjebak dalam mimpi-mimpi yang ditawarkan tayangan televisi..

Adalah kegelisahan jika kemudian kami memutuskan untuk mengenal kalian, dalam sebuah tempat bernama “sabana.” Mungkin adalah harapan kami yang berlebihan untuk menjadikan ruang ini sebagai padang rumput di sana. Ini tidak hanya tentang kami yang berbagi sedikit ilmu yang dipunya, tapi juga tentang kami yang belajar dari kalian. Rasanya uang 120 ribu rupiah yang kusisihkan tiap bulan untuk membayar kontrakan, tempat kita bermain bersama tak sebanding dengan apa yang aku rasakan ketika bertemu kalian, kawan-kawan kecilku.
Masih ingatkah kalian dengan lagu yang sering kita nyanyikan bersama sebelum kita mulai acara “belajar” bersama?
            lihat kebun tebu, itulah kampungku
            ada sungainya dan ada rumahku
            setiap hari kubersihkan slalu
ingin rasanya, kujadikan indah

Masih teringat betapa antusiasnya kalian menyanyikan lagu itu, lagu sederhana gubahan kami dari lagu anak-anak “lihat kebunku.”

Kala itu, kami tak pernah tau kemana nantinya ‘sabana’ bermuara. Yang aku tau, ‘sabana’ membantuku menjadi kuat. Ketika aku terpuruk, sakit hati; bermain dan berinteraksi dengan kalian adalah bagian dari proses menyembuhkan. Hingga akhirnya aku memutuskan untuk meninggalkan ‘sabana’ untuk sebuah mimpi yang lain. Hidup adalah pilihan, dan pilihan untuk meninggalkan kalian kala itu adalah pilihan yang berat dan menyakitkan bagiku.

Kadang bertanya, berartikah bagi kalian semua ini. Tapi tentu saja, ini bukan tentang membuat mie instant yang dalam waktu 10 menit sudah ada hasilnya. Meski ada rasa senang ketika mengajarkan kalian untuk bermimpi, sekaligus rasa sedih juga ketika menemui kalian bermimpi dan kenyataan mencabut mimpi itu hingga membuat jauh. Adalah Agung, dia anak yang cerdas dan tak jarang membantu kami dalam proses ‘belajar’ di sana. Dialah yang paling antusias dengan semua cerita yang kami ceritakan, tentang antariksa, tentang negeri-negeri yang jauh di sana atau tentang bung Karno yang tak pernah kehilangan semangat untuk membaca. Kenyataan membuatnya berhenti bermimpi sejalan dengan pupusnya harapan untuk bisa kembali bersekolah ketika kenyataan berkata lain. Alih-alih menjadi pilot seperti yang pernah ia katakan, berujung menjadi kuli angkut di pasar. Jika ada yang saya sesali dalam hidup saya, ini adalah salah satunya, tak benar-benar berusaha kala itu.

Jika boleh diberikan kesempatan lagi, ingin aku kembali belajar bersama kalian, meretas asa dan membangun mimpi bersama. 

Thursday, April 26, 2012

tolak lagu kamseupay

2

Seorang teman memposting di Facebook tentang lagu berjudul "Kamseupay" yang dinyanyikan Lolipop. Lagu tersebut memupuk diskriminasi sosial di kalangan anak-anak yang beranjak dewasa. Lagu tersebut juga menjadi soundtrack sinetron putih abu-abu. Penasaran dengan lagu tersebut, saya coba cari di Youtube dan mencermati lirik lagunya.Berikut adalah lirik lagu tersebut:
Jangan dekat-dekat denganku Karena kamu bukan level-ku Kita beda kasta, beda segalanya Jangan mimpi saingi aku Kalau kamu masih punya malu Modal dengkul aja, gak ada harganya Gaya lo… Tingkah lo… Muka lo… KAM-SE-U-PAY Gaya lo… Tingkah lo… Muka lo… KAM-SE-U-PAY Tak sudi berteman sama rakyat jelata Mendingan lo semua kelaut aja Lihat ku aduhai, gaya pun keren pandai Gak seperti lo semua yang, KAM-SE-U-PAY Ho… eoh eoh… Eoh eoh… Euwwww….. KAM-SE-U-PAY Jangan dekat-dekat denganku Karena kamu bukan level-ku Kita beda kasta, beda segalanya Jangan mimpi saingi aku Kalau kamu masih punya malu Modal dengkul aja, gak ada harganya Gaya lo… Tingkah lo… Muka lo… KAM-SE-U-PAY Gaya lo… Tingkah lo… Muka lo… KAM-SE-U-PAY Tak sudi berteman sama rakyat jelata Mendingan lo semua kelaut aja Lihat ku aduhai, gaya pun keren pandai Gak seperti lo semua yang, KAM-SE-U-PAY Ho… eoh eoh… Eoh eoh… Euwwww….. KAM-SE-U-PAY
Membaca lirik tersebut saya jadi geleng-geleng kepala sendiri dan yah saya setuju jika lagu ini memupuk dikriminasi sosial. Dilihat dari liriknya, lagu ini sejak awal sudah mengusung tentang perbedaan level, kasta dan sangat diskriminatif.
Jangan dekat-dekat denganku Karena kamu bukan level-ku Kita beda kasta, beda segalanya
Tak sudi berteman sama rakyat jelata Mendingan lo semua kelaut aja
Apa jadinya jika anak-anak dijejali lagu seperti ini? Ini sama saja mengajarkan untuk melakukan diskriminasi sosial. Saya sendiri tidak rela jika generasi muda sudah dijejali dengan hal-hal yang mengajarkan diskriminasi.

Friday, February 17, 2012

Perlindungan terhadap BMI: Perjuangan Tiada Henti

0

Secara tak sengaja saya membuka folder spam di email saya dan membaca email tentang ratifikasi Konvensi PBB Tahun 1990 tentang Perlindungan Seluruh Hak-hak Buruh Migran dan Anggota Keluarganya oleh pemerintah pada tanggal 7 Februari lalu. Ratifikasi terhadap konvensi yang dikenal dengan nama Konvensi Buruh Migran tersebut memang telah lama diperjuangkan oleh teman-teman yang terlibat dalam perlindungan Buruh Migran Indonesia (BMI). Singkat kata perjalanan meratifikasi Konvensi ini adalah perjalanan yang sukup panjang.


Saturday, February 04, 2012

Peduli Lingkungan Ala Finland

3


Perbincangan sekaligus perhatian terhadap lingkungan rasa-rasanya semakin mengemuka. Sempat saya baca sebuah berita di twiteer di Sumatra Utara, pasangan yang akan menikah wajib menanam satu batang pohon. Ini mengingatkan saya dengan perbincangan saya 5 tahun lalu, di daerah Kuningan Jawa Baratpun pasangan yang akan menikah wajib menyumbangkan satu tanaman. Tidak hanya itu saja, ada banyak gerakan menanam pohon di negeri ini, meski kasus pembalakkan hutan masih saja terjadi.

Kepedulian terhadap lingkungan tidak hanya ditunjukkan dengan gerakan menanam pohon atau menyumbangkan pohon saja. Di beberapa negara, pemerintah membuat program car free day. Yang saya tahu tentang program tersebut, kemacetan justru berpindah di tempat lain, bahkan tak jarang saya kesusahan dalam mengakses publik transportasi.

Beberapa bulan tinggal di Finland, salah satu negara scandinavia ini membuat saya ingin menuliskan peduli lingkungan ala negeri seribu danau ini. Tempat sampah di sini terdiri dari beberapa macam, yaitu landwaste, metal, karton, burning waste, glass dan kertas. Sudah menjadi kewajiban dari tiap keluarga/ orang untuk memilah-milah sampahnya dan membuangnya di tempat sampah yang sesuai. Memilah-milah sampah ini pun diajarkan kepada anak-anak, sehingga ketika mereka dewasa kebiasaan memilah sampah telah tertanam di diri mereka. Terkait dengan glass recycling, bersama dengan Jerman, Finland memiliki tingkat glass recycling yang cukup tinggi yaitu 80-90%.

Kumpulkan botol air mineral dan kaleng coke atau beer anda, anda akan mendapatkan voucher berbelanja. Ya, anda bisa menukarkan botol dan kaleng tersebut di supermarket dan mendapatkan voucher untuk berbelanja di supermarket tersebut. Sayangnya saya tidak terlalu memanfaatkan program ini, berhubung jarang membeli air mineral dan tak pernah membeli coke atau beer.

Jika di tanah air, untuk mendukung program peduli lingkungan di beberapa supermarket, disediakan kantong plastik atau kantong khusus dengan membayar beberapa ribu rupiah. Namun tentu saja, pihak supermarket tersebut memberikan kantong plastik secara cuma-cuma. Saya menjadi teringat, saya selalu membawa kantong plastika kemana saja saya pergi, sehingga ketika saya berbelanja saya selalu menolak kantong plastik yang diberikan. Lain halnya dengan di sini, supermarket tidak memberikan kantong plastik secara cuma-cuma (hanya ada kantong plastik ukuran kecil yang tersedia gratis), karenanya selalu membawa tas atau kantong plastik sendiri.

Toko-toko second hand cukup banyak ditemukan di sini. Barang-barang yang tidak terpakai dijual di toko second hand. Anda bisa menemukan barang dengan harga miring di toko second hand, dan ini artinya menggunakan konsep re-use. Jika dilihat dari sisi ekonomi, mungkin ini adalah kebermanfaatan kepemilikan. Sebagai contoh, ketika anda membeli mesin cuci baru sementara mesin cuci lama masih berfungsi, alangkah baiknya jika mesin cuci tersebut dialihkan ke orang lain yang lebih membutuhkan dari pada membuat sesak rumah anda.

Kedekatan orang Finland dengan alam, ini terlihat dari salah satu kegiatan yang dilakukan orang Finland yaitu berburu jamur dan berry. Kebanyakan mereka dapat membedakan jamur yang bisa dimakan dan yang tidak. Ini cukup penting karena tidak semua jamur dapat dimakan.

Mungkin masih banyak lagi cara peduli lingkungan di negeri ini yang luput dari pengamatan saya. Namun yang saya pelajari, peduli dari lingkungan harus dimulai dari diri sendiri dan tentu saja mari kita mulai dari sekarang.





Sunday, January 22, 2012

Merindukan Ruang Publik yang Aman bagi Perempuan (dan Anak)

0

Miris hati saya, ketika pagi ini membaca sebuah tulisan "Mahasiswi Diperkosa Lima Pemuda di Angkot." Ini mengingatkan saya pada status mbak Mariana Amiruddin di FB beberapa hari yang lalu,
"Seorang ibu menunggu angkot di pinggir kota sendirian. Datanglah angkot kosong gelap. Saya panik, langsung saya beri tumpangan. Kebetulan satu tujuan. Lalu kami berdua diskusi soal perkosaan di angkot dan situasi kota yg memburuk."
Saya menjadi bertanya, apakah mimpi tentang ruang publik yang aman bagi perempuan (dan anak) masih jadi mimpi belaka di negeri ini? Beberapa waktu yang lalu ketika bertemu dengan kelompok perempuan di Turku (red: Finlandia), mereka bertanya apa yang membedakan hidup di Indonesia dengan di Turku dari perspektif saya yang perempuan. Agak sulit menjawabnya, ada beberapa hal yang membuat saya turn green with envy dengan keadaan di sini. Salah satunya adalah rasa aman, meski malam atau dini hari saya masih berada di jalan yang sepi dan gelap, sendirian; namun saya merasa aman. Tidak ada street harassment yang biasa saya dapati atau saksikan di Indonesia, entah itu komentar dari sekelompok orang (laki-laki) atau siulan. Hal yang sama saya rasakan ketika berada di Thailand, meski tentu saja kadar rasa amannya tidak setinggi di sini. 

 Saya kemudian bertanya, akankah ketika kembali nanti ke negeri tercinta ruang publik sudah menjadi tempat yang aman bagi perempuan. Ketika berbicara tentang ruang publik dan rasa aman, kemudian saya teringat dengan pernyataan seorang tokoh yang menyalahkan busana yang dipakai perempuan. Ah.. kembali perempuan menjadi yang paling bertanggungjawab atas urusan moral. Tubuh perempuan disalahkan dan bagaimana perempuan berbusana menjadi hal yang dituding sebagai penyebab ketidakamanan pada perempuan. Permasalahannya apakah pada perempuan dan busana yang dikenakannya atau pada cara pandang yang menjadikan perempuan sebagai objek? Ketika masyarakat saling menghormati dan menghargai satu sama lain, tidak memandang pihak yang lain sebagai objek, ruang publik yang aman bagi perempuan (dan anak) bahkan bagi siapa pun tentu saja bukan impian belaka. ----

Tuesday, January 17, 2012

Resensi: The Girl Who Leapt Through Time

0

Title : The Girl Who Leapt Through Time (Toki o Kakeru Shōjo) 
Year : 2006 

Seandainya saja kita bisa mengulang waktu... 
Kata-kata itu acapkali kita dengar, dan bagaimana jika bisa? Akankah menjadi hal yang berbeda? Benarkah itu yang kita inginkan? 

Makoto, seorang remaja Jepang yang tinggal di Tokyo secara tak sengaja memiliki kemampuan untuk melakukan perjalanan waktu, semenjak dia selamat dari tabrakan dengan kereta api akibat rem sepedanya oblong. Makoto menggunakan kemampuannya untuk berbagai hal, dari memperbaiki nilai ujian, makan puding yang sebelumnya dimakan adiknya, karaoke hingga 10 jam, memakan makanan kesukaannya, membantu seseorang mengungkapkan perasaannya, menghindari 'kecelakaan' di kelas, bahkan mencegah kematian seseorang. Melihat film ini, kadang Makoto menggunakan kemampuannya itu untuk hal yang tidak seperlunya. Dan siapa sangka kemampuan itu ternyata memiliki batasannya. Memiliki kemampuan tersebut rasanya cool dan mungkin kita berpikir bisa melakukan hal yang lebih baik jika bisa mengulang waktu. Kita bisa dengan mudah kembali ke waktu dengan moment yang kita suka atau memperbaiki sesuatu.
"Kamu bisa melakukan perjalanan waktu, tapi pernahkah berpikir mungkin ada seseorang yang menderita karena hal itu?"
demikian kira-kira kata bibi Makoto yang dipanggilnya aunty witch. Benar saja, ketika Makoto menyadari perasaannya pada Chiaki, dia menyesal telah melakukan pengulangan waktu berkali-kali untuk menghindari Chiaki menyatakan perasaannya. Terlebih ketika mengetahui Chiaki akan menghilang. 

Bagaimana kelanjutan kisah Makoto dan Chiaki? Atau bagaimana Makoto memanfaatkan kemampuannya itu? Bisa diikuti dengan menonton filmnya langsung. Menurut saya film ini cukup bagus dan mengandung pesan moral yang tentu saja sangat subjektif tergantung masing-masing dari kita. Finally, film ini cukup worthed untuk ditonton.

Friday, January 06, 2012

Jilbab dan Saya

1


Memakai jilbab di Indonesia adalah hal yang lumrah, cara berpakaian ini bahkan dianggap sebagai cara berpakaian yang baik. Tidak hanya itu, beberapa daeraho bahkan mewajibkan perempuannya untuk berjilbab. Tinggal di negara orang, menjadikan banyak orang bertanya pada saya mengapa memakai jilbab. "Kamu tinggal di Indonesia, negara yang panas. Mengapa kamu memakai jilbab? Apa tidak gerah?" demikian tanya salah seorang teman saya dari China. Lain lagi dengan teman saya dari Perancis yang sedikit lebih 'menyerang', tak seharusnya simbol keagamaan dipaai di muka umum ( ini sejalan dengan kebijakan Prancis).

Saya memulai memaki jilbab ketika saya masuk kuliah. Saya bukan berasal dari keluarga atau lingkungan pesantren atau yang taat sekali pada agama. Ibu saya hingga saat ini terkadang memakai jilbab dan terkadang tidak. Keinginan memakai jilbab, saya rasakan di saat akhir masa SMU saya. Ketika itu banyak teman dekat saya yang kemudian memaka jilbab (ini mungkin sedikit banyak mempengaruhi saya), selain keinginan untuk lebih mendekatkan diri pada Tuhan dan menjalankan agama saya lebih baik. Tidak ada yang mempertanyakan hal ini pada saya, dan tak ada pula yang mengkritisi. Saya pun tak mempertanyakan hal ini pada diri saya.

Ketika berjilbab, saya pikir tak ada orang yang bertanya tentang agama saya. Namun ternyata tidak demikian. Ketika saya berada di Aceh, seseorang bertanya, "Apa agama adik?" Baru kali ini saya mendapat pertanyaan seperti itu, yang membuat saya heran (tentu saja).

Memakai jilbab membantu saya dalam aktivitas saya. Ketika bekerja di Aceh, memakai jilbab tentu saja menjadi hal yanga menguntungkan. Demikian halnya dalam aktivitas saya di beberapa daerah di Jawa Barat, memakai jilbab membuat saya 'lebih mudah masuk ke masyarakat'. Tidak hanya itu saja, aktivitas saya yang menuntut saya hingga larut malam masih berada di transportasi publik atau seringkali bepergian sendiri, memkai jilbab membuat saya merasa aman dan nyaman.

Namun jilbab juga membuat saya 'malu'. Ketika beberapa pemimpin daerah mewajibkan perempuan di daerah tersebut untuk memakai jilbab. Atau kewajiban memakai jilbab di lingkungan sekolah atau kantor. Jilbab menjadi alat politik dan menjadi alat untuk mengontrol tubuh perempuan.

.. Bersambung