masihkah kalian ingat bersama kita ke museum Bahari? Rasanya masih jelas memori itu di ingatanku, bahkan hingga hari ini |
Apa kabar
kalian, kawan-kawan kecilku?
Kali
ini kerinduan kepada kalian terasa sangat, bukan karena sepi yang merecah-recah
atau penat yang tidak berkesudahan, tapi karena aku benar-benar merindu kalian.
Aku mungkin tak bisa mengingat semua nama kalian, mungkin aku yang sudah menua
untuk bisa mengingat nama kalian satu persatu; namun setiap memori yang kita
lalui bersama masih tersimpan jelas di ingatanku.
Senja
kala itu, ketika pertama kali aku menjejakkan kaki di tempat kalian tinggal, di
utara ibukota. Mungkin adalah jodoh, jika kemudian kami memutuskan untuk
berhenti di sebuah tempat tak jauh dari sungai yang tak lagi jernih airnya
serta berbagai jenis sampah yang menggunung. Kami memutuskan untuk melangkah
lebih jauh ke perkampungan itu, ke rumah-rumah yang berhimpit satu sama lain,
sangat rapat.
Adalah
kegelisahan yang menyeruak, ketika melangkah lebih jauh ke tempat kalian
tinggal. Jika aku selalu menggerutu tentang masa kecil aku, tentang orang tuaku
yang tak membelikan mainan baru, atau tak sering mengajakku berwisata ke tempat
yang indah-indah di luar sana, luluh lantak semua itu. Mungkin karena keadaan
hingga kalian tumbuh dewasa lebih cepat dan memahami realitas kehidupan yang
sebenarnya. Atau terjebak dalam mimpi-mimpi yang ditawarkan tayangan televisi..
Adalah
kegelisahan jika kemudian kami memutuskan untuk mengenal kalian, dalam sebuah
tempat bernama “sabana.” Mungkin adalah harapan kami yang berlebihan untuk
menjadikan ruang ini sebagai padang rumput di sana. Ini tidak hanya tentang
kami yang berbagi sedikit ilmu yang dipunya, tapi juga tentang kami yang
belajar dari kalian. Rasanya uang 120 ribu rupiah yang kusisihkan tiap bulan
untuk membayar kontrakan, tempat kita bermain bersama tak sebanding dengan apa
yang aku rasakan ketika bertemu kalian, kawan-kawan kecilku.
Masih
ingatkah kalian dengan lagu yang sering kita nyanyikan bersama sebelum kita
mulai acara “belajar” bersama?
lihat kebun tebu, itulah kampungku
ada sungainya dan ada rumahku
setiap hari kubersihkan slalu
ingin rasanya, kujadikan indah
Masih
teringat betapa antusiasnya kalian menyanyikan lagu itu, lagu sederhana gubahan
kami dari lagu anak-anak “lihat kebunku.”
Kala
itu, kami tak pernah tau kemana nantinya ‘sabana’ bermuara. Yang aku tau,
‘sabana’ membantuku menjadi kuat. Ketika aku terpuruk, sakit hati; bermain dan
berinteraksi dengan kalian adalah bagian dari proses menyembuhkan. Hingga
akhirnya aku memutuskan untuk meninggalkan ‘sabana’ untuk sebuah mimpi yang
lain. Hidup adalah pilihan, dan pilihan untuk meninggalkan kalian kala itu
adalah pilihan yang berat dan menyakitkan bagiku.
Kadang
bertanya, berartikah bagi kalian semua ini. Tapi tentu saja, ini bukan tentang
membuat mie instant yang dalam waktu 10 menit sudah ada hasilnya. Meski ada
rasa senang ketika mengajarkan kalian untuk bermimpi, sekaligus rasa sedih juga
ketika menemui kalian bermimpi dan kenyataan mencabut mimpi itu hingga membuat
jauh. Adalah Agung, dia anak yang cerdas dan tak jarang membantu kami dalam
proses ‘belajar’ di sana. Dialah yang paling antusias dengan semua cerita yang
kami ceritakan, tentang antariksa, tentang negeri-negeri yang jauh di sana atau
tentang bung Karno yang tak pernah kehilangan semangat untuk membaca. Kenyataan
membuatnya berhenti bermimpi sejalan dengan pupusnya harapan untuk bisa kembali
bersekolah ketika kenyataan berkata lain. Alih-alih menjadi pilot seperti yang
pernah ia katakan, berujung menjadi kuli angkut di pasar. Jika ada yang saya
sesali dalam hidup saya, ini adalah salah satunya, tak benar-benar berusaha
kala itu.
Jika
boleh diberikan kesempatan lagi, ingin aku kembali belajar bersama kalian,
meretas asa dan membangun mimpi bersama.
0 komentar:
Post a Comment