Wednesday, August 26, 2009

Perkebunan Sawit dan Lingkungan

0

Hingga saat ini, kelapa sawit merupakan primadona perkebunan di Indonesia. Tidak mengherankan jika kemudian pengadaan kelapa sawit pun terjadi di berbagai daerah. Sampai dengan akhir tahun 2003, terdapat 4.3 juta hektar lahan kelapa sawit, dari target 9.13 juta hektar, dengan pertumbuhan rata-rata 10% per tahun. Dengan luas 4.3 juta hektar, dapat memproduksi 7.1 juta ton crude palm oil per tahun, dan menjadikan Indonesia sebagai negara dengan areal perkebunan sawit terluas di dunia. Indonesia (bersama Malaysia) pun menjadi penguasa 85% perkebunan kelapa sawit dunia.

Pesatnya perkembangan perkebunan kelapa sawit tidak lepas dari tinggnya permintaan akan kelapa sawit. Dalam kehidupan sehari-hari, kita banyak menggunakan produk yang berasal dari kelapa sawit, misalnya sabun, margarin dan sebagainya, selain itu kelapa sawit merupakan bahan baku biofuel yang diyakini ramah lingkungan. Tingginya permintaan akan kelapa sawit merupakan peluang dalam meningkatkan penghasilan negara. Tidak heran, jika kelapa sawit kemudian dipandang sebagai solusi pembangunan dan kesejahteraan masyarakat. Meski demikian, keberadaan kelapa sawit bukan tanpa masalah, kelapa sawit menimbulkan masalah yang cukup kompleks, misalnya saja kerusakan hutan, kepunahan satwa, banjir, pencemaran air, konflik tanah dan kebakaran hutan.

Perkebunan Sawit dan Kerusakan Lingkungan
Berdasarkan data dari Konsorsium Pendukung Sistem Hutan Kerakyatan (PSHK), kawasan hutan menyusut dari 143 juta hektar menjadi 72 hektar akibat dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit. Ini artinya pembukaan perkebunan kelapa sawit telah menjadi salah satu faktor penyebab berkurangnya hutan, dan hal ini tentu saja membawa dampak yang kompleks.

Konversi hutan tropis menjadi perkebunan kelapa sawit telah merubah hutan dengan keanekaragaman hayati yang tinggi dengan perkebunan monokultur. Ini menyebabkan spesies hewan dan tumbuhan yang menggantungkan hidupnya di hutan menjadi terancam. Akibatnya, tidak jarang ditemui konflik terbuka antara manusia dengan hewan pada poembukaan lahan kelapa sawit. Menyempitnya areal hutan juga menyebabkan banyak satwa sulit mendapatkan makanan.

Berdasarkan hasil studi yang dilakukan oleh Paulus Florus (1999), pendapatan tidak tunai masyarakat seperti sayuran, padi, umbi-umbian, jagung, kayu bakar, tanaman obat dan lauk-pauk (baik di darat atau di sungai dan danau) menjadi hilang karena hutan dan areal pertanian dijadikan perkebunan kelapa sawit. Keluarga petani justru mengalami penurunan pendapatan antara 40 - 60% bila menjadi petani sawit. Hal ini diperkuat dengan penelitian Thomas Daliman (1998) di perusahaan sawit PTPN 13 Kalimantan Barat, yang menyimpulkan bahwa pendapatan petani sawit tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan fisik minimum petani lajang. Bukti lain ditunjukkan dengan semakin miskinnya masyarakat adat yang dapat dilihat dari rumah tidak layak huni, pendidikan anak yang telantar, penyakit akibat gizi buruk, tidak adanya tabungan masa depan, degradasi moral, serta beban hutang selama puluhan tahun.

Pembukaan lahan kelapa sawit pun acap kali memicu terjadinya konflik.

Monday, August 24, 2009

Menjadi Pribadi Yang Ramah Lingkungan

0

Seberapa ramahkah anda terhadap lingkungan? Atau seberapa pedulikah anda terhadap kelestarian lingkungan? Atau apa yang telah anda lakukan untuk menyelamatkan lingkungan? Pertanyaan tersebut bukan untuk menghakimi, namun agar sejenak kita merefleksikan apa yang telah kita perbuat selama ini.

Wacana lingkungan rasa-rasanya telah menjadi wacana yang mendunia, dimana slogan-slogan untuk menyelamatkan lingkungan pun acap kali didengar, misalnya saja Go green, stop global warming, dan sebagainya. Namun sungguhkah kita telah mampu menjadi pribadi yang ramah lingkungan?

Menyelamatkan lingkungan menurut saya tidak saja diukur dari hal-hal yang sifatnya besar-besar, seperti menyelamatkan hutan yang gundul, menyelamatkan species yang langka, dan sebagainya. Pribadi yang ramah lingkungan akan merefleksikan apa yang menjadi pandangannya tentang 'ramah lingkungan' dalam usaha kesehariannya. Ini adalah kesadaran yang sesungguhnya menurut saya.

Dalam kehidupan sehari-hari, ada banyak cara yang dapat dilakukan untuk lebih ramah terhadap lingkungan.

Mengurangi pemakaian plastik
Plastik merupakan jenis limbah yang sulit untuk diurai, padahal rasa-rasanya dalam kehidupan keseharian kita tidak bisa dilepaskan dari plastik. Setiap kali membeli sesuatu pasti sang penjual memberi kita kantung plastik. Karenanya, untuk mengurangi jumlah pemakaian kantung plastik, usahakan untuk membawa kantung plastik kemanapun anda pergi, sehingga ketika anda membeli sesuatu, anda menggunakan kantung plastik yang sudah anda bawa.

Bijaksana dalam pemakaian kertas
Sebagaimana yang kita tahu, bahwa kertas terbuat dari kayu. Ini berarti semakin banyak kertas diproduksi, semakin banyak pohon yang ditebang. Karenanya, perilaku bijaksana dalam pemakaian kertas harus dibiasakan dan menjadi gaya perilaku sehari-hari. Bagaimana tidak karena rasanya kertas adalah benda yang sering digunakan. Anda bisa menghitung berapa banyak pemakaian kertas anda dalam waktu satu hari

Thursday, August 20, 2009

sekilas tentang perubahan iklim

0

Perubahan iklim rasa-rasanya telah menjadi salah satu isu yang mengemuka. Ini tidak lepas dari adanya pelbagai bencana yang dihadapi serta kerusakan lingkungan yang semakin parah saja.

Perubahan Iklim merupakan suatu keadaan berubahnya pola iklim dunia. Suatu daerah mungkin mengalami pemanasan, tetapi daerah lain mengalami pendinginan yang tidak wajar. Akibat kacaunya arus dingin dan panas ini maka perubahan iklim juga menciptakan fenomena cuaca yang kacau, termasuk curah hujan yang tidak menentu, aliran panas dan dingin yang ekstrem, arah angin yang berubah drastis, dan sebagainya. Perubahan iklim merupakan dampak atau akibat dari pemanasan global, yaitu meningkatnya suhu rata-rata permukaan Bumi akibat peningkatan jumlah emisi Gas Rumah Kaca (GRK) di atmosfer.

Gas rumah kaca merupakan kelompok gas yang menjaga suhu permukaan bumi agar tetap hangat. Disebut dengan gas rumah kaca karena sistem kerja gas-gas tersebut di atmosfer Bumi mirip dengan cara kerja rumah kaca yang berfungsi menahan panas matahari di dalamnya agar suhu di dalam rumah kaca tetap hangat, dengan begitu tanaman di dalamnya pun akan dapat tumbuh dengan baik karena memiliki panas matahari yang cukup. Gas-gas tesebut diperlukan untuk menjaga kehidupan di Bumi, karena tanpa keberadaan gas rumah kaca Bumi akan terlalu dingin untuk ditinggali sebab tidak ada lapisan yang mengisolasi panas matahari.


Kontributor terbesar pemanasan global saat ini adalah Karbon Dioksida (CO2), metana (CH4) yang dihasilkan agrikultur dan peternakan (terutama dari sistem pencernaan hewan-hewan ternak), Dinitrogen Oksida (N2O) dari pupuk, dan gas-gas yang digunakan untuk kulkas dan pendingin ruangan (CFC). Rusaknya hutan-hutan yang seharusnya berfungsi sebagai penyimpan CO2 juga makin memperparah keadaan ini karena pohon-pohon yang mati akan melepaskan CO2 yang tersimpan di dalam jaringannya ke atmosfer. Setiap gas rumah kaca memiliki efek pemanasan global yang berbedabeda. Beberapa gas menghasilkan efek pemanasan lebih parah dari CO2. Sebagai contoh sebuah molekul metana menghasilkan efek pemanasan 72 kali dari molekul CO2. Molekul N2O bahkan menghasilkan efek pemanasan sampai 296 kali dari molekul CO2. Gas-gas lain seperti chlorofluorocarbons (CFC) ada yang menghasilkan efek pemanasan hingga ribuan kali dari CO2. Tetapi untungnya pemakaian CFC telah dilarang di banyak negara karena CFC telah lama dituding sebagai penyebab rusaknya lapisan ozon.

Industri Ternak dan Pemanasan Global
Berdasarkan Laporan Perserikatan Bangsa Bangsa tentang peternakan dan lingkungan yang diterbitkan pada tahun 2006 menyebutkan bahwa, "industri peternakan adalah penghasil emisi gas rumah kaca yang terbesar (18%), jumlah ini lebih banyak dari gabungan emisi gas rumah kaca seluruh transportasi di seluruh dunia (13%). " Hampir seperlima (20 persen) dari emisi karbon berasal dari peternakan. Jumlah ini melampaui jumlah emisi gabungan yang berasal dari semua kendaraan di dunia.

Sektor peternakan telah menyumbang 9 persen karbon dioksida, 37 persen gas metana (mempunyai efek pemanasan 72 kali lebih kuat dari CO2 dalam jangka 20 tahun, dan 23 kali dalam jangka 100 tahun), serta 65 persen dinitrogen oksida (mempunyai efek pemanasan 296 kali lebih lebih kuat dari CO2). Peternakan juga menimbulkan 64 persen amonia yang dihasilkan karena campur tangan manusia sehingga mengakibatkan hujan asam.

Peternakan juga telah menjadi penyebab utama dari kerusakan tanah dan polusi air. Saat ini peternakan menggunakan 30 persen dari permukaan tanah di Bumi, dan bahkan lebih banyak lahan serta air yang digunakan untuk menanam makanan ternak. Menurut laporan Bapak Steinfeld, pengarang senior dari Organisasi Pangan dan Pertanian, Dampak Buruk yang Lama dari Peternakan - Isu dan Pilihan Lingkungan (Livestock’s Long Shadow–Environmental Issues and Options), peternakan adalah "penggerak utama dari penebangan hutan …. kira-kira 70 persen dari bekas hutan di Amazon telah dialih-fungsikan menjadi ladang ternak. Selain itu, ladang pakan ternak telah menurunkan mutu tanah. Kira-kira 20 persen dari padang rumput turun mutunya karena pemeliharaan ternak yang berlebihan, pemadatan, dan erosi. Peternakan juga bertanggung jawab atas konsumsi dan polusi air yang sangat banyak. Di Amerika Serikat sendiri, trilyunan galon air irigasi digunakan untuk menanam pakan ternak setiap tahunnya. Sekitar 85 persen dari sumber air bersih di Amerika Serikat digunakan untuk itu. Ternak juga menimbulkan limbah biologi berlebihan bagi ekosistem.

Thursday, July 30, 2009

Good Will Hunting

0

Director : Gus Van Sant
Writer : Ben Afflect, Matt Damon
Genre : Drama

will hunting, 21 years old man, is an orphaned young genius, assigned by his parole officer to a janitorial job at MIT. will is a troubled individual and when he was a child, he was the frequent victim of abuse. but he's a mathematical genius with a photographic memory and the ability to conceive simple solutions to complex problem.

then, he solving a difficult theorem on a hallway blackboard.


Thursday, July 16, 2009

Mewujudkan Kota Ramah Anak: Memberikan Ruang Publik Bagi Anak

0

Fenomena anak yang bermain di jalan raya atau bahkan gang, adalah realitas yang dapat dengan mudah kita temui. Anak-anak berebut tempat dengan para pengguna jalan lainnya, dimana jalan kemudian dirubah menjadi arena bermain sepakbola, bulu tangkis, dan sebagainya. Terkait dengan hal tersebut, bermain-main di jalan raya menjadi salah satu penyebab kematian anak-anak berusia 10 - 14 tahun. Ini tentu saja bukan suatu hal yang berlebih, mengingat anak-anak yang bermain di jalan raya beresiko tertabrak kendaraan.

Pencegahan anak-anak untuk bermain di jalan raya bukanlah penyelesaian. Bagaimana tidak karena dunia anak adalah dunia bermain-main. Persoalannya di sini adalah kurangnya ruang bermain bagi anak-anak, sehingga mereka menjadikan tempat-tempat yang tidak selayaknya menjadi tempat bermain, menjadi ruang bermainnya.


Anak-anak memiliki energi untuk beraktivitas yang lebih besar dan lebih lama dibanding orang dewasa dalam hal bermain, maka wajar jika anak membutuhkan ruang bermain yang lebih luas. Ironisnya tempat bermain adalah hal yang langka saat ini, dimana tidak semua tempat menyediakan ruang bermain yang memadai bagi anak atau jika ada harus membayar tiket yang relatif mahal.

Hal ini dapat dikatakan sebagai bentuk kriminal pada anak-anak.


(to be continue)

Wednesday, July 01, 2009

Ulang Tahun Jakarta: Menjadikan Jakarta Kota Ramah Anak

0

500 tahun yang lalu, Jakarta adalah sebuah bandar kecil di muara sungai Ciliwung. Kota bandar itu kemudian berkembang menjadi bandar internasional yang ramai. Dalam laporan para penulis Eropa pada abad XVI, kota itu disebutkan sebagai sebuah kota bernama Kalapa yang menjadi Bandar Kerajaan Hindu bernama Sunda yang beribukota di Pajajaran. Dalam upaya pencarian akan rempah-rempah, Portugis menduduki kota tersebut. Selanjutnya, Kalapa berhasil dikuasai oleh seorang muda bernama Fatahillah yang kemudian mengganti nama Kalapa menjadi Jayakarta pada tanggal 22 Juni 1527 (yang kemudian menjadi hari ulang tahun kota Jakarta). Pada akhir abad XVI, Jayakarta dikuasai oleh VOC, dan diubah namanya menjadi Batavia. Batavia selanjutnya menjadi pusat perekonomian dan pemerintahan. (http://www.my-indonesia.info/page.php?ic=1197&id=1461). 

 22 Juni yang lalu, Jakarta merayakan ulang tahunnya ke-482, sebuah perjalanan yang cukup panjang tentunya. Momen ini cukup istimewa, mengingat yang berulang tahun adalah ibukota negara. Berbagai even pun digelar, sebut saja Festival Passer Baru, Pekan Raya Jakarta hingga banjir diskon di beberapa tempat. Adalah menarik untuk melihat fenomena anak di Jakarta, mengingat jumlah anak di Jakarta cukup banyak, sekitar 60-70% dari jumlah populasi di Jakarta. 

Kota Ramah Anak
Ide tentang kota diawali dengan penelitian tentang Childern’s Perception of the Environment oleh Kevin Lynch (arsitek dari Massachusetts Institute of Technology) di 4 kota, yaitu Melbourne, Warsawa, Salta dan Mexico City pada tahun 1971 – 1975, dalam rangka program Growing Up in the City yang disponsori oleh UNESCO. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa lingkungan kota yang terbaik bagi anak adalah yang memiliki komuniti yang kuat secara fisik dan sosial, mempunyai aturan yang tegas dan jelas, yang memberi kesempatan kepada anak; dan fasilitas pendidikan yang mampu memberi kesempatan bagi anak untuk mempelajari dan menyelidiki lingkungan serta dunia mereka. Dalam tataran internasional, terkait dengan hal anak, PBB telah mengadopsi Konvensi Hak Anak Tahun 1989, yang didalamnya memuat 4 hak pokok anak, yaitu hak hidup, perlindungan, tumbuh kembang dan partisipasi. Selain itu, terdapat pula prinsip-prinsip yang harus diperhatikan, yaitu non diskriminasi dan mengutamakan yang terbaik untuk anak (the best interested of child). Pada KTT Bumi di Rio de Janeiro tahun 1992, disepakati prinsip-prinsip Agenda 21, yaitu Program Aksi untuk Pembangunan Berkelanjutan. Pada Bab 25 Agenda 21 dinyatakan bahwa anak dan remaja merupakan salah satu major group yang dilibatkan untuk melindungi lingkungan dan kegiatan masyarakat yang sesuai dan berkelanjutan. Bab 28 Agenda 21 juga menjadi rujukan bahwa remaja berperan serta dalam pengelolaan lingkungan. Penelitian Kevin Lynch kemudian ditinjau kembali, dan dilakukan penelitian serupa oleh Dr Louse Chawla dari Children and Environment Program of the Norwegian Centre for Child Research yang diseponsori oleh UNESCO dan Child Watch International di Argentina (Buenos Aires dan Salta), Australia (Melbourne), Inggris (Northampton), India (Bangalore), Norwegia (Trondheim), Polandia (Warsawa), Afrika Selatan (Johannesburg) dan Amerika Serikat (Oaklands dan California). Selanjutnya, pada Konferensi Habitat II di Istambul, Turki pada tahun 1996 ditandatangani sebuah Program Aksi untuk Membuat Permukiman yang lebih nyaman untuk ditempati dan berkelanjutan. Dalam pasal 13, secara spesifik ditegaskan bahwa anak dan remaja harus mempunyai tempat tinggal yang layak, terlibat dalam proses pengambilan keputusan, terpenuhinya kebutuhan dan peran anak dalam bermain di komunitinya. 

Saturday, June 06, 2009

sejenak berbincang nasib BMI

0

Fenomena buruh migran kemudian memunculkan apa yang dinamakan dengan feminisasi migrasi. Dimana banyak perempuan kemudian menjadi buruh migran di beberapa negara. Alih-alih memperoleh rezeki yang sulit didapatkan di negeri sendiri tidak jarang buruh migran ini mengalami eksploitasi di tempat kerja. Eksploitasi tubuh atau kerja terkadang ditambah pula dengan kekerasan yang dilakukan oleh suami. Keadaan semacam ini saya jumpai dalam perjumpaan saya dengan beberapa kawan saya yang menjadi BMI.

Sebut saja namanya S. Seorang perempuan yang tinggal di sebuah kota di kawasan Pantai utara di Jawa Barat. Kemiskinan kemudian membuat banyak perempuan di desa tempat tinggalnya beramai-ramai ke luar negeri untuk bekerja. Entah itu melalui jalur legal ataupun ilegal. Demikian halnya dengan S yang kemudian berangkat sebagai BMI di sebuah negara di kawasan timur tengah.

Suami S mengizinkannya berangkat ke luar negeri sebagai BMI. Bagi perempuan lebih mudah bekerja di luar negeri ketimbang laki-laki. Berbeda dengan laki-laki yang harus membayar sejumlah uang dengan nominal yang cukup tinggi. Bagi perempuan biaya yang dikeluarkan jauh lebih rendah. Selain itu, perempuan lebih banyak dibutuhkan karena sektor yang membutuhkan adalah rumah tangga dan dengan upah yang rendah karena pekerjaan di ranah domestik belum dihargai. Ini tentu saja tidak lepas dari adanya ketidakadilan gender, dimana perempuan diperankan dengan peran domestik.

Sebagaimana dengan nasib BMI lainnya, S bekerja siang malam dengan sedikit waktu untuk beristirahat. Setiap bulannya S mengirimkan uang kepada suaminya. Berkat kiriman uang dari S, suami S membeli sebuah rumah dan dia mengatakan pada S akan mengikuti pemilihan lurah di desanya. Bukan rahasia lagi jika untuk menjadi calon lurah harus mengeluarkan uang yang cukup banyak. Alhasil uang yang dikirimkan S tersedot untuk hal itu, dan malangnya suami S kalah dalam pemilihan lurah.

2 tahun berlalu, dan kontrak kerja S pun habis sehingga S memutuskan untuk pulang. Ketika pulang, betapa kecewanya S ketika mengetahui bahwa suaminya telah menikah lagi dan S tidak diperbolehkan tinggal di rumah yang dibeli melalui hasil keringatnya. Hasil kiriman S selama bekerja di luar negeri habis tak bersisa, bahkan terusir dari rumahnya sendiri. Dengan nasibnya itu, S kemudian memutuskan untuk kembali ke luar negeri.

Masih di kota yang sama. Sebut saja namanya N. Untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya, apalagi penghasilan suaminya sebagai pengayuh becak yang tidak seberapa membhuat N memutuskan untuk bekerja di luar negeri sebagai PRT. Belum 2 tahun masa kerjanya, N kembali ke kampungnya dalam keadaan hamil. Majikannya telah menghamilinya dan tidak mau bertanggung jawab. Bahkan majikan perempuannya memukulinya karena hal tersebut. N tidak kuasa membela diri, dan dia dipulangkan. Beruntunglah, suaminya mau menerimanya. Dengan keadaan N tersebut, tentu saja membuat perekonomian keluarga muda itu semakin sulit.

Cerita S ataupun N tentu saja hanya 2 dari banyak cerita sedih pahlawan devisa negara ini. Persoalan buruh migran bukanlah hal baru, dan tentu saja diperlukan komitmen yang serius untuk mengatasi hal ini.

Thursday, June 04, 2009

Setahun berlalu..

1

Sebuah keresahan, mungkin dari sana semuanya bermula. Keresahan akan kemapanan yang sejenak aku nikmati, keresahan untuk belajar, keresahan untuk berbagi, keresahan untuk berbuat sesuatu, dan segala alasan lain yang tidak bisa diungkapkan. Namun tentu saja bukan suatu hal yang kebetulan, karena tidak ada hal yang terjadi secara kebetulan. Ini aku sadari betul. Segala keresahan yang mencari bentuknya dan kemudian hal ini ada. Membuat aku berproses dengan mereka, kawan-kawanku. Belajar dari mereka, memuaskan ingin tahuku, bergumul dengan ingin serta kebingunganku. Dan tak terasa setahun lebih telah berlalu. Perlahan, kawan-kawan kecilku telah menyeruak dalam hatiku. Memiliki tempat hingga membuatku memikirkannya. Sungguh mereka survivor yang baik, mampu bertahan dalam lingkungannya yang mungkin aku tidak sanggup. Namun persoalannya adalah bagaimana agar daya survive mereka pun berkualitas. Terlalu bombastis jika dibilang itu adalah PRku.. Namun rasanya ingin berbuat sesuatu untuk mereka, dengan langkah kecilku yang berusaha menemani mereka. Selama setahun ini ada banyak rasa yang tak bisa diungkap. Ketika bosan menyeruak, atau ketika semangat berfluktuasi atau ketika harus menyembunyikan rasa. Sungguh bukan hal yang mudah. Yang kadang ingin membuatku lari menyingkir, menghilang atau apalah. Terasa egois rasanya, apalagi ini jelas bertentangan dengan apa yang aku yakini dalam menjalin hubungan. Semua rasa yang ada, tentunya tidak sebanding dengan tanggung jawab moralku atau kebahagiaan melihat senyum mereka. Semoga ini 'kan terus menjadi semangatku. Amien.

Tuesday, June 02, 2009

Hak Perempuan Adat Terpencil dalam Konteks Hak Asasi Perempuan

0

Hak asasi perempuan dan anak perempuan merupakan bagian yang melekat, menyatu
dan tidak terpisahkan dari hak asasi manusia yang universal.

Deklarasi dan Program Aksi Wina*
(bag. I, ayat 18)


Komunitas Adat Terpencil (KAT) adalah kelompok sosial budaya yang bersifat lokal dan terpencar serta kurang atau belum terlibat dalam jaringan dan pelayanan baik sosial, ekonomi maupun politik (Keppres No. 111 Tahun 1999 tentang Pembinaan Kesejahteraan Sosial Komunitas Adat Terpencil). KAT tersebar di seluruh Indonesia, baik di pulau besar maupun di pulau kecil. Berdasarkan data Direktorat Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil, Departemen Sosial, persebaran KAT di Indonesia sebesar 229.479 KK, dan pada hingga tahun 2008, jumlah yang sudah diberdayakan sebanyak 73.514 KK dan yang belum diberdayakan sebanyak 143.402 KK.

Sebagai bagian dari warga Negara Indonesia, KAT memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan warga negara lainnya. Pun demikian karena keterbatasannya, hak-hak warga KAT relatif belum/ kurang terpenuhi, baik dalam hak sipil dan politik (sipol) serta hak ekonomi, sosial dan budaya (ekosob). Akibatnya hak-hak warga KAT sebagai warga negara belum dapat dinikmati, sehingga KAT menjadi bagian dari kelompok marginal di negara ini. Karenanya dalam upaya pemberdayaan KAT mencakup pula upaya perlindungan terhadap KAT.

Berkaitan dengan upaya perlindungan terhadap KAT dan upaya pemenuhan hak-haknya, menarik untuk melihat mengenai hak-hak perempuan KAT. Jika KAT merupakan bagian dari kelompok marginal, maka perempuan KAT berada dalam kondisi yang lebih tidak diuntungkan, karena mereka adalah KAT dan karena mereka perempuan. Sebagaimana yang diketahui bersama bahwa hingga saat ini ketimpangan gender adalah realita yang masih sering ditemukan di lapangan dan perempuan KAT merupakan bagian dari the voiceless yang juga mengalami dampak dari ketimpangan gender.

Dalam konteks hukum internasional, telah ada pengakuan terhadap Hak Asasi Perempuan (HAP), demikian pula halnya dengan perempuan komunitas adat terpencil. Sebagaimana dengan perempuan lainnya, perempuan komunitas adat terpencil memiliki hak yang sama.

Perkembangan Hak Asasi Perempuan
HAP dapat dipahami sebagai hak yang dimiliki oleh seorang perempuan, karena dia perempuan. HAP muncul karena Universal Declaration of Human Right Declaration (UDHR) belum mampu mengakomodasi perlindungan terhadap perempuan atas pelaksanaan haknya. Jadi, HAP merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM), yang tidak lepas dari sejarah perkembangan HAM.

HAP merupakan gelombang HAM ketiga, yang muncul karena UDHR beserta dua konvensi turunannya International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) dan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR) belum cukup mengakomodir hak dasar perempuan, belum mengakui adanya perbedaan (differences) antara perempuan dan laki-laki serta tidak mengatur aksi afirmatif kepada kelompok rentan, termasuk perempuan.

Pada tahun 1979, PBB mengadopsi Konvensi Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women/ CEDAW). CEDAW merupakan deklarasi hak asasi manusia yang secara komprehensif mengakui HAP dan menjadi instrumen universal pertama yang mengatur HAP. Bahkan CEDAW dianggap sebagai bill of rights for women yang menjadi standar universal pertama yang mengatur tentang HAP.

Sebelum lahirnya CEDAW, telah ada instrumen-instrumen internasional yang diadopsi berkaitan dengan perempuan. Konvensi Pemberantasan Perdagangan Manusia dan Eksploitasi Manusia tahun 1949, memberikan perhatian terhadap kerentanan perempuan di wilayah/ lingkungan khusus. Bahkan pada tahun 1951, ILO telah menetapkan perjanjian antara Negara untuk menerapkan upah yang sama antara laki-laki dan perempuan untuk pekerjaan yang sama nilainya. PBB pada tahun 1967, mengeluarkan deklarasi mengenai Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan. Pada tahun 1974, PBB mengeluarkan Deklarasi Perlindungan Perempuan dan Anak dalam Keadaan Darurat dan Konflik Bersenjata, yang menunjukkan adanya pengakuan terhadap kerentanan perempuan dan anak dalam situasi konflik.

CEDAW memuat 12 area HAP, yaitu peran stereotipe dan prasangka; prostitusi; kehidupan publik dan politik; partisipasi pada tingkat internasional; kewarganegaraan; hak yang sama dalam pendidikan; ketenagakerjaan; kesehatan dan keluarga berencana; ekonomi dan manfaat sosial; perempuan pedesaan; persamaan di muka hukum; serta perkawinan dan hukum keluarga. Kedua belas area HAP tersebut mencakup hak sipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya. Ini artinya CEDAW secara holistik memasukkan hak-hak tersebut dalam segala bidang kehidupan manusia, tanpa mendikotomikan antara urusan publik dan privat. Hal itu berbeda dengan instrumen HAM sebelumnya yang mendikotomikan antara yang publik dan yang privat, padahal keduanya saling kait mengkait.

Perkembangan HAP tidak berhenti pada CEDAW, namun berkembang ke isu-isu yang belum diakomodasi dalam CEDAW. Dalam Konferensi HAM di Wina Tahun 1993, HAP dan hak anak diakui sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari HAM universal. Pada tahun 1995 diadakan Konferensi Sedunia keempat tentang Perempuan di Beijing yang menghasilkan Deklarasi Beijing dan Landasan Aksi Beijing. Dalam konferensi Beijing ini dirumuskan aksi-aksi yang harus dilaksanakan untuk memajukan dan memberdayakan perempuan. Dalam deklarasi ini dinyatakan bahwa persamaan antara perempuan dan laki-laki adalah masalah hak asasi, syarat dari keadilan sosial dan persamaan pembangunan dan perdamaian.

Komite CEDAW pada tahun 1992 mengeluarkan Rekomendasi Umum Nomor 19 tentang Kekerasan terhadap Perempuan, dimana kekerasan terhadap perempuan adalah bentuk diskriminatif terhadap perempuan. Persoalan hak reproduksi kemudian diakui pada tahun 1994 melalui Konferensi tentang Kependudukan dan Pembangunan di Kairo. Konferensi ini merupakan konferensi HAM internasional pertama yang memberikan perhatian kepada orang muda, termasuk perempuan. Pada tanggal 6 Oktober 1999, Majelis Umum PBB mengadopsi Optional Protocol terhadap Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, yang memungkinkan pelaporan oleh individu atau kelompok.

Hak Perempuan Adat terpencil dalam Instrumen HAP
Keterbatasan yang dimiliki warga KAT telah menjadikan mereka sebagai bagian dari kelompok yang termarginalkan di negara ini. Dalam konteks ini, perempuan KAT mengalami dua kali pemarginalan, yaitu karena mereka KAT dan karena mereka perempuan. Oleh karenanya perempuan adat terpencil termasuk dalam kategori kelompok rentan, yang secara spesifik diakui dalam Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan mengenai kelompok-kelompok perempuan yang rentan dengan kekerasan. Ini terlihat dari hal berikut:

“menimbang, bahwa beberapa kelompok perempuan, seperti perempuan dalam kelompok-kelompok minoritas, perempuan masyarakat adat, perempuan pengungsi, perempuan migran, perempuan yang hidup di pedesaan atau pedalaman, perempuan-perempuan papa, perempuan dalam lembaga pemasyarakatan atau tahanan, perempuan kanak-kanak, perempuan cacat, perempuan lanjut usia, perempuan dalam situasi konflik bersenjata, adalah kelompok yang rentan kekerasan.”

Adanya konvensi tersebut menunjukkan bahwa perempuan adat terpencil merupakan kelompok perempuan yang rentan terhadap kekerasan dan harus mendapatkan perlindungan. Sebagaimana dengan perempuan lainnya, perempuan adat terpencil memiliki hak yang sama, hanya saja karena keterbatasan yang dihadapi perempuan adat terpencil menyebabkan perlunya perhatian yang lebih serius. Hak-hak perempuan KAT yang perlu diperhatikan antara lain:

a.Kesehatan Reproduksi
Kesehatan reproduksi dalam Kongres Kependudukan dan Pembangunan di Kairo tahun 1994 didefinisikan sebagai keadaan sehat fisik, mental, sosial, dan tidak sekedar tidak memiliki penyakit atau keadaan lemah. Ini artinya, kesehatan reproduksi tidak hanya menyangkut persoalan fisik, tetapi juga berkenaan dengan masalah sosial dan mental. Kesehatan reproduksi merupakan hak semua orang, baik itu perempuan ataupun laki-laki. Meski demikian, karena perbedaan status dan sifat khususnya, perempuan menghadapi masalah yang lebih besar. Dalam Rekomendasi Umum No 24 tahun 1999 tentang Perempuan dan Kesehatan (pasal 12) disebutkan bahwa kesehatan reproduksi merupakan hak dasar perempuan. Hal ini terkait dengan rentannya perempuan terhadap persoalan kesehatan reproduksinya. Karena kondisi biologisnya yang unik, perempuan mengalami kecenderungan mengalami kerentanan dibanding laki-laki.

Berkaitan dengan persoalan ini, perempuan memiliki 4 permasalahan yaitu terlalu muda mengalami kehamilan, terlalu sering melahirkan, terlalu dekat jarak kelahiran dan terlalu tua melahirkan. Empat hal tersebut mempengaruhi kesehatan reproduksi perempuan. Kesehatan reproduksi juga menyangkut akses terhadap pelayanan ketika akan melahirkan. Akibat dari lokasinya yang relatif sulit dijangkau sehingga menyebabkan ibu hamil kurang mendapatkan pelayanan kesehatan yang memadai. Berdasarkan catatan United Nations Children’s Fund (UNICEF), untuk setiap 1.000 kelahiran, empat perempuan meninggal. Di Papua, lebih dari 10 perempuan adat meninggal setiap 1000 kelahiran. Tingginya tingkat kematian ibu hamil dan bayi yang dilahirkan juga dialami oleh Suku Anak Dalam di Jambi. Ini terlihat dari makin berkurangnya populasi suku tersebut. Data pada tahun 2002 menyebutkan bahwa orang Rimba yang bermukim di Taman Nasional Bukit Dua Belas (TNBD) berjumlah 1.300 jiwa, di Taman Nasional Bukit Tiga Puluh (TNBT) berjumlah 364 jiwa dan di sepanjang jalan lintas Sumatera 1.259 jiwa, sehingga jumlah keseluruhan adalah 2.923 jiwa. Pada tahun 2008, hasil pendataan Warsi menyebutkan jumlah orang Rimba di TNBD tetap, yaitu 1.300 jiwa, di TNBT 434 jiwa dan sepanjang jalan lintas Sumatera sebanyak 1.375 jiwa. Ini artinya, dalam kurun waktu 7 tahun hanya ada pertambahan sebanyak 186 jiwa. Hal ini diperkuat dengan laporan para tumenggung (petinggi/ ketua kelompok orang Rimba) mengenai tingginya tingkat kematian akibat melahirkan.

Adanya angka kematian ibu dan anak tidak lepas dari masih terbatasnya akses kesehatan serta masih adanya pernikahan usia muda di kalangan perempuan komunitas adat terpencil. Kehamilan yang terlalu dini merupakan kehamilan yang rawan bagi perempuan karena alat reproduksinya belum siap sehingga dapat menyebabkan terjadinya kematian ibu dan anak.

Ketidakadilan terhadap perempuan juga terlihat dari pernikahan, misalnya saja perempuan adat di Kasepuhan menikah berkali-kali tanpa surat resmi dan dinikahkan pada usia muda (12 – 16 tahun). Di Marori Minggey, Merauke, di mana masyarakatnya menganut sistem patrilineal, keberadaan anak laki-laki sangat penting. Akibatnya, apabila dalam suatu keluarga belum memiliki anak laki-laki maka istri (perempuan) harus siap untuk beberapa kali hamil hingga mendapatkan anak laki-laki. Hal itu tentu saja membuat perempuan sangat rentan kesehatan reproduksinya.

Berdasarkan hal tersebut, persoalan kesehatan reproduksi merupakan masalah penting. Persoalan kesehatan reproduksi termasuk pula informasi yang lengkap mengenai alat kontrasepsi, keluarga berencana dan alat-alat reproduksi.

b.Pendidikan
Hak atas pendidikan penting bagi perempuan dan anak perempuan karena beberapa alasan. Akibat faktor gender, akses perempuan ke dunia pendidikan cukup rendah, selain itu pendidikan belum mampu menjawab kebutuhan spesifik perempuan, misalnya pemahaman akan kesehatan reproduksi perempuan dan hak terbebas dari kekerasan berbasis gender. Pentingnya hak pendidikan bagi perempuan dan anak disadari dalam level internasional, dimana pendidikan dan pelatihan bagi perempuan dan anak perempuan masuk dalam 12 bidang kritis Deklarasi Beijing tahun 1995.

Pendidikan merupakan hak bagi semua orang, termasuk perempuan. Penekanan pada perempuan dan anak perempuan disebabkan karena kelompok ini merupakan kelompok rentan yang relatif kurang atau belum mampu mengakses pendidikan sebagaimana dengan laki-laki. Pendidikan (dalam arti sempit yang berarti adalah pengajaran di sekolah) bukan saja harus bersifat terbuka, namun juga memungkinkan semua orang untuk dapat menikmatinya tanpa ada perbedaan. Hal ini sebagaimana tercantum dengan jelas dalam pasal 10 CEDAW, yaitu:

“Para negara peserta harus mengambil semua tindakan yang tepat untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan, agar dapat menjamin bagi mereka hak-hak yang sama dengan laki-laki di bidang pendidikan dan terutama untuk menjamin atas dasar persamaan antara laki-laki dan perempuan.”

Pendidikan yang setara antara perempuan dan laki-laki juga menjadi tujuan utama dalam Millenium Development Goals (MDGs), yang menyebutkan adanya pendidikan dasar yang universal dan mengembangkan kesetaraan gender serta memberdayakan perempuan. Dimana dalam salah satu targetnya adalah mengurangi perbedaan dan diskriminasi gender dalam pendidikan dasar dan menengah. Pentingnya kesetaraan gender dalam pendidikan tidak lepas dari kenyataan masih adanya ketimpangan antara laki-laki dan perempuan dalam mengakses pendidikan.

Pendidikan bagi perempuan dan anak (perempuan) adat terpencil menjadi penting karena masih rendahnya pendidikan anak perempuan. Dalam urusan pendidikan, anak perempuan acapkali dinomorduakan. Demikian halnya dengan anak perempuan adat terpencil. Dibanding anak laki-laki, anak perempuan tingkat pendidikannya lebih rendah. Ini tidak lepas dari adanya adat yang berlaku, dimana perempuan tidak perlu memiliki pendidikan yang lebih tinggi. Perempuan dipandang tidak perlu mendapatkan pendidikan tinggi karena perempuan nantinya lebih berperan dalam urusan domestik.

Sunday, May 10, 2009

laki-laki dan biolanya

0

Judul : Chicken with Plums (Ayam dengan Plum) 
Jenis : graphic novel 
Pengarang : Marjane Satrapi 
Penerbit : Gramedia 
Jumlah hal: 84 hal 

Buku ini punya arti banyak buat saya.. Bukunya saya beli di Gramedia Botani Square Bogor. Begitu lihat buku Marjane Satrapi, langsung saja dibeli. Untung ada uang tahun baru, jadi bisa dipake buat beli buku... 

Sedih y.. seperti cerita Nasser Ali, paman Satrapi yang diceritakan di buku ini. Mengambil setting di Iran tahun 1958. Nasser Ali menikahi Nahid, meskipun ia tidak mencintainya karena sebenarnya Nasser Ali mencintai Irene namun tak direstui ayah Irene sebab profesinya sebagai seniman. Nasser Ali memiliki 4 orang anak (excuse me..? katanya nggak cinta tapi sampe punya anak 4..).