Hak asasi perempuan dan anak perempuan merupakan bagian yang melekat, menyatu
dan tidak terpisahkan dari hak asasi manusia yang universal.
Deklarasi dan Program Aksi Wina*
(bag. I, ayat 18)
Komunitas Adat Terpencil (KAT) adalah kelompok sosial budaya yang bersifat lokal dan terpencar serta kurang atau belum terlibat dalam jaringan dan pelayanan baik sosial, ekonomi maupun politik (Keppres No. 111 Tahun 1999 tentang Pembinaan Kesejahteraan Sosial Komunitas Adat Terpencil). KAT tersebar di seluruh Indonesia, baik di pulau besar maupun di pulau kecil. Berdasarkan data Direktorat Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil, Departemen Sosial, persebaran KAT di Indonesia sebesar 229.479 KK, dan pada hingga tahun 2008, jumlah yang sudah diberdayakan sebanyak 73.514 KK dan yang belum diberdayakan sebanyak 143.402 KK.
Sebagai bagian dari warga Negara Indonesia, KAT memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan warga negara lainnya. Pun demikian karena keterbatasannya, hak-hak warga KAT relatif belum/ kurang terpenuhi, baik dalam hak sipil dan politik (sipol) serta hak ekonomi, sosial dan budaya (ekosob). Akibatnya hak-hak warga KAT sebagai warga negara belum dapat dinikmati, sehingga KAT menjadi bagian dari kelompok marginal di negara ini. Karenanya dalam upaya pemberdayaan KAT mencakup pula upaya perlindungan terhadap KAT.
Berkaitan dengan upaya perlindungan terhadap KAT dan upaya pemenuhan hak-haknya, menarik untuk melihat mengenai hak-hak perempuan KAT. Jika KAT merupakan bagian dari kelompok marginal, maka perempuan KAT berada dalam kondisi yang lebih tidak diuntungkan, karena mereka adalah KAT dan karena mereka perempuan. Sebagaimana yang diketahui bersama bahwa hingga saat ini ketimpangan gender adalah realita yang masih sering ditemukan di lapangan dan perempuan KAT merupakan bagian dari the voiceless yang juga mengalami dampak dari ketimpangan gender.
Dalam konteks hukum internasional, telah ada pengakuan terhadap Hak Asasi Perempuan (HAP), demikian pula halnya dengan perempuan komunitas adat terpencil. Sebagaimana dengan perempuan lainnya, perempuan komunitas adat terpencil memiliki hak yang sama.
Perkembangan Hak Asasi Perempuan
HAP dapat dipahami sebagai hak yang dimiliki oleh seorang perempuan, karena dia perempuan. HAP muncul karena Universal Declaration of Human Right Declaration (UDHR) belum mampu mengakomodasi perlindungan terhadap perempuan atas pelaksanaan haknya. Jadi, HAP merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM), yang tidak lepas dari sejarah perkembangan HAM.
HAP merupakan gelombang HAM ketiga, yang muncul karena UDHR beserta dua konvensi turunannya International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) dan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR) belum cukup mengakomodir hak dasar perempuan, belum mengakui adanya perbedaan (differences) antara perempuan dan laki-laki serta tidak mengatur aksi afirmatif kepada kelompok rentan, termasuk perempuan.
Pada tahun 1979, PBB mengadopsi Konvensi Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women/ CEDAW). CEDAW merupakan deklarasi hak asasi manusia yang secara komprehensif mengakui HAP dan menjadi instrumen universal pertama yang mengatur HAP. Bahkan CEDAW dianggap sebagai bill of rights for women yang menjadi standar universal pertama yang mengatur tentang HAP.
Sebelum lahirnya CEDAW, telah ada instrumen-instrumen internasional yang diadopsi berkaitan dengan perempuan. Konvensi Pemberantasan Perdagangan Manusia dan Eksploitasi Manusia tahun 1949, memberikan perhatian terhadap kerentanan perempuan di wilayah/ lingkungan khusus. Bahkan pada tahun 1951, ILO telah menetapkan perjanjian antara Negara untuk menerapkan upah yang sama antara laki-laki dan perempuan untuk pekerjaan yang sama nilainya. PBB pada tahun 1967, mengeluarkan deklarasi mengenai Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan. Pada tahun 1974, PBB mengeluarkan Deklarasi Perlindungan Perempuan dan Anak dalam Keadaan Darurat dan Konflik Bersenjata, yang menunjukkan adanya pengakuan terhadap kerentanan perempuan dan anak dalam situasi konflik.
CEDAW memuat 12 area HAP, yaitu peran stereotipe dan prasangka; prostitusi; kehidupan publik dan politik; partisipasi pada tingkat internasional; kewarganegaraan; hak yang sama dalam pendidikan; ketenagakerjaan; kesehatan dan keluarga berencana; ekonomi dan manfaat sosial; perempuan pedesaan; persamaan di muka hukum; serta perkawinan dan hukum keluarga. Kedua belas area HAP tersebut mencakup hak sipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya. Ini artinya CEDAW secara holistik memasukkan hak-hak tersebut dalam segala bidang kehidupan manusia, tanpa mendikotomikan antara urusan publik dan privat. Hal itu berbeda dengan instrumen HAM sebelumnya yang mendikotomikan antara yang publik dan yang privat, padahal keduanya saling kait mengkait.
Perkembangan HAP tidak berhenti pada CEDAW, namun berkembang ke isu-isu yang belum diakomodasi dalam CEDAW. Dalam Konferensi HAM di Wina Tahun 1993, HAP dan hak anak diakui sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari HAM universal. Pada tahun 1995 diadakan Konferensi Sedunia keempat tentang Perempuan di Beijing yang menghasilkan Deklarasi Beijing dan Landasan Aksi Beijing. Dalam konferensi Beijing ini dirumuskan aksi-aksi yang harus dilaksanakan untuk memajukan dan memberdayakan perempuan. Dalam deklarasi ini dinyatakan bahwa persamaan antara perempuan dan laki-laki adalah masalah hak asasi, syarat dari keadilan sosial dan persamaan pembangunan dan perdamaian.
Komite CEDAW pada tahun 1992 mengeluarkan Rekomendasi Umum Nomor 19 tentang Kekerasan terhadap Perempuan, dimana kekerasan terhadap perempuan adalah bentuk diskriminatif terhadap perempuan. Persoalan hak reproduksi kemudian diakui pada tahun 1994 melalui Konferensi tentang Kependudukan dan Pembangunan di Kairo. Konferensi ini merupakan konferensi HAM internasional pertama yang memberikan perhatian kepada orang muda, termasuk perempuan. Pada tanggal 6 Oktober 1999, Majelis Umum PBB mengadopsi Optional Protocol terhadap Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, yang memungkinkan pelaporan oleh individu atau kelompok.
Hak Perempuan Adat terpencil dalam Instrumen HAP
Keterbatasan yang dimiliki warga KAT telah menjadikan mereka sebagai bagian dari kelompok yang termarginalkan di negara ini. Dalam konteks ini, perempuan KAT mengalami dua kali pemarginalan, yaitu karena mereka KAT dan karena mereka perempuan. Oleh karenanya perempuan adat terpencil termasuk dalam kategori kelompok rentan, yang secara spesifik diakui dalam Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan mengenai kelompok-kelompok perempuan yang rentan dengan kekerasan. Ini terlihat dari hal berikut:
“menimbang, bahwa beberapa kelompok perempuan, seperti perempuan dalam kelompok-kelompok minoritas, perempuan masyarakat adat, perempuan pengungsi, perempuan migran, perempuan yang hidup di pedesaan atau pedalaman, perempuan-perempuan papa, perempuan dalam lembaga pemasyarakatan atau tahanan, perempuan kanak-kanak, perempuan cacat, perempuan lanjut usia, perempuan dalam situasi konflik bersenjata, adalah kelompok yang rentan kekerasan.”
Adanya konvensi tersebut menunjukkan bahwa perempuan adat terpencil merupakan kelompok perempuan yang rentan terhadap kekerasan dan harus mendapatkan perlindungan. Sebagaimana dengan perempuan lainnya, perempuan adat terpencil memiliki hak yang sama, hanya saja karena keterbatasan yang dihadapi perempuan adat terpencil menyebabkan perlunya perhatian yang lebih serius. Hak-hak perempuan KAT yang perlu diperhatikan antara lain:
a.Kesehatan Reproduksi
Kesehatan reproduksi dalam Kongres Kependudukan dan Pembangunan di Kairo tahun 1994 didefinisikan sebagai keadaan sehat fisik, mental, sosial, dan tidak sekedar tidak memiliki penyakit atau keadaan lemah. Ini artinya, kesehatan reproduksi tidak hanya menyangkut persoalan fisik, tetapi juga berkenaan dengan masalah sosial dan mental. Kesehatan reproduksi merupakan hak semua orang, baik itu perempuan ataupun laki-laki. Meski demikian, karena perbedaan status dan sifat khususnya, perempuan menghadapi masalah yang lebih besar. Dalam Rekomendasi Umum No 24 tahun 1999 tentang Perempuan dan Kesehatan (pasal 12) disebutkan bahwa kesehatan reproduksi merupakan hak dasar perempuan. Hal ini terkait dengan rentannya perempuan terhadap persoalan kesehatan reproduksinya. Karena kondisi biologisnya yang unik, perempuan mengalami kecenderungan mengalami kerentanan dibanding laki-laki.
Berkaitan dengan persoalan ini, perempuan memiliki 4 permasalahan yaitu terlalu muda mengalami kehamilan, terlalu sering melahirkan, terlalu dekat jarak kelahiran dan terlalu tua melahirkan. Empat hal tersebut mempengaruhi kesehatan reproduksi perempuan. Kesehatan reproduksi juga menyangkut akses terhadap pelayanan ketika akan melahirkan. Akibat dari lokasinya yang relatif sulit dijangkau sehingga menyebabkan ibu hamil kurang mendapatkan pelayanan kesehatan yang memadai. Berdasarkan catatan United Nations Children’s Fund (UNICEF), untuk setiap 1.000 kelahiran, empat perempuan meninggal. Di Papua, lebih dari 10 perempuan adat meninggal setiap 1000 kelahiran. Tingginya tingkat kematian ibu hamil dan bayi yang dilahirkan juga dialami oleh Suku Anak Dalam di Jambi. Ini terlihat dari makin berkurangnya populasi suku tersebut. Data pada tahun 2002 menyebutkan bahwa orang Rimba yang bermukim di Taman Nasional Bukit Dua Belas (TNBD) berjumlah 1.300 jiwa, di Taman Nasional Bukit Tiga Puluh (TNBT) berjumlah 364 jiwa dan di sepanjang jalan lintas Sumatera 1.259 jiwa, sehingga jumlah keseluruhan adalah 2.923 jiwa. Pada tahun 2008, hasil pendataan Warsi menyebutkan jumlah orang Rimba di TNBD tetap, yaitu 1.300 jiwa, di TNBT 434 jiwa dan sepanjang jalan lintas Sumatera sebanyak 1.375 jiwa. Ini artinya, dalam kurun waktu 7 tahun hanya ada pertambahan sebanyak 186 jiwa. Hal ini diperkuat dengan laporan para tumenggung (petinggi/ ketua kelompok orang Rimba) mengenai tingginya tingkat kematian akibat melahirkan.
Adanya angka kematian ibu dan anak tidak lepas dari masih terbatasnya akses kesehatan serta masih adanya pernikahan usia muda di kalangan perempuan komunitas adat terpencil. Kehamilan yang terlalu dini merupakan kehamilan yang rawan bagi perempuan karena alat reproduksinya belum siap sehingga dapat menyebabkan terjadinya kematian ibu dan anak.
Ketidakadilan terhadap perempuan juga terlihat dari pernikahan, misalnya saja perempuan adat di Kasepuhan menikah berkali-kali tanpa surat resmi dan dinikahkan pada usia muda (12 – 16 tahun). Di Marori Minggey, Merauke, di mana masyarakatnya menganut sistem patrilineal, keberadaan anak laki-laki sangat penting. Akibatnya, apabila dalam suatu keluarga belum memiliki anak laki-laki maka istri (perempuan) harus siap untuk beberapa kali hamil hingga mendapatkan anak laki-laki. Hal itu tentu saja membuat perempuan sangat rentan kesehatan reproduksinya.
Berdasarkan hal tersebut, persoalan kesehatan reproduksi merupakan masalah penting. Persoalan kesehatan reproduksi termasuk pula informasi yang lengkap mengenai alat kontrasepsi, keluarga berencana dan alat-alat reproduksi.
b.Pendidikan
Hak atas pendidikan penting bagi perempuan dan anak perempuan karena beberapa alasan. Akibat faktor gender, akses perempuan ke dunia pendidikan cukup rendah, selain itu pendidikan belum mampu menjawab kebutuhan spesifik perempuan, misalnya pemahaman akan kesehatan reproduksi perempuan dan hak terbebas dari kekerasan berbasis gender. Pentingnya hak pendidikan bagi perempuan dan anak disadari dalam level internasional, dimana pendidikan dan pelatihan bagi perempuan dan anak perempuan masuk dalam 12 bidang kritis Deklarasi Beijing tahun 1995.
Pendidikan merupakan hak bagi semua orang, termasuk perempuan. Penekanan pada perempuan dan anak perempuan disebabkan karena kelompok ini merupakan kelompok rentan yang relatif kurang atau belum mampu mengakses pendidikan sebagaimana dengan laki-laki. Pendidikan (dalam arti sempit yang berarti adalah pengajaran di sekolah) bukan saja harus bersifat terbuka, namun juga memungkinkan semua orang untuk dapat menikmatinya tanpa ada perbedaan. Hal ini sebagaimana tercantum dengan jelas dalam pasal 10 CEDAW, yaitu:
“Para negara peserta harus mengambil semua tindakan yang tepat untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan, agar dapat menjamin bagi mereka hak-hak yang sama dengan laki-laki di bidang pendidikan dan terutama untuk menjamin atas dasar persamaan antara laki-laki dan perempuan.”
Pendidikan yang setara antara perempuan dan laki-laki juga menjadi tujuan utama dalam Millenium Development Goals (MDGs), yang menyebutkan adanya pendidikan dasar yang universal dan mengembangkan kesetaraan gender serta memberdayakan perempuan. Dimana dalam salah satu targetnya adalah mengurangi perbedaan dan diskriminasi gender dalam pendidikan dasar dan menengah. Pentingnya kesetaraan gender dalam pendidikan tidak lepas dari kenyataan masih adanya ketimpangan antara laki-laki dan perempuan dalam mengakses pendidikan.
Pendidikan bagi perempuan dan anak (perempuan) adat terpencil menjadi penting karena masih rendahnya pendidikan anak perempuan. Dalam urusan pendidikan, anak perempuan acapkali dinomorduakan. Demikian halnya dengan anak perempuan adat terpencil. Dibanding anak laki-laki, anak perempuan tingkat pendidikannya lebih rendah. Ini tidak lepas dari adanya adat yang berlaku, dimana perempuan tidak perlu memiliki pendidikan yang lebih tinggi. Perempuan dipandang tidak perlu mendapatkan pendidikan tinggi karena perempuan nantinya lebih berperan dalam urusan domestik.
0 komentar:
Post a Comment