Hingga saat ini, kelapa sawit merupakan primadona perkebunan di Indonesia. Tidak mengherankan jika kemudian pengadaan kelapa sawit pun terjadi di berbagai daerah. Sampai dengan akhir tahun 2003, terdapat 4.3 juta hektar lahan kelapa sawit, dari target 9.13 juta hektar, dengan pertumbuhan rata-rata 10% per tahun. Dengan luas 4.3 juta hektar, dapat memproduksi 7.1 juta ton crude palm oil per tahun, dan menjadikan Indonesia sebagai negara dengan areal perkebunan sawit terluas di dunia. Indonesia (bersama Malaysia) pun menjadi penguasa 85% perkebunan kelapa sawit dunia.
Pesatnya perkembangan perkebunan kelapa sawit tidak lepas dari tinggnya permintaan akan kelapa sawit. Dalam kehidupan sehari-hari, kita banyak menggunakan produk yang berasal dari kelapa sawit, misalnya sabun, margarin dan sebagainya, selain itu kelapa sawit merupakan bahan baku biofuel yang diyakini ramah lingkungan. Tingginya permintaan akan kelapa sawit merupakan peluang dalam meningkatkan penghasilan negara. Tidak heran, jika kelapa sawit kemudian dipandang sebagai solusi pembangunan dan kesejahteraan masyarakat. Meski demikian, keberadaan kelapa sawit bukan tanpa masalah, kelapa sawit menimbulkan masalah yang cukup kompleks, misalnya saja kerusakan hutan, kepunahan satwa, banjir, pencemaran air, konflik tanah dan kebakaran hutan.
Perkebunan Sawit dan Kerusakan Lingkungan
Berdasarkan data dari Konsorsium Pendukung Sistem Hutan Kerakyatan (PSHK), kawasan hutan menyusut dari 143 juta hektar menjadi 72 hektar akibat dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit. Ini artinya pembukaan perkebunan kelapa sawit telah menjadi salah satu faktor penyebab berkurangnya hutan, dan hal ini tentu saja membawa dampak yang kompleks.
Konversi hutan tropis menjadi perkebunan kelapa sawit telah merubah hutan dengan keanekaragaman hayati yang tinggi dengan perkebunan monokultur. Ini menyebabkan spesies hewan dan tumbuhan yang menggantungkan hidupnya di hutan menjadi terancam. Akibatnya, tidak jarang ditemui konflik terbuka antara manusia dengan hewan pada poembukaan lahan kelapa sawit. Menyempitnya areal hutan juga menyebabkan banyak satwa sulit mendapatkan makanan.
Berdasarkan hasil studi yang dilakukan oleh Paulus Florus (1999), pendapatan tidak tunai masyarakat seperti sayuran, padi, umbi-umbian, jagung, kayu bakar, tanaman obat dan lauk-pauk (baik di darat atau di sungai dan danau) menjadi hilang karena hutan dan areal pertanian dijadikan perkebunan kelapa sawit. Keluarga petani justru mengalami penurunan pendapatan antara 40 - 60% bila menjadi petani sawit. Hal ini diperkuat dengan penelitian Thomas Daliman (1998) di perusahaan sawit PTPN 13 Kalimantan Barat, yang menyimpulkan bahwa pendapatan petani sawit tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan fisik minimum petani lajang. Bukti lain ditunjukkan dengan semakin miskinnya masyarakat adat yang dapat dilihat dari rumah tidak layak huni, pendidikan anak yang telantar, penyakit akibat gizi buruk, tidak adanya tabungan masa depan, degradasi moral, serta beban hutang selama puluhan tahun.
Pembukaan lahan kelapa sawit pun acap kali memicu terjadinya konflik.
Wednesday, August 26, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 komentar:
Post a Comment