Thursday, April 14, 2011

Songkran dan Pariwisata Thailand

0

Pariwisata tidak melulu tentang pemandangan alam ataupun pembangunan tempat yang menarik, namun juga menjadikan festival sebagai sarana menarik wisatawan. Ini yang menjadi cara negeri Gajah Putih dalam memasarkan pariwisatanya, misalnya saja festival Songkran. Tahun ini menurut perkiraan Kasikorn Research Center (KResearch) jumlah wisatawan selama songkran akan mencapai 17 juta orang. Banyaknya jumlah wisatawan didukung dengan diskon khusus yang diberikan sejumlah maskapai penerbangan ke Thailand selama songkran. 

Songkran atau perayaan tahun baru tradisional Thailand dirayakan pada pertengahan bulan April. Tahun ini festival tersebut berlangsung pada 13-15 April, yang juga menjadi hari libur nasional dan dapat dinikmati di seluruh penjuru Thailand. Bahkan masing-masing provinsi memiliki tema-tema tersendiri plus beberapa kegiatan menarik, seperti pertunjukkan tarian, festival makanan tradisional. Perang air yang menjadi ciri khas perayaan Songkran mengajak para wisatawan untuk ikut ambil bagian dalam perayaan itu dan menjadikan festival lebih ‘hidup’. Tengok saja perang air di Khao San Road –kawasan backpacker di Thailand, yang menjadi tempat favorit para turis untuk merayakan Songkran-, berbagai orang dari berbagai negara berbaur dengan para penduduk lokal mengikuti perang air dan tepung. Ratusan orang memadati Khao San Road dan saling menembak satu sama lain dengan water gunnya dan juga menaburkan tepung ke wajah orang lain. 

Songkran tidak hanya perang air, berbagai kegiatan spiritual berlangsung di beberapa temple, misalnya saja Wat Po yang terkenal dengan patung reclining Budha-nya. Para turis diajak secara langsung untuk melihat bagaimana penduduk lokal merayakan Songkran, misalnya pemberian sedekah atau bersembahyang. Acara tersebut dimeriahkan pula dengan pertunjukkan budaya dan festival makanan tradisional yang mengajak para pengunjung mengenal Thailand lebih dekat.

Monday, March 28, 2011

sebuah cerita dari Nakhon Nayok

0

3 hari, saya dan teman-teman saya akhirnya berkesempatan melakukan field trip. Lokasi tujuan field trip adalah Pak Phli District di Nakhon Nayok Province. Daerah ini tidak jauh dari AIT, bisa ditempuh dalam waktu 1,5 jam dengan menggunakan van. Ada kerinduan berada di lapangan, bercerita dengan masyarakat, belajar dari mereka. 

Namun di sini tentu saja tidak semudah yang dibayangkan. Bagaimana tidak? Kendala bahasa menjadi tantangan terbesar dan mempersulit pendekatan dengan mereka. Membandingkan dengan negeri tercinta, tentu saja di sini keadaannya jauh lebih baik. Meski salah seorang petinggi negara mengajukan excuse tentang masih belum baiknya pelayanan publik di Indonesia karena wilayah yang luas dan penduduk yang banyak. Jika dibandingkan dengan Thailand, tentu saja Indonesia jauh lebih luas dan lebih banyak penduduknya. Namun tentu saja itu bukan menjadi alasan untuk tidak memenuhi hak-hak warga negara. Dari sisi kesehatan, semuanya gratis. Termasuk alat kontrasepsi, menjadi teringat perbincangan saya dengan kawan-kawan perempuan saya tentang alat kontrasepsi. Ketika mereka akan menggunakan alat kontrasepsi, bukan sejarah kesehatannya yang ditanyakan, namun mau alat kontrasepsi dengan harga berapa. Ironis, negara berusaha mengatur laju pertumbuhan penduduk, namun di sisi lain menjadikan perempuan tidak lebih dari objek. Jika di Indonesia pendidikan masih belum gratis, atau kalaupun gratis masih ada pungutan-pungutan lain. Tidak demikian halnya di sini. Pendidikan gratis hingga SMU dan negara juga memberikan bantuan untuk seragam dan buku, jadi pendidikan benar-benar gratis. Tidak hanya itu saja, di sebuah sekolah yang saya kunjungi bahkan jika ada kasus siswi yang hamil, setelah melahirkan dia bisa kembali ke sekolah. Ada pula uang pensiun bagi mereka yang berumur 60 tahun, meski jumlahnya tidak banyak (500 THB/ bulan atau sekitar 150.000/bulan) namun tentu saja lebih baik dari pada tidak ada. Bagi para difabel juga mendapatkan tunjangan tiap bulannya. Jika di suatu daerah membutuhkan day care service, daerah tersebut dapat mengajukan permohonan ke pemrintah. Menjadi termenung dengan keadaan negeri saya yang tercinta, kapan bisa benar-benar memberikan kesejahteraan bagi rakyat. Rasanya banyak orang kaya di negeri ini, bisa dilihat tentu saja dari perputaran uang yang terjadi, atau mall yang tak pernah miskin pembeli. Kemana larinya pajak-pajak itu?

Thursday, March 10, 2011

Sebuah Apologi: Catatan di Hari Perempuan Internasional

0


Pengantar
Tulisan ini adalah apologi saya atas komentar saya di sebuah situs jejaring sosial. Kenapa apologi, karena ini adalah pembelaan saya atas kata-kata saya, yang saya sadari sulit untuk saya lempar ulang di situs tersebut.

8 Maret lalu adalah peringatan 100 tahun hari perempuan internasional. Perayaan ini bukan tanpa sebab, ini adalah penghargaan atas perjuangan perempuan biasa yang meretas sejarah, sebuah perjuangan untuk berpartisipasi dalam masyarakat. 100 tahun yang lalu pada tanggal 8 Maret 1911, untuk pertama kalinya hari perempuan sedunia diperingati (meski tentu saja perjuangan perempuan tidak dimulai dari tahun itu) di Austria, Denmark, Jerman dan Swiss. Lebih dari satu juta perempuan dan laki-laki turun ke jalan menuntut hak untuk ikut serta dalam pemilu dan posisi di dalam pemerintahan , mereka menuntut hak bekerja, kesempatan memperoleh pelatihan, dan penghapusan diskriminasi dalam pekerjaan. Peringatan ini tentu saja penghargaan dan dukungan terhadap perjuangan perempuan, tidak hanya masa lalu, tapi juga masa kini dan masa yang akan datang. Perjuangan itu masih berlanjut.


Berikut adalah apologi saya:

Harapan di "hari Perempuan Sedunia" : semoga tahun depan atau tahun ini ada yang mencetuskan "Hari Laki-Laki Sedunia"


harus ada sejarahnya kenapa, jangan terus karena perempuan punya hari perempuan dan laki-laki mempertanyakan harinya..


Sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya, bahwa butuh waktu berabad-abad bagi perempuan untuk mendapatkan haknya (hak memilih, hak bekerja, hak atas pendidikan, dsb), karena tentu saja laki-laki telah lebih dahulu mendapatkan haknya. Hari perempuan adalah penghargaan serta dukungan bagi perjuangan perempuan.

Bagaimana dengan keadaan perempuan? Berdasarkan data UNIFEM, secara global 6 dari 10 perempuan mengalami kekerasan fisik atau seksual. Di Indonesia, berdasarkan data Komnas Perempuan tahun 2004, terdapat 5.934 kasus kekerasan menimpa perempuan. Meski jumlah ini meningkat dari tahun sebelumnya, tentu saja tidak menjadi indikator bahwa kekerasan terhadap perempuan meningkat. Berdasarkan data Bank Dunia, secara global kesempatan mendapatkan pendidikan masih didominasi laki-laki, dimana 65% anak perempuan tidak sekolah. Di Indonesia, tingkat kematian ibu masih cukup tinggi yaitu 307 per 100.000 kelahiran hidup, yang masih menjadi salah satu yang tertinggi di kalangan negara-negara ASEAN (Kompas). Berdasarkan data World Bank di tahun 2002, angka melek huruf perempuan adalah 86%, sementara laki-laki 94%. Juga lebih pendeknya jumlah waktu rata-rata sekolah perempuan daripada lelaki (6,5 berbanding 7,6 tahun).

Hari perempuan bukan sekedar simbolis saja, namun penghargaan serta dukungan bagi perjuangan perempuan, untuk kondisi yang lebih baik. Dan, masihkah anda bertanya mengapa? Ketika secara pribadi mempertanyakan diskriminasi yang mungkin pernah dialami atas nama jenis kelamin, mungkin anda bisa berefleksi sendiri. Pernahkah anda diperlakukan tidak adil, hanya karena anda laki-laki atau perempuan? Menjadi teringat diri saya, dalam sebuah acara keluarga ketika saya kecil. Saya iri dengan saudara laki-laki saya yang bisa bermain, sementara saya dan (tentu saja) saudara-saudara perempuan saya yang lain harus membantu memasak dan mempersiapkan makanan.

"Hari Perempuan Men-traktir Sedunia" .....

Sengaja saya menanggapi joke ini. Di Indonesia, jumlah remitan PRT migran (yang semuanya adalah perempuan) mencapai 7,135 miliar dolar AS (lebih lanjut bisa dibaca di sini) Jumlah yang tidak sedikit, bahkan penyumbang devisa negara terbesar kedua. Uang dari cucuran keringat perempuan tersebut digunakan untuk membiayai pembangunan. Jadi, tidakkah merasa sudah 'ditraktir' perempuan. Ini tentu saja belum termasuk dengan pekerjaan tidak berbayar (baca: reproductive work) yang dilakukan perempuan.

Sunday, February 27, 2011

PRT migran oh PRT migran...

3

Beberapa hari lalu publik dikejutkan dengan pernyataan Ketua DPR RI, Marzuki Alie yang menyatakan
"PRT TKW itu membuat citra Indonesia buruk."
Lebih lanjut Marzuki menyarankan untuk menghentikan sementara pengiriman TKW PRT, yang dinyatakannya sebagai pendapat pribadi.
"Saya setuju hentikan TKW PRT untuk sementara waktu. PRT sebaiknya tidak kita kirim karena memalukan. Sebaiknya dihentikan. Ini pendapat pribadi."
Pernyataan yang mengundang kontroversi itu tak ayal menuai berbagai protes. Bagaimana tidak, karena pernyataan itu mencerminkan bagaimana PRT TKIP dipandang, terlebih oleh seorang pejabat publik yang sayangnya adalah ketua DPR. (sengaja saya menggunakan singkatan TKIP atau Tenaga Kerja Indonesia Perempuan, karena menurut saya istilah TKW mendiskriminasikan TKIP, ketika istilah TKI digunakan untuk laki-laki sementara perempuan menggunakan istilah TKW-Red).

Berdasarkan data migrancare, tidak kurang 4.5 juta warga Indonesia berada di luar negeri debagai pekerja migran (TKI. Ini artinya sekitar 2% penduduk Indonesia (mengambil angka sensus penduduk 2010, jumlah penduduk Indonesia 237.556.363) mengadu nasib sebagai TKI, dan jumlah ini tentu saja terus bertambah, mengingat hampir setiap tahun sekitar 600-700 ribu orang diberangkat ke luar negeri (http://www.tkiindo.co.cc) Sebagian besar dari mereka (sekitar 70%) adalah perempuan yang bekerja di sektor domestik (PRT) dan manufaktur, sementara laki-laki kebanyakan bekerja sebagai buruh perkebunan, konstruksi, transportasi dan jasa (migrantcare).

Sebutan pahlawan devisa rasanya cukup tepat, bagaimana tidak dari cucuran peluh mereka tersumbang kurang lebih Rp 24 triliun bagi devisa negara yang berasal dari remitan (Kemenakertrans). Sementara itu, berdasarkan penelusuran Kantor Bank Indonesia (KBI) Surabaya, jumlah remitan pada tahun 2010 mencapai 100 triliun (Republika). Bahkan menurut data migrancare, pada tahun 2010, jumlah remitan mencapai 7,135 miliar dolar AS, atau lebih besar dari jumlah bantuan pembangunan negara asing (1,2 miliar dolar AS). Jumlah yang tidak sedikit tentu saja, dan TKI menjadi penyumbang devisa nomor 2 untuk negara.

Membincangkan persoalan PRT migran cukuplah kompleks, dan hal ini tidak bisa dipandang dari sisi kurangnya skill PRT Indonesia atau perilaku negatif dari PRT migran, sebagaimana yang disampaikan Marzuki Alie. PRT migran menjadi alternatif upaya karena negara belum mampu menyejahterakan warganya. Tidak hanya itu saja, PRT migran yang semuanya perempuan menghadapi berbagai bentuk diskriminasi, misalnya saja diskriminasi dalam pengupahan, rentan terhadap kekerasan baik fisik atau seksual serta jam kerja yang cukup panjang. Ini belum ditambah dengan rentannya posisi mereka sebagai pekerja migran yang berhadapan dengan sistem keimigrasian yang restriktif dan belum terlindunginya hak-haknya dalam UU tenaga kerja.

Menjadi teringat percakapan saya beberapa waktu lalu dengan mantan PRT migran yang menceritakan panjangnya jam kerja yaitu dari jam 5 pagi hingga jam 2 pagi, hampir 21 jam! Hal ini tentu saja hanya dialami perempuan, karena sektor domestik (rumah tangga) yang telah dikonstruksikan sebagai ranah perempuan. Tingginya permintaan akan sektor domestik ini kemudian menyebabkan feminisasi migrasi, dimana sebagian besar migran adalah perempuan. Bahkan salah satu dampak hal ini, pihak PJTKI lebih memudahkan TKIP dibanding TKIL, misalnya saja dengan membebankan biaya yang cukup besar bagi calon TKIL yang akan berangkat ke luar negeri. Tuntutan ekonomi kemudian menjadikan banyak perempuan mengadu nasib di luar negeri sebagai PRT migran. Ketiadaan skill dan rendahnya pendidikan membuat mereka kurang bisa mengakses sektor profesional. Pertanyaannya, apakah menjadi PRT migran adalah cita-cita mereka? Bagaimana dengan negara, apakah sudah mampu menyediakan pendidikan murah berkualitas bagi warganya?

Menimpakan kesalahan pada PRT migran mencerminkan kesan 'cuci tangan' pemerintah. Bukankah menjadi kewajiban pemerintah untuk memastikan bahwa setiap PRT yang bekerja di luar negeri memiliki keterampilan yang memadai? Dan bukankah kewajiban negara untuk melindungi warga negaranya? termasuk mereka yang bekerja di luar negeri.

Menghentikan pengiriman PRT migran untuk sementara waktu bukanlah jalan keluar yang cerdas, terlebih ketika negara belum mampu memberikan kesejahteraan bagi warganya. Cita-cita negara kesejahteraan sebagaimana tertuang dalam konstitusi nasional tampaknya masih jauh dari realitas. Menghentikan pengiriman PRT migran sementara waktu bahkan boleh jadi mempertinggi jalur ilegal pengiriman PRT migran. Hal ini juga jelas pelanggaran hak untuk bekerja.

Sudah seharusnya pemerintah mulai membuat langkah-langkah strategis dan serius serta kebijakan pro rakyat. Pengakuan terhadap Pekerja Rumah Tangga migran dan juga komitmen perlindungan yang serius adalah wajib hukumnya. PRT migran bukanlah komoditas, dan perlu adanya perlindungan komprehensif terhadap mereka, misalnya saja dengan meningkatkan kualitas pekerja rumah tangga, memastikan PRT migran bekerja di tempat yang aman, kontrol terhadap PJTKI, serta memaksimalkan diplomasi perlindungan terhadap TKI. Hal ini tentu saja perlu dibarengi dengan upaya-upaya peningkatan kesejahteraan warga negara seperti penciptaan lapangan kerja, kebijakan sosial bagi warga negara, pendidikan gratis dan berkualitas, dan tentu saja pemberantasan korupsi.

Pustaka:
"Jumlah TKI di LN Capai 3 Juta," di http://us.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2006/bulan/03/tgl/20/time/162544/idnews/562163/idkanal/10 (27/02/2011).
http://www.migrantcare.net/
"Marzuki Alie: TKW PRT Buat Citra Indonesia Buruk," di http://us.detiknews.com/read/2011/02/26/135623/1579983/10/marzuki-alie-tkw-prt-buat-citra-indonesia-buruk (26/02/2011)
"Pernyataan Marzuki Alie Soal PRT Diprotes Keras," di http://us.detiknews.com/read/2011/02/26/204930/1580172/10/pernyataan-marzuki-alie-soal-prt-diprotes-keras (27/02/2011)
"Marzuki Tak Pantas Hina Pahlawan Devisa," di http://us.detiknews.com/read/2011/02/27/042027/1580222/10/marzuki-tak-pantas-hina-pahlawan-devisa (27/02/2011)
"Tahun 2010, TKI kirim Uang Rp 100 Triliun," Republika, di http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/nasional/10/12/05/150754-tahun-2010-tki-kirim-uang-rp-100-triliun (27/02/2011)



Thursday, February 17, 2011

Surname

1

Mengisi sebuah formulir kadang menjadi hal yang menjengkelkan ketika mereka meminta surname. Nama saya terdiri dari 3 kata, dan semuanya adalah nama saya. Tidak ada surname di nama saya, namun karena ketentuan yang berkiblat barat itu, jadilah kata kedua pada nama saya adalah middle name dan kata terakhir sebagai surname.

Adalah hal yang menarik membincangkan surname ini. Teman saya memiliki surname yang merupakan nama keluarganya. Ketika dia dipanggil Mrs. X, dia menolak karena itu berarti dia adalah istri dari ayahnya. Lain halnya dengan teman saya yang berasal dari negeri matador, dia memiliki 2 surname, yaitu nama belakang ibu dan ayahnya dimana keduanya dipakai secara bersamaan.

Hal ini menjadi menarik ketika saya berdiskusi dengan teman saya dari Jepang, yang meneliti tentang surname di Jepang. Di Jepang, ketika seseorang menikah, mereka diwajibkan untuk mengganti nama belakangnya. Bisa nama belakang istri ataupun suami, tergantung kesepakatan berdua. Namun tentu saja, kebanyakan menggunakan nama belakang pihak laki-laki. Persoalan menjadi rumit, ketika keduanya bercerai dan dalam kasus sang anak ikut istri. Ketika suami menikah lagi, kemudian meminta sang anak melepaskan nama keluarganya dan mengganti dengan nama keluarga ibu. Nama adalah identitas, sehingga tidak terbayangkan ketika sudah puluhan tahun menggunakan nama tersebut dan diminta untuk menggantinya.

Bagaimana di negara ini? Saya melihat kecenderungan dari teman-teman perempuan saya secara informal menggunakan nama belakang suaminya (yang padahal bukan surnamenya). Sekedar catatan, tentu saja bukan berasal dari masyarakat patrilineal macam batak atau matrilineal macam minangkabau. Entahlah apa maksudnya. Namun bagi saya, timbul pertanyaan, kenapa harus perempuan yang menggantinya? kenapa bukan laki-laki?

Sebelum berkeluarga, beberapa perempuan menggunakan nama keluarga (ayah)nya di belakang namanya. Ketika dia kemudian pergi ke luar negeri, orang menyapanya dengan Ms. ....(nama keluarganya). Ketika kemudian dia berkeluarga, dia kemudian menggunakan nama suaminya di nama belakangnya. Tidak hanya itu saja, orang-orang kemudian memanggilanya dengan sebutan Bu.... (nama suaminya). Atau ketika anaknya lahir kemudian disapa dengan ibunya .... (nama anaknya). Aah.. kapan dipanggil dengan namanya sendiri?

Orang boleh jadi berkata, apalah arti sebuah nama mengutip kata Shakespeare. Tapi bukankah nama adalah identitas seseorang?

Wednesday, February 16, 2011

How Far Can You Go, a note from Pornography Law

0

UU Pornografi kembali mencuat ketika sidang Ariel dilakukan, bagaimana tidak karena Ariel menjadi selebritis pertama yang dikenai hukuman berdasarkan UU Pornografi.

Pro kontra tentang UU Pornografi hingga kini masih ditemui, meski tentu saja tidak sekencang ketika awal-awal Undang-Undang ini disahkan. Meski banyak yang kontra, banyak pula yang mendukung dikeluarkannya undang-undang ini.

Lahirnya undang-undang ini (katanya) tidak lepas dari keprihatinan akan banyaknnya anak-anak yang mengakses pornografi atau menjaga moralitas bangsa. Pun demikian, hal ini mengandung ambiguitas, bukankah kita sudah memiliki UU Perlindungan Anak dan UU ITE? dan apakah persoalan moralitas bisa dibawa ke ranah hukum?

Menyimak pasal 1 ayat 1 dalam UU tersebut tentang definisi pornografi:
Pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya
melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum,
yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan
dalam masyarakat.


apakah definisi norma kesusilaan? siapakah yang menentukan? jikalau yang menentukan adalah masyarakat, masyarakat yang mana? Kita tidak bisa lantas mengenaralisasi, sebagaimana diketahui negara kita terdiri dari banyak etnis dan budaya, singkat kata sangat pluralis. Bagaimana menentukan definisi norma kesusilaan dalam masyarakat yang sangat plural? Selama ini kita mendefinisikan norma kesusilaan terkait dengan adat atau agama, dan itu tentu saja menjadikan adanya perbedaan dalam mendefinisikan norma kesusilaan.

Diawali dengan definisi yang kabur dan sangat multitafsir, menjadi pertanyaan bagaimana implementasi Undang-undang di masa datang. Bisa dipastikan apabila definisi yang kelak dipakai adalah definisi kelompok yang suaranya paling kencang, dan apakah itu menggambarkan masyarakat?

Dalam penjelasan pasal 4 ayat 1 huruf (a) disebutkan bahwa:
Yang dimaksud dengan "persenggamaan yang menyimpang" antara lain persenggamaan atau aktivitas seksual lainnya dengan mayat, binatang, oral seks, anal seks, lesbian, dan homoseksual.


Menyimak pasal tersebut, homoseksual adalah deviant, dan negara hanya mengakui heteronormativity. Persoalan seksualitas adalah persoalan privat dan dengan memberikan pelabelan tersebut, negara telah memasuki ranah pribadi seseorang.

Undang-undang tersebut, tidak memiliki sensitifitas akan trafiking dan bahkan persetujuan pun bisa jadi karena keterpaksaan, ancaman dan sebagainya. Hal ini terlihat dalam pasal 8:
Setiap orang dilarang dengan sengaja atau atas persetujuan dirinya menjadi objek atau model yang mengandung muatan pornografi.


Undang-undang ini jelas mengatur masalah moralitas terkait dengan seksualitas. Persoalannya adalah di masyarakat Indonesia yang patriarkal ini, ketika berbicara mengenai seksualitas, maka yang ditunjuk adalah perempuan. Artinya, mengatur seksualitas adalah mengatur/ mengontrol tubuh perempuan.


Undang-Undang pornografi dapat diunduh di sini. Lebih lanjut tentang UU pornografi dapat dilihat di sini.


Monday, February 07, 2011

sexual contract

0

One of the most popular theory on state is social contract theory. Thomas Hobbes (1651), John Locke (1689), and Jean-Jacques Rousseau (1762) are the most famous philosophers of contractarianism. The notion of this theory is the society give their sovereignty to the state in order to receive or maintain social order through role of law. Meaning that the basis the basis of government is consent, in where people are agree to be roled and government are entitled to role.

Thomas Hobbes (1588-1679) came with the idea of a state of nature (anarchy condition), and in that condition, there are no social goods. In order to produce the things that not exist, social cooperation is needed so people will not harm each other and people must rely on one another to keep their agreement. It means that in order to have social order, people need government and in establishing government people give some of their personal freedom, and give authority to the government to enforce laws and agreements. So, those who living under a government are parties to a social contract.

Social contract theory argue that “the state exists to enforce the rules necessary for social living, while morality consists in the whole set of rules that facilitate social living”. (Rachels, p. 144) Thus, government is needed to enforce the basic rules of social living (e.g. don’t rob people, don’t break agreements), while morality may encompass some rules that are important for social living but are outside the scope of the state (this might include, for example, “Don’t insult people for no reason”.)


Sexual contract is the critic to social contract theory. She address that admittedly women are found as equals in their relations with men, but they are not part of that group which later contracted in to form the political state. Social contract theory does not challenge the original patriarchal right. As Sir Robert Filmer claimed that political power is paternal power. Meaning that when they talking about individual, they talking about individual man. Women is missing in the social contract theory. If men getting their right because they give their contract to the state, so women having their right because of their relations with men.

If social contract is the story of freedom, sexual contract is the story of subjection. The story of sexual contract is to show how sexual difference (whether man or woman and the contraction) as political difference, is central to the civil society (Pateman).

to be continue....


References
"Social Contract Theory," available online on http://www.csus.edu/indiv/g/gaskilld/ethics/sct.htm (03/03/2011)
"Social Contract Theory," available online on http://www.politicalphilosophy.info/socialcontracttheory.html.

Sunday, February 06, 2011

violence against women

0

human rights are women's right

(UN Conferences)

What come on your mind, when somebody ask you about violence against women? have you ever experience?
Did you know that based on UNIFEM data, globally, up to six out of every ten women experience physical and/or sexual violence in their lifetime. A World Health Organization study of 24,000 women in 10 countries found that the prevalence of physical and/or sexual violence by a partner varied from 15 percent in urban Japan to 71 percent in rural Ethiopia, with most areas being in the 30–60 percent range. For more figure around the world, you can click here.

Women are situated on the context of legal pluralism, meaning that a single standard law may not operative.

Sunday, January 30, 2011

Kebun Binatang Minimalis Dusit Zoo

0

Weekend, saatnya jalan-jalan... Meski banyak assignment menanti dan juga buku-buku yang harus dibaca, tapi jalan-jalan tetep jalan terus. Kali ini ke Dusit Zoo, penasaran juga dengan kebun binatang di sini, siapa tau saja menemukan gajah putih, hehehe... 

Dari AIT menuju Dusit Zoo cukup mudah, tinggal menggunakan van dari Thamassat University menuju Victory Monument (30 THB). Dari Victory Monument, bisa menggunakan taxi (70 THB, tergantung kemacetan) atau menggunakan bus no. 28. Biaya masuk untuk foreigner 100 THB (jika menunjukkan kartu mahasiswa mendapatkan diskon 50%, jadi cukup bayar 50 THB).

Tuesday, January 25, 2011

menelusuri kota tua Ayuthaya

0


Di masa lampau, Ayuthaya adalah ibukota Thailand (kerajaan siam), namun kemudian dipindahkan ke Bangkok ketika Siam ditaklukan Myanmar (Burma).

Ada beberapa cara menuju Ayuthaya. Dari AIT bisa ke stasiun Chiang Rak (20 THB), perjalanan ditempuh kurang lebih 1,5 jam. Kereta apinya mengingatkan saya pada kereta api ekonomi di Indonesia. Begitu tiba di stasiun, akan banyak sopir tuktuk yang menawarkan jasanya. Bila anda tidak ingin capek, bisa menggunakan jasa tuktuk, namun tentu saja karena tidak sesuai dengan prinsip ekonomis, kami menolak tawaran sopir tuktuk. Dari stasiun, anda bisa berjalan menuju sungai untuk menyeberang (3-4 THB). selanjutnya bisa menyewa sepeda di cafe yang tidak jauh dari tempat anda berhenti (40 THB). Karenanya, sangat disarankan untuk datang pagi-pagi, rental sepedanya hanya hingga pukul 18.00. Alternatifnya, dari Future Park bisa naik van ke Ayuthaya (maaf tidak tahu bianyanya).

selanjutnya bisa diklik di sini