Tuesday, September 07, 2010

Ada Apa Dengan PNS

1

Bulan-bulan ini adalah musim penerimaan PNS, baik di pusat atau di daerah. Meski banyak dihujat namun peminat PNS tidaklah surut. Melihat hal ini saya jadi berpikir, menjadi PNS adalah orang yang terpilih, bagaimana tidak untuk 1 posisi saja orang harus berebut dengan sekian orang. Itu idealnya, namun terkadang proses berkata lain bukan?

Menjadi teringat cerita seorang teman yang sudah menghabiskan uang sekian juta demi menjadi PNS. Beberapa berhasil dan beberapa tidak. Membaca status seseorang hari ini (biasa FB), seseorang berkomentar kalau dirinya tidak mau mengeluarkan uang sepeser pun untuk menjadi kacung negara. Membaca hal itu saya jadi bertanya sendiri, apakah sedemikian hinanya menjadi PNS? Mungkin PNS memiliki citra negatif di mata sebagian orang. PNS dihujat sekaligus dipuja, mungkin demikian realitas di masyarakat.

Konsekuensi dari bernegara adalah adanya birokrat yang menjadi pelayan negara. Pun demikian terkadang beberapa oknum dari birokrat menyalahgunakan wewenang dan kekuasaannya dan hal inilah yang kemudian membuat citra negatif bagi PNS. Bagaimana tidak karena PNS adalah pelayan masyarakat, maka hal-hal seperti ini dengan mudah menjadi buah bibir. Apalagi uang yang dipakai adalah uang rakyat, sehingga menjadi sangat sensitif.




Mengapa Eropa?

0

Eropa menjadi incaran banyak orang untuk studi, demikian hasil kesimpulan saya setelah berbincang dengan beberapa kawan saya. Saya sendiri masih menyimpan impian untuk dapat melanjutkan studi saya di Perancis.

Magnet Eropa
Eropa memiliki magnet yang menjadi daya tarik bagi banyak orang untuk didatangi. Tidak hanya pengalaman menjejakkan kaki di negeri asing atau mengunjungi tempat tersohor macam Menara Eifel, Pisa atau museum madame tousaud, tetapi juga banyak universitas di Eropa yang sudah tersohor, sebut saja Sorbone, Leiden, Heidelberg atau Oxford.

Mengutip sebuah situs (klik di sini) ada beberapa alasan mengapa belajar di Eropa, yaitu:
- Enhance your career prospects
- Obtain your career prospects
- Obtain an internationally recognized degree
- Expand your horizons
- Gain experience of a different culture
- Make new friends
- Improve your language skills

Cukup menarik bukan, tidak heran jika Eropa menjadi magnet bagi banyak orang untuk belajar. Tidak hanya itu saja, Eropa pun berhasil mencitrakan dirinya sebagai pusat pengetahuan bagaimana tidak sebagian besar negara maju ada di Eropa.

Membaca dan merenungkan hal ini saya menjadi teringat. I'm not turn green with envy, I want to be the objective one. Penghargaan bagi alumni Eropa tentu saja berbeda dengan alumni negara lainnya (moreover jika cuma negara tetangga). Memang selama ini pendidikan kita berkiblat ke barat. Mungkin rasanya seperti bumi dan langit jika melihat pencapaian di sana dan di sini. Ya iyalah secara negara berkembang berkutat dengan masalah kolonialisasi dan baru merdeka tahun berapa.. Sementara negara maju itu sudah lebih settle.

But its okay, selama untuk kemajuan negara kita kenapa enggak?


Saturday, September 04, 2010

Friday, August 20, 2010

Gender and Technology

0

“To talk about women and technology in the same breath seems strange, even incongruous. Technology is powerful, remote, incomprehensible, human, scientific, expensive and –above all – male. What does it have to do with women?"


(Faulkner and Arnold, 1985, p.1)


Do you think that technologies are inherently male? Are technologies have male's face? On the science project we can see the less number of women. May be male dominated the technologies area, but we can see women's contribution in technology innovation (although in a small number).

Thursday, August 19, 2010

jalan-jalan ke pasar Talad Nat

1

Setelah sebelumnya kesasar, gara-gara direction yang salah akhirnya kesampaian juga pergi ke pasar Talad Nat. Pasar ini berada di lingkungan kampus Thamassat dan hanya beroperasi pada hari senin dan kamis malam (iih, kayak puasa aja ya..). Pasar Talad Nat mengingatkan saya pada pasar malam di Indonesia. Ada banyak penjual, dari baju sampai makanan. Sayangnya untuk makanan harus ekstra hati-hati, karena banyak yang tidak halal. Cukup banyak juga pengunjungnya di sana, mungkin karena harga yang ditawarkan relatif murah (benarkah? saya juga nggak tau).

Bersepeda ke pasar Talad Nat dari gate 2 AIT cuma membutuhkan waktu kurang lebih 15 menit (bener nggak ya, soalnya nggak dihitung dengan seksama sih). Di sana saya membeli mangga plus sambelnya yang habis dimakan sepanjang jalan. Kangen banget makan rujak, jadi nemu mangga plus sambelnya membuat saya tergiur.. hmmm, yummy. Harga mangga 10 bath dan sambalnya juga 10 bath.

Untuk bekal sahur, saya membeli semacam telur dadar ditaburi kerang dan udang, ada juga taugenya (berhubung tidak terlalu suka tauge jadi nggak pakai). Untuk memakannya, ada juga saos sambalnya (sayang tidak terlalu pedas, dan seperti saus di sini yang saya temukan yang sudah-sudah, terlalu encer). Rasanya enak juga, dan harganya 35 bath.

Sayangnya ketika saya membeli green tea, rasanya bukan rasa green tea dan terlalu banyak airnya. Hmmm, kecewa juga. Harganya 10 bath.

my new bicycle

0


Finally, I got my bicycle. Yes the red one, you can see the picture. But I am not yet decided her name. Hmm, still thinking about it.

I bought at Big C, future park and the price is 1.690 bath. More expensive than ladies bike that I want (it just 1.250, that's why I want to buy it Cheaper!!). But it's okay... So she will accompany me, my adventure here.

By having that bike, its mean that I should postponed my plan to buy folding bike (may be after I return back to Indonesia (I dun't know when, but I wish soon), I can buy a folding bike). Amien...

Okay.. let's bike for study, hehehe...

Monday, August 16, 2010

paid and unpaid labor, what do u think?

0

The informal slogan of the Decade of Women became “Women do two-thirds of the world’s work, receive 10 percent of the world’s income and own 1 percent of the means of production


Richard H. Robbins, Global Problems and the Culture of Capitalism, (Allyn and Bacon, 1999), p. 354


Berbicara hal ini menjadi teringat perbincangan yang tak disengaja dengan guru kursus bahasa saya. Waktu itu membahas tentang makanan, dan muncul pertanyaan mengapa kebanyakan koki adalah laki-laki. Tanpa berpikir panjang, saya menjawab karena pekerjaan itu dibayar... Perempuan memasak untuk keperluan rumah tangganya (red:keluarganya) namun tidak dibayar (unpaid work), dan kebanyakan untuk pekerjaan yang tidak dibayar (dalam hal ini kerja rumah tangga) memang kebanyakan dikerjakan perempuan. Maaf, mungkin gambarnya kurang sesuai. Tapi berhubung koleksi pribadi dan menggambarkan perempuan yang bekerja di sektor informal, saya pikir tidak ada salahnya untuk dipublish.

Menjadi teringat pula sekolah feminis di salah satu desa di Kuningan, yang beberapa kali saya fasilitasi, rasanya pernah juga membahas tentang masalah ini. Dan hari ini, saya mempelajari tentang paid and unpaid labor in the context of gender and development. Okay, let's explore this case...

Apa sih sebenarnya paid work? Jawabannya tentu saja mudah, pekerjaan yang menghasilkan uang dan berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi suatu negara. Apa itu unpaid work? Ada beberapa pekerjaan yang dapat dikategorikan sebagai unpaid work, yaitu domestic work, informal sector, volunteering work, and subsistence work.







my first day

2

Today is my first day at the campus. Back to campus again, quite interesting isn't it? My first class is about gender and development: principle and concept by Dr. Kyoko. She explained the whole of her class and asked the participants of her class to introduce her/his self and explain why she/he took gender and development.

I am a female and still on the process of being feminist. For me, its quite interesting to study about gender issues. I have a dream to have contribution at gender and development in my country, esp for the better life of women. As the government officer I wish I could contribute by making gender budgeting and pro women policy. Hmm... but you know my obsession? I just wanna live in a remote area. Having interaction with the society esp the women and the child. And doing something with my little hand. Someday...

Then we watched a film titled Impossible Dream. That film told about double burden of women. She did housework and should worked too. She got up earlier than did all of the house work with her daughter. Her husband and her son just sitting and waiting for the food. The male got bigger amount of food rather than the female. Then a day, the wife dreamed... she shared the house work with his husband. It looks nice isn't it? Why it just in her dream? Lets doing something...


Tuesday, August 10, 2010

welcome to land of smile

3

Akhirnya, keinginan saya untuk sekolah lagi tercapai sudah, meski bukan di tempat yang sangat saya harapkan [moi, je voudrais continuer mon etudie a sorbone, may be someday.. Amien]. 

Jum'at lalu surat sakti itu akhirnya datang juga, selalu saja on the last minute. Tapi kalo nggak gitu kayaknya nggak afdol kali ya [secara bikin orang sport jantung dulu]. Padahal visa sudah kelar dari minggu lalu. Untuk mengurus visa pendidikan ke land of smile: download visa form di sini kalau sudah diisi datang ke kedutaannya. Untuk permohonan visa diurus dari jam 09.00 - 15.00 WIB pengambilan visa dilayani 2 hari sesudahnya Pemrosesan visa pendidikan di sana nggak ribet, asal sudah mengantongi visa request dan certificate of admission, dijamin bakal lancar2 aja. Oya untuk mengurus visa pendidikan biaya sebesar USD 65. Akhirnya hari senin datang juga, saya memakai penerbangan Garuda pukul 09.40. Setelah sebelumnya sempet dibikin nervous dengan taksi yang tak kunjung datang akhirnya saya bisa sampai ke bandara tepat waktu. thanx God. Perjalanan dari Jakarta ke Suvarnabhumi kurang lebih 3,5 jam. Begitu saya menginjakkan kaki di Suvarna bhumi, sudah membuat saya terkagum-kagum dengan bagusnya bangunan tersebut. Hmmm, kapan bandara Indonesia bisa seperti ini ya...? Setelah beberapa saat mencari-cari Student Union yang menjemput saya, akhirnya saya menemukan mereka juga... Finnaly. Dengan pd-nya saya bertanya dengan bahasa indonesia kepada seseorang dari Student Union yang menjemput saya. Ternyata dia bukan orang Indonesia, dan menunjukkan wajah bingungnya. Astaga, segera saja saya sadar, dan langsung menggunakan bahasa inggris... hfff...... 

Mengapa Belajar di Thailand? 

Ada beberapa reaksi orang-orang ketika saya bilang saya akan melanjutkan sekolah saya di negeri gajah putih tersebut. Ada yang senang, ada yang biasa saja, dan ada yang mengernyitkan dahi "mengapa di thailand?" Menjadi teringat reaksi beberapa orang untuk golongan yang ketiga. Mereka bertanya mengapa saya tidak melanjutkan ke Australia? Atau berpendapat bahwa pendidikan di Thailand sama halnya dengan di Indonesia. 
Mengapa tidak ke Australia? 
1. karena saya gagal dapat ADS, but it's okay 
2.masih dipikir jawabannya. 

Mengapa tidak singapura? 
1. saya tidak suka singapura (karena beberapa kasus pembuangan sampah ke indonesia atau penambahan wilayahnya yg membuat wilayah indonesia berkurang), dan beberapa hal yang lain meski pendidikan di sana yang paling bagus se Asia Tenggara (katanya). 

Dan mengapa ke thailand? Let me tell you my argument 
1. Thailand adalah satu-satunya di Asia Tenggara yang belum pernah dijajah. Karena alasan itu (is it silly argument? but for me not), saya ingin merasakan atmosfer di sana. 
 2. Thailand dekat dengan negara-negara lain di Asia yang ingin saya kunjungi. Let me mention : Vietnam, Kamboja, Laos.... So, let's go for traveling. Selain itu, tentu saja ada banyak tempat di Thailand yang menarik untuk dikunjungi. 
 3. Kemungkinan implementasi yang lebih besar. Tentu saja karena berada di satu kawasan dengan keadaan yang relatif sama, kemungkinan implementasi lebih besar. Terlebih untuk saya yang belajar ilmu sosial, bukankah lebih baik menggunakan kacamata dari negara berkembang, ketimbang dari negara maju? 
 4. Biaya hidup yang relatif murah. Jika anda berkantong tebal, tentu saja hal ini bukan masalah. Namun bagi saya? yang mendapatkan kucuran dana dari beasiswa tentu saja menjadi hal yang harus diperhitungkan.

Saturday, July 24, 2010

0

Tiap tahunnya, pada tanggal 23 Juli dirayakan hari anak. Pun demikian, catatan buruk keadaan anak indonesia masih saja ditemui. Hal ini tentu saja menimbulkan pertanyaan, apakah perayaan tersebut baru sebatas seremonial belaka? Entahlah.

Dalam perjalanan saya di ibukota, tak jarang saya bertemu dengan anak-anak yang menghabiskan hidupnya di jalan. Tidak jarang pula saya melihat mereka tidur di jembatan penyeberangan. Atau di suatu tempat kumuh di utara jakarta, tempat saya biasa berinteraksi dengan kawan-kawan kecil saya. Mereka tinggal tak jauh dari tumpukan sampah. Rumah berderet rapat dari ujung ke ujung, nyaris tak ada sela. Sungguh ini bukan tempat yang baik untuk tumbuh kembang mereka.