Thursday, June 12, 2008

Pekerja Anak: Antara Hak Anak dan Realitas

3

Dunia anak adalah dunia bermain dan bersukacita. Pun demikian, nyatanya tidak semua anak memiliki kesempatan untuk menikmati dunia anaknya. Ratusan bahkan ribuan anak menjadi pekerja anak, dan beberapa di antara mereka bahkan tercerabut dari dunia anaknya. Hal ini dengan jelas dapat dilihat saat melintasi perempatan jalan-jalan besar di dekat traffic light tampak anak-anak yang hidup di jalanan, mengais sampah dan mengumpulkannya atau dilacurkan.

Persoalan pekerja anak sebenarnya bukanlah fenomena baru. Di negara-negara industri, pekerja anak telah muncul sejak abad XIX. Sementara itu, di Indonesia pekerja anak di sektor industri muncul pada abad XX saat kolonialisme Belanda, di mana anak-anak bekerja di sektor perkebunan dan industri gula. Pun demikian bisa jadi pekerja anak sudah ada jauh sebelum masa itu, apalagi bila dikaitkan dengan sektor industri seks komersial, di mana pelacuran merupan industri yang tertua. Dan bisa jadi anak perempuan telah masuk dalam industri seks komersial pada masa itu.
Mengemukanya wacana tentang pekerja anak tidak lepas dari perkembangan wacana tentang Hak Asasi Manusia, dalam hal ini adalah Hak Anak. Perhatian terhadap persoalan pekerja anak ini tidak hanya dalam tataran nasional, namun juga internasional. Bahkan dalam level internasional, tanggal 12 Juni dijadikan sebagai hari dunia menentang pekerja anak.

Pekerja anak dapat dipahami sebagai anak-anak yang masuk dalam dunia kerja, baik sektor formal maupun informal atau anak yang dipaksa bekerja. Anak ini sendiri adalah setiap orang yang berusia di bawah 18 tahun, sebagaimana yang terdapat dalam Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Dalam Konvensi Hak Anak (KHA), istilah anak yang bekerja atau anak yang terpaksa tidak digunakan, yang ada adalah eksploitasi ekonomi terhadap anak (pasal 32). Dalam kasus ini, anak harus dianggap sebagai korban, bukan pelaku yang secara sadar memilih untuk bekerja. Anak bukanlah orang dewasa, sehingga pilihan yang dibuat oleh anak tidak bisa disamakan dengan pilihan yang dibuat oleh orang dewasa. Anak belum memiliki kedewasaan sebagaimana orang dewasa, karena itu anak dianggap tidak bisa memahami akibat dari pekerjaan yang dia lakukan.

Pekerja anak dipandang sebagai bentuk pengingkaran terhadap hak anak. Dalam Konvensi Hak Anak, terdapat empat hak dasar anak, yaitu hak hidup, perlindungan, tumbuh kembang dan partisipasi. Pekerja anak dapat dilihat sebagai pelanggaran terhadap hak tumbuh kembang anak. Hak tumbuh kembang di sini artinya anak memiliki hak untuk dapat tumbuh dan berkembang dengan baik, baik secara fisik maupun psikis. Adalah tugas orang dewasa untuk memastikan anak dapat tumbuh dan berkembang dengan baik.
Umumnya, anak yang dipekerjakan akan kehilangan waktunya untuk bermain atau bersekolah. Hal tersebut tentu saja akan mempengaruhi proses tumbuh kembang anak. Lebih jauh lagi, anak yang bekerja rentan terhadap eksploitasi terhadap dirinya, misalnya eksploitasi ekonomi, fisik maupun seksual. Oleh karenanya, orang yang mempekerjakan anak dapat dianggap mengambil keuntungan secara sepihak dari pekerjaan yang dilakukan oleh anak.

Pun demikian, masih terdapat tarik ulur berkaitan dengan persoalan pekerja anak dan hak anak. Di satu sisi, pekerja anak dilihat sebagai ’bakti’ anak terhadap orang tuanya. Ini terlihat dari adanya pekerja anak yang tak dibayar, karena membantu orang tuanya. Atau anak yang bekerja karena ingin membantu orang tuanya. Ini tentu saja terkait dengan budaya yang berkembang di negara ini, dimana kewajiban anak adalah berbakti pada orang tuanya. Oleh karenanya, cukup sulit untuk menghapuskan pekerja anak. Di sisi lain, terdapat pendapat bahwa pekerja anak harus dihapuskan, karena pekerja anak adalah hal yang tidak bisa ditolerir karena melanggar hak anak. Sementara itu, anggapan lain, karena sulit untuk menghapuskan pekerja anak maka yang bisa dilakukan adalah meminimalkan pekerja anak. Yang dimaksud di sini adalah yang harus dihapuskan adalah pekerja anak di sektor-sektor berbahaya bagi anak. Sektor-sektor berbahaya bagi anak adalah sektor-sektor yang menjadi bentuk-bentuk pekerjaan terburuk bagi anak. Dikatakan terburuk, karena lingkungan dan kondisi kerjanya tidak baik untuk perkembangan anak. Pun demikian, sektor-sektor berbahaya inipun juga masih menjadi perdebatan.

Berdasarkan Keppres RI No. 59 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional (RAN) Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak sesuai dengan Konvensi ILO No. 182 adalah: segala bentuk perbudakan atau praktek sejenis perbudakan (penjualan dab perdagangan), ijon, penghambaan dan kerja paksa; pelacuran produksi pornografi atau pertunjukkan porno; untuk kegiatan terlarang, terutama produksi dan perdagangan obat; serta pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan atau moral anak-anak. Sementara itu, menurut Undang Undang No. 1 Tahun 2002, ada 13 jenis pekerjaan terburuk bagi anak, yaitu: anak-anak yang dilacurkan; anak-anak yang bekerja di pertambangan; penyelam mutiara; di sektor konstruksi; jermal (sektor perikanan lepas pantai); pemulung sampah; produksi dan kegiatan yang memakai bahan peledak; bekerja di jalan; pekerja rumah tangga anak; industri rumah tangga; perkebunan; penebangan, pengolahan dan pengangkutan kayu; serta industri dan jenis kegiatan yang memakai bahan kimia berbahaya.

Berdasarkan data Sakernas tahun 2003, jumlah pekerja anak di bawah 15 tahun mencapai 556.526 orang. Jumlah pekerja anak sesungguhnya tentunya lebih besar, karena yang termasuk pekerja anak, sesuai dengan Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan adalah yang berusia di bawah 18 tahun. Angka tersebut saat ini bisa jadi lebih banyak, karena anak-anak banyak yang bekerja di sektor informal sehingga keberadaannya tidak bisa dihitung dengan pasti. Misalnya saja anak yang bekerja di sektor industri seks komersial. Menurut Departemen Sosial (2000) dari 40.000-70.000 perempuan yang dilacurkan dari tahun 1997 sampai dengan 2000, 30%nya adalah anak-anak. Angka ini tentu saja merupakan fenomena gunung es (iceberg phenomenon). Artinya angka yang ada tidak mencerminkan realitas sesungguhnya di lapangan.
Menurut Undang Undang Ketenagakerjaan, anak-anak dapat dipekerjakan dengan syarat mendapatkan izin dari orang tua dan bekerja maksimum tiga jam seharinya. Pun demikian hal ini sangat sulit untuk dipenuhi. Secara logika, tidak ada perusahaan atau orang yang mau mempekerjakan selama 3 jam seharinya. Akibatnya, penerapan Undang Undang ini tidak dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya.

Umumnya, anak dipekerjakan karena anak relatif lebih menurut dibanding orang dewasa. Akibatnya, anak relatif tidak banyak protes ketika menghadapi ketidakadilah yang dialaminya. Ini tentu saja tidak lepas dari hubungan ordinat-subordinat antara orang dewasa dengan anak. Selain itu, upah buruh anak lebih kecil dibandingkan dengan upah orang dewasa, sehingga bisa memperkecil biaya produksi. Posisi rentan yang dimiliki anak kemudian dimanfaatkan untuk mengambil keuntungan darinya.

Berdasarkan pemaparan di atas, dapat dikatakan bahwa kemiskinan menjadi salah satu penyebab adanya pekerja anak. Tingginya harga kebutuhan pokok yang menyebabkan ekonomi rumah tangga membutuhkan banyak uang, kemudian mendorong anak untuk masuk ke dunia kerja atau menjadi pekerja anak. Melihat situasi saat ini dimana kenaikan harga BBM kemudian diikuti dengan naiknya harga-harga kebutuhan pokok, bisa jadi ikut menyebabkan naiknya jumlah pekerja anak. Selain itu, dikenalnya konsep uang pada anak, akan membuat anak berusaha untuk mendapatkannya dan menganggap kerja lebih baik daripada sekolah. Dikenalnya konsep uang, disertai dengan terpaan yang kontinue dari media massa (terutama elektronik) kemudian menyebabkan adanya budaya konsumtif. Dengan uang dapat membeli barang yang diinginkan, sehingga muncul keinginan untuk memperoleh uang. Sementara itu, dari segi permintaan, tentu saja tidak lepas dari keinginan untuk mendapatkan gaji buruh yang murah sehingga dapat meningkatkan produktivitas usaha.

Jika melihat kondisi Indonesia saat ini, di mana budaya patriarki masih berakar kuat, maka anak-anak yang membutuhkan perlindungan khusus akan bertambah banyak. Termasuk juga dengan jumlah pekerja anak. Budaya patriarki akan menempatkan anak berada dalam posisi ordinat, sehingga rentan untuk dieksploitasi. Selain itu, anak dianggap sebagai hak milik (property) orang tua sehingga orang tua dapat melakukan apa saja terhadap anak, tanpa melihat hal yang terbaik bagi anak.
Berkaitan dengan masalah pekerja anak, pemerintah telah mengeluarkan Undang Undang Perlindungan Anak, meratifikasi Konvensi Hak Anak, Konvensi ILO tentang Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk Bagi Anak, RAN Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak, dan sebagainya. Pun demikian upaya ini juga harus dilanjutkan dengan action di lapangan. Perlu ada komitmen yang serius dari pemerintah untuk melindungi pekerja anak, baik di sektor formal atau informal sembari berupaya untuk meminimalkan angka pekerja anak. Upaya tersebut terkait pula dengan kebijakan di sektor pendidikan, dengan mengganggrakan lebih banyak lagi untuk sektor pendidikan. Pendidikan sejatinya dapat menghindarkan anak untuk bekerja. Selain itu, regulasi tentang perlindungan anak sudah seharusnya dibuat oleh pemerintah daerah, bahkan pemerintah desa yang nantinya diikuti dengan implementasi yang berpihak pada anak.
Persoalan anak sudah seharusnya menjadi persoalan bersama bangsa yang menjadi komitmen dan prioritas, mengingat anak adalah generasi penerus bangsa. Penyadaran dan sosialisasi terhadap masyarakat dan keluarga juga harus terus dilakukan, sehingga dapat menjadi bagian dalam upaya perlindungan terhadap anak. Bukankah sudah menjadi tanggung jawab orang dewasa untuk memastikan lingkungan yang baik untuk tumbuh kembang anak?

Sunday, May 18, 2008

Kartini,Perempuan Menulis

1

21 April 1879, bayi Kartini lahir, kelak hari lahirnya ini diperingati sebagai bentuk penghargaan terhadap jasa-jasa Kartini. Berbagai perlombaan dan kegiatan kemudian diselenggarakan untuk mengenangnya. Maklum, Kartini tidak bisa dilepaskan dalam sejarah Indonesia dan sejarah gerakan perempuan di tanah air. Ironisnya kegiatan yang dilakukan umumnya lebih pada lomba memasak, merangkai bunga, paduan suara dan kegiatan lain yang lebih menekankan pada peran gender yang diberikan kepada perempuan. Hal yang sebenarnya mereduksi nilai perjuangan Kartini.

Di Indonesia sebenarnya terdapat sejumlah pahlawan perempuan. Sebut saja Cut Nyak Dien, Cut Meutia, Dewi Sartika, Christina Marthatiahahu, Nyi Ageng Serang, Roehana Kudus, Maria Walanda Maramis dan sebagainya. Namun Kartini tampaknya yang paling populer. Sebagaimana dalam syair lagu Ibu Kita Kartini karya WR. Supratman, nama Kartini begitu harum dan banyak diabadikan sebagai nama sekolah.

Meskipun Kartini disebut-sebut sebagai pahlawan emansipasi perempuan, namun Kartini tidak lepas dari kontroversi. Misalnya pandangan bahwa Kartini terlalu javacentris, kurang bisa merepresentasikan perjuangan perempuan di luar Jawa. Atau bagaimana Kartini akhirnya ikut dalam lingkaran poligami. Terlepas dari itu, perjuangan Kartini patut untuk dikenang dan diteladani. Ini terlihat dari pemikiran Kartini mengenai persamaan gender dan kesetaraan hak antara laki-laki dan perempuan yang banyak tertulis dalam surat-suratnya.

Pemikiran Kartini selanjutnya banyak menginspirasi perempuan lain, dan juga gerakan perempuan di Indonesia. Tulisannya bahkan dikutip oleh Eleanor Roosevelt dalam pidatonya di depan Komisi Hak Asasi Manusia PBB dalam rangka menelurkan Piagam Hak Asasi Manusia Sedunia, tanpa diedit! Gerakan emansipasi perempuan di negeri ini pun bisa dikenal dunia karena tulisan-tulisan Kartini.

Yang membedakan antara Kartini dengan pahlawan perempuan lainnya, adalah kebiasaannya menulis. Kartini adalah contoh perempuan menulis, suatu hal yang jarang dijumpai pada perempuan di masa itu.

Adalah suatu keuntungan bagi Kartini karena terlahir dalam keluarga bangsawan (meskipun Kartini bukan anak yang terlahir dari permaisuri ayahnya) sehingga Kartini bisa mengenyam pendidikan dan kemudian melakukan korespondensi dengan teman-temannya di Belanda. Meskipun Kartini tidak dapat melanjutkan sekolah setelah tamat dari ELS/ Europese Lagere School, namun masih bisa belajar melalui guru privatnya serta membaca berbagai macam buku. Dari buku-buku ini, Kartini berkenalan dengan feminisme, yang kemudian banyak berpengaruh terhadap pemikirannya. Kedudukan social yang dimiliki Kartini ini juga tidak lantas menjauhkannya dengan realitas masyarakat (terutama perempuan) yang ada di sekitarnya.

Keistimewaan yang dimiliki Kartini tersebut, tentu saja tidak bisa didapatkan oleh perempuan lain dari golongan rakyat biasa. Pun demikian, diskriminasi dialami oleh perempuan, apapun itu statusnya. Meskipun untuk perempuan dari kalangan biasa lebih mampu merasakan kebebasan lebih dari perempuan dari golongan bangsawan. Dan ketimpangan gender ini sendiri masih berlanjut hingga saat ini, meskipun dalam bentuk yang berbeda.

Membaca Kartini adalah membaca sejarah perempuan. Melalui tulisan Kartini sejarah perempuan tercatatkan. Segala pemikiran Kartini dan juga pengamatannya mengenai kehidupan pribumi dan perempuan dapat dilihat dari surat-suratnya. Tulisan tangan Kartini ini hidup lebih panjang disbanding usia penulisnya.

Melalui tulisan-tulisan Kartini, pemikiran dan keadaan perempuan terbukukan dalam sejarah. Ini adalah sumbangan yang sangat besar bagi gerakan perempuan, serta menunjukkan betapa pentingnya budaya menulis, karena melalui menulis, sejarah perempuan tercatatkan. Jika selama ini, sejarah perempuan kurang tercatatkan dalam sejarah nasional bangsa, adalah karena sedikit perempuan yang menulis pada masa itu. Baik sejarah dunia ataupun sejarah nasional tampaknya masih menjadi wilayah laki-laki. Bila dilihat, sejarah jarang mengisahkan tentang perempuan (sepak terjang perempuan kurang/ jarang terekam dalam sejarah).

Menulis tidak sekedar menulis. Melalui menulis, perempuan dapat menuliskan pengalamannya menjadi perempuan. Lewat proses ini, perempuan akan menemu-kenali persoalan yang dihadapinya. Menulis akan membawa pada proses observasi, sehingga dapat lebih memaknai berbagai realitas yang dialami oleh perempuan. Misalnya saja mengenai adanya ketidakadilan gender, yang telah membuat perempuan berada dalam posisi subordinat dan menjadi korban kekerasan. Akibatnya, lambat laun kesadaran kritis perempuan bisa dimunculkan. Jadi proses pemberdayaan perempuan tidak bisa dilepaskan dari upaya untuk mengembangkan kebiasaan perempuan untuk menulis.

Menulis adalah pembebasan dari segala kungkungan yang ada di masyarakat karena melalui menulis, segala pemikiran akan lebih bisa tertuang. Ini terlihat pula dalam surat yang ditulis oleh Kartini:
"Aku juga musuh formalitas. Apa peduliku soal peraturan-peraturan adat? Aku gembira sekali akhirnya dapat mengoyak peraturan adat Jawa yang konyol itu saat berbincang denganmu dalam tulisanku ini. Adat peraturan ini dibuat oleh manusia, bagiku itu menjijikkan."
Dari tulisan tersebut, kita bisa melihat Kartini mengungkapkan kebebasannya melalui tulisannya, meskipun dalam kenyataannya Kartini tidak bisa melepaskan diri dari aturan-aturan konservatif yang membelenggunya. Tulisan-tulisan Kartini ini mencerminkan cita-cita dan impiannya.

Berbicara tentang perempuan menulis, saat ini telah banyak bermunculan penulis-penulis perempuan. Sebut saja Djenar Mahesa Ayu, Dewi Lestari, Ayu Utami, atau Fira Basuki. Tulisan-tulisan penulis perempuan itu Nampak menghiasi di berbagai toko buku. Fenomena ini menunjukkan peningkatan melek huruf dan intelektualitas perempuan. Beberapa dari penulis perempuan tersebut membawa misi tersendiri, misalnya menyebarkan wacana tentang ketidakadilan yang ada di dunia perempuan serta perspektif kesetaraan dan kemanusiaan yang sudah seharusnya ada dalam kehidupan.

Meski demikian, menulis masih belum menjadi kebiasaan perempuan. Hal ini masih diperparah dengan masih rendahnya tingkat pendidikan untuk anak perempuan. Selain itu, beban pekerjaan rumah tangga acapkali dijadikan alasan untuk tidak menulis. Padahal sekecil apapun pengalaman akan lebih baik jika dituliskan. Tulisan ini selanjutnhya akan menjadi bahan pembelajaran di masa depan. Tidak hanya untuk diri sendiri, namun juga untuk anak cucu kita.

Kartini barangkali adalah perempuan yang berpikir melampaui masanya. Bagaimana tidak, pemikiran-pemikiran mengenai kebebasan, persamaan serta pengamatan yang tajam tersebut lahir dari pemikiran seorang anak perempuan berusia 14 tahun. Hal ini tentu saja terkait dengan adanya refleksi kritis yang telah terjadi dalam pemikiran Kartini. Jika kita bandingkan dengan anak muda (baca perempuan) sekarang, dimana sehari-harinya banyak mendapat terpaan budaya konsumerisme dan hedonisme melalui media, apakah kesadaran kritisnya dapat terbangun? Membaca mengalami reduksi makna menjadi membaca majalah, iklan dan sebagainya, sementara menulis menjadi hanya sekedar menulis tugas kuliah, atau menyalin catatan.

Memaknai Kartini, sebagaimana dalam peringatan Hari Kartini, tentu saja tidak sekedar peringatan yang bersifat ragawi. Peringatan hari Kartini seharusnya lebih dari itu yaitu memaknai pemikiran Kartini dan caranya berjuang melalui tulisan. Sehingga tidak memperkecil perjuangan yang telah dilakukan oleh Kartini. Kartini-kartini lain sudah waktunya untuk lahir dan bangkit, karena perjuangan belum selesai. Sebagaimana kata-kata Kartini, "Hidup ini patut kita hayati! Bagaimana kita mau menang kalau kita tidak berjuang lebih dahulu?" Dan perempuan, menulislah…

Saturday, April 12, 2008

Membangun Mutual Trust Masyarakat

1

Secara astronomis, Indonesia terletak di 6LU - 11LS dan 95BT-141BB serta berada di antara 2 benua dan 2 samudera, yaitu benua Asia dan Australia, serta samudera Hindia dan Pasifik. Dengan luas wilayah kurang lebih 1, 8 mil persegi, Indonesia terdiri dari lebih dari 17.000 pulau, baik besar ataupun kecil. Kebhinekaan Indonesia adalah sebuah keniscayaan, di mana Indonesia memiliki keragaman, baik dari segi etnis, suku, agama, budaya dan bahasa di tingkat lokal. Dengan realitas tersebut, Indonesia memiliki pluralitas tertinggi di dunia, di mana penduduknya berjumlah sekitar 212 juta orang, yang terdiri dari kurang lebih 540 suku bangsa dengan adat istiadat, bahasa, kesenian dan kepercayaan yang beraneka ragam. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia dengan kompleks kebudayaannya masing-masing adalah plural (jamak) sekaligus homogen. Pluralitas di sini dapat dipahami sebagai sebuah kejamakan di mana berbagai sub kelompok masyarakat di Indonesia tidak bisa disatukan dan berbeda satu sama lain. Selanjutnya, kelompok-kelompok suku-suku bangsa ini sebagian besar bermukim secara berdampingan satu sama lain tanpa adanya batas-batas khusus untuk masing-masing etnis, agama dan pelapisan sosial. Interaksi antar kelompok ini sangat rentan terhadap timbulnya konflik, mengingat mereka berasal dari latar belakang yang berbeda.

Berdasarkan hal tersebut, dapat dilihat tingginya keberagaman di Indonesia. Keberagaman di satu sisi merupakan kekayaan yang dimiliki oleh suatu bangsa. Pun demikian di sisi yang lain keberagaman berpotensi untuk memicu terjadinya konflik. Oleh karenanya, dalam masyarakat yang relatif homogen, konflik relatif jarang ditemui, sehingga integrasi nasional lebih mudah dicapai. Dalam konteks Indonesia, dimana Negara ini dibentuk dalam perbedaan dan keragaman, maka perbedaan dalam berbagai aspek kehidupan sudah seharusnya menumbuhkan kesadaran untuk hidup bersama yang dilandasi oleh sikap mutual trust (saling percaya).

Perbedaan kultur dan identitas di Indonesia yang cukup luas telah menyebabkan terjadinya konflik yang mengancam terjadinya disintegrasi bangsa. Konflik ini tampak di beberapa daerah, seperti Poso, Ambon, dan Tuban. Sementara itu, prasangka terhadap ‘orang luar’ dan fanatisme terhadap daerah saat ini nampak makin berkembang di masyarakat. Hal tersebut masih ditambah dengan konflik internal yang terjadi dalam agama, seperti serbuan terhadap (sempalan agama) jamaah Ahmadiyah, kasus Yusman Roy, Lia Eden, dan Jaringan Islam Liberal (JIL). Fenomena ini tentu saja memicu ketegangan dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang beragam, dan lebih jauh lagi mengarah pada disintegrasi bangsa.
Adanya konflik yang terjadi dalam masyarakat menunjukkan rendahnya mutual trust (saling percaya). Rasa saling tidak percaya menyebabkan meningkatnya prasangka terhadap kelompok lain, sehingga masyarakat menjadi rentan untuk berkonflik. Masyarakat yang memiliki mutual trust, lebih mudah bekerja sama, sehingga saling bersinergi dalam membangun bangsa. Oleh karena itu, dalam konteks Indonesia yang memiliki keberagaman yang cukup tinggi, mutual trust masyarakat harus ditingkatkan sehingga masyarakat yang ber-bhineka tunggal ika, sebagaimana yang dicita-citakan bersama, dapat dicapai.

Berkaitan dengan upaya untuk membangun masyarakat yang memiliki mutual trust, tidak bisa dilepaskan dari faktor kepemimpinan. Kepemimpinan dalam masyarakat ikut mendorong dalam terciptanya masyarakat yang memiliki rasa saling percaya. Oleh karenanya, menarik untuk dilihat bagaimana membangun kepemimpinan dalam upaya membangun masyarakat yang memiliki mutual trust. Mengingat Indonesia memiliki tingkat keberagaman yang tinggi, sehingga mutual trust dalam masyarakat merupakan suatu hal yang harus dibangun.

Mutual Trust, Social Capital dan Civil Society
Rasa percaya (trust) merupakan salah satu elemen penting dalam berhasilnya resolusi konflik (termasuk negosiasi dan mediasi). Rasa saling percaya ini berkaitan dengan meningkatnya kerjasama, berbagi informasi dan penyelesaian masalah. Menurut Rousseau, trust didefinisikan sebagai

“… a psychological state comprising the intention to accept vulnerability based upon positive expectation of the intentions or behaviour of another”

Jadi, trust merupakan sebuah kondisi psikologi dimana terdapat kemauan untuk menerima secara terbuka berdasarkan pengharapan positif atas tujuan dan tindakan dari pihak yang lain. Ini artinya, tanpa adanya rasa percaya, masyarakat akan berada dalam kondisi yang penuh konflik. Konflik menurut Simon Fisher (2001), adalah hubungan antara dua pihak atau (individu dan kelompok) yang memiliki atau merasa memiliki sasaran-sasaran yang tidak sejalan. Ini artinya konflik terjadi karena tidak adanya kesepahaman antara pihak yang berkonflik. Kesepahaman sendiri dapat dicapai jika masing-masing pihak saling percaya satu sama lain, sehingga proses komunikasi yang terjadi antara keduanya dapat berlangsung dengan baik. Rasa saling percaya ini kemudian akan mengikat masyarakat, sehingga konflik lebih bisa diminimalkan.
Kepercayaan merupakan pengikat dalam masyarakat. Dalam masyarakat multietnik, kepercayaan lebih mudah berkembang dalam masyarakat dengan etnis yang sama daripada lintas etnik. Ikatan kepercayaan ini sendiri adalah sesuatu yang tidak terucap dan tidak tertulis. Trust merupakan pengikat antar anggota masyarakat untuk saling bekerjasama membangun sebuah masyarakat yang unggul. Kepercayaan ini memungkinkan orang untuk mengorganisasikan diri mereka ke dalam sebuah institusi yang inovatif. Menurut Fukuyama, trust dianggap sebagai sebuah mediator untuk terbentuknya institusi yang efektif. Hal ini tentu saja dapat diaplikasikan dalam sebuah institusi yang besar, yakni negara.

Konsep mengenai trust, dapat dipahami dari teori psikologi, di mana trust dapat diterangkan melalui teori berikut ini:
a.Equity Theory
Dalam teori ini, hubungan antar manusia didasarkan pada prinsip tukar menukar antar input dan output. Input adalah hal-hal yang diberikan pada orang lain dalam sebuah transaksi, sedangkan output adalah hal-hal yang diperoleh dari sebuah transaksi. Dengan asumsi bahwa input yang diberikan adalah trust, maka pihak yang memberikan trust juga mengharapkan trust yang seimbang besarnya dengan yang dia berikan.
Bila input yang diberikan tidak sesuai dengan output yang didapatkan maka akan terjadi upaya untuk mengembalikan situasi yang in-equatable menjadi equatable. Misalnya dengan melakukan tindka kekerasan yang merugikan pihak lain yang telah menyalahgunakan trust yang diberikan.
b.Self Theory
Trust merupakan hasil dari sebuah interaksi mutual. Artinya, bila satu pihak memperlakukan pihak lain dengan cara yang tidak trustful, maka sifat yang sama akan dilakukan oleh pihak yang lain. Hal semacam ini disebut self-fulfilling prophecy, yaitu harapan seseorang tentang sikap dan perilaku terhadap pihak lain yang akan diwujudkan oleh pihak tersebut dalam kenyataan sesuai dengan harapan orang tersebut.
c.Possitive-negative Bank Accout
Perilaku yang baik, misalnya kepedulian, empati, menolong orang lain adalah perilaku yang menyenangkan orang lain. Menanamkan kepercayaan terhadap orang lain, termasuk dalam salah satu bentuk perilaku yang menyenangkan bagi orang lain. Makin banyak seseorang memberikan perilaku yang demikian terhadap orang lain, maka tabungan emosi yang positif akan semakin besar. Namun apabila perilaku yang ditunjukkan adalah yang sebaliknya, seperti perilaku yang menyinggung perasaan orang lain, menghina atau tidak percaya, maka akan membuat orang lain tidak senang. Akibatnya jika perilaku tersebut semakin banyak dilakukan, maka tabungan emosi yang negatif akan semakin besar.

Bila seseorang menggunakan tabungan emosi yang positif dalam berinterkasi dengan orang lain, maka orang lain akan membayarnya dnegan tabungan emosi yang positif pula. Hubungan yang terbentuk adalah hubungan win-win (sama-sama menang). Namun apabila tabungan emosi negatif yang diberikan, maka hubungan yang terjadi adalah hubungan win-lose (menang kalah), yang kemudian dibalas menjadi hubungan lose-lose (kalah-kalah).


Menurut James Colaman, trust merupakan aset dalam menciptakan modal sosial, di mana modal sosial (social capital) adalah kemampuan masyarakat untuk bekerja bersama-sama demi mencapai tujuan-tujuan bersama di dalam berbagai kelompok dan organisasi. Kesepakatan tersebut menyababkan setiap orang melaksanakan kewajibannya masing-masing secara bebas tanpa perlu diawasi, karena satu sama lain menaruh kepercayaan bahwa setiap orang akan melaksanakan kewajibannya. Kondisi ini disebut mutual trust (saling percaya), karena masing-masing orang berusaha untuk mengemban amanah. Berdasarkan hal tersebut, trust merupakan motor penggerak dalam membangun institusi yang efektif. Hal ini tidak saja dipahami dalam sebuah organisasi atau lembaga kecil, namun juga dalam konteks yang lebih luas, yakni Negara.

Modal sosial merupakan fenomena yang tumbuh dari bawah. Ini dikarenakan modal sosial berasal dari orang-orang yang membentuk koneksi sosial dan network yang didasarkan pada prinsip kepercayaan (trust), mutual reciprocity, dan norma tingkah laku. Menurut Robert Putnam (Syahyuti, Social Capital, dalam http://209.85.175.104/search?q=cache:vg_PUmDDz5IJ:www.geocities.com/syahyuti/social_capital.pdf+mutual+trust,+fukuyama&hl=id&ct=clnk&cd=25&gl=id), terdapat 3 elemen utama modal sosial, yaitu rasa saling percaya, norma yang disepakati dan ditaati, serta jaringan sosial. Rasa saling percaya di sini artinya interaksi yang terjadi didasarkan atas perasaan yakin bahwa orang lain akan memberi respon sebagaimana yang diharapkan, saling mendukung dan tidak bermaksud menyakiti. Sementara itu, norma sosial menyediakan adanya kontrol sosial yang efektif, yang menjadi panduan bagi masyarakat untuk menentukan pola perilaku yang diharapkan dari orang-orang dalam suatu masyarakat, yaitu perilaku-perilaku yang dinilai baik di masyarakat. Jika social norm ini rendah, maka kerjasama dalam masyarakat dapat berlangsung dalam sistem hukum dan regulasi yang formal. Modal sosial memerlukan social networks (networks of civic engagement)¬, yaitu ikatan/ jaringan sosial yang ada dalam masyarakat serta norma yang mendorong produktivitas komunitas.

Dalam masyarakat yang heterogen, yang memiliki kehidupan lintas etnis dan agama di mana masing-masing memiliki norma, nilai dan hukum dalam menata kehidupan sosial dan budayanya yang berbeda satu sama lain. Keutuhan dan persatuan dalam konteks tersebut, dapat tercipta jika masyarakat secara sadar dan rela dapat melatenkan atau memodifikasi norma, nilai, hukum baru sebagai pengganti hal yang bertentangan tersebut.


Social Capital
merupakan bahan baku utama dalam terciptanya civil society. Konsep pluralisme merupakan prasyarat tegaknya civil society. Civil Society dapat dipahami sebagai masyarakat yang memiliki komponen sebagai berikut (Budiono Kusumohamidjojo, Kebhinekaan Masyarakat di Indonesia: Suatu Problematik Filsafat Kebudayaan, 2000, Jakarta: Grasindo, hal 151):
1.Pluralitas, yang terdiri dari kelompok-kelompok informal dan perhimpunan-perhimpunan sukarela yang kejamakannya memungkinkan keanekaan dalam cara hidup.
2.Publisitas yang terjalin dari lembaga kebudayaan dan komunikasi
3.Privacy yang merupakan domain yang memungkinkan pengembangan pribadi dan pilihan-pilihan moral.
4.Legalitas yang mencakup struktur hukum umum dan hak-hak asasi yang diperlukan untuk mendemarkasi kejamakan, privacy dan publisitas dari negara maupun perekonomian.

Mutual Trust di Indonesia
Keberagaman masyarakat, di masa Orde Baru disikapi pemerintah dengan melakukan penyeragaman. Dengan melakukan penyeragaman, identitas masyarakat yang memang berbeda-beda dilebur menjadi satu. Akibatnya, masyarakat dipaksa untuk menggunakan satu corak dalam keragaman mereka.
Penyeragaman tersebut telah memberangus demokrasi dalam masyarakat dan melumpuhkan kepemimpinan lokal dalam masyarakat. Atas nama persatuan dan kesatuan bangsa, hak-hak dan kebebasan masyarakat ditekan dan tidak jarang pemerintah menggunakan dalih untuk stabilitas negara. Oleh karenanya di masa Orde Baru, adanya konflik di masyarakat relatif tidak terdengar. Keutuhan warga antar etnis, agama dan pelapisan sosial lainnya nampak kokoh.

Akibatnya mutual trust mengalami kemerosatan di masa Orde Baru, dimana hak-hak sipil dan politik masyarakat dibatasi dan dibangunlah ideologi SARA untuk mengendalikan pluralisme masyarakat. Negara memiliki peran yang dominan dalam berbagai segi kehidupan dan kemampuan masyarakat dalam menciptakan kehidupan bermayarakat yang demokratis pun memudar. Gangguan-gangguan yang dianggap membahayakan persatuan bangsa ditindak dengan pendekatan militer. Di masa ini, akibat dari penyeragaman tersebut, budaya lokal kurang berkembang dan pertumbuhan kepemimpinan lokal pun juga terhambat. Akibatnya modal sosial dan public trust semakin lemah. Hal inilah yang melatarbelakangi mengapa di era reformasi konflik di masyarakat demikian sering terjadi.

Di masa reformasi, pintu kebebasan dibuka lebar-lebar dan isu demokrasi berkembang di masyarakat. Kemudian berbagai konflik, baik vertikal maupun horizontal, mencuat dan banyak diberitakan di media massa. Hal ini tentu saja berbeda dengan di masa sebelumnya (Orde Baru) di mana adanya konflik cenderung ditutup-tutupi. Pada masa ini, muncul berbagai kerusuhan dalam eskalasi yang besar di berbagai wilayah.
Di era reformasi, yang terlihat adalah penguatan etnosentrisme atau identitas kelompoknya. Hal ini kemudian menyebabkan berkembangnya konflik-konflik komunial. Konflik ini dapat dilihat misalnya dalam pertikaian etnis di Madura, Makasar, Banten, Dayak-Melayu (Kalimantan Barat), dan suku-suku di Papua. Konflik yang terjadi tidak saja bernuansakan perbedaan etnis, namun juga agama, dan sebagainnya. Tidak jarang terjadi konflik yang mengatasnamakan agama, misalnya konflik Poso, Ambon, juga kejadian yang dialami penganut ajaran sempalan seperti Ahmadiyah, Lia Eden, dan sebagainya. Ini artinya agama yang seharusnya menjadi pengayom di masyarakat malah justru jadi pemicu konflik, padahal tidak ada satu agamapun yang menyerukan permusuhan atau kekerasan.

Berkaitan dengan konflik horizontal ini, menurut Taufik Abdullah, terdapat 3 tahap konflik komunal, dan ini tentu saja membahayakan integrasi nasional. Tahap pertama bersifat sosio-ekonomis, misalnya keberhasilan orang Bugis Makasar, pasti ada pihak yang merasa jengkel. Konflik ini kemudian meningkat ke tahap kedua, ketika konflik tersebut kemudian diterjemahkan dalam bahasa agama. Pada tahap ini, konflik sudah dalam tingkat yang berbahaya, karena menyangkut lebih banyak simbol yang dianggap sebagai bagian dari diri masyarakat. Misalnya, saat ada masjid yang dibakar, hal ini tentu saja akan membuat orang Islam marah. Konflik ini dengan mudah akan meningkat ke tahap ketiga, yaitu tahap dendam. Ini terjadi ketika dalam masjid yang dibakar tersebut, ayah dan ibu dari seseorang tengah bersembunyi di sana. Maka orang tersebut akan sulit memaafkan orang yang telah membunuh kedua orang tuanya. Konflik komunal pada tahap ketiga ini akan memakan banyak korban dan penyelesaiannya memerlukan waktu yang cukup lama.

Banyaknya konflik yang terjadi di Indonesia menunjukkan rendah dan goyahnya mutual trust di masyarakat. Apabila dicermati, yang ada dalam masyarakat adalah berkembangnya rasa curiga, prasangka dan stereotyope. Apabila ditinjau dari konsep trust, sebagaimana yang telah dipaparkan sebelumnya, perilaku saling curiga, prasangka dan stereotype negative akan dibalas dengan tindakan serupa oleh pihak yang lain. Tidak adanya rasa saling percaya (mutual trust), membuat masyarakat rentan untuk diprovokasi sehingga muncul konflik di masyarakat.

Adanya konflik yang terjadi di masyarakat menunjukkan perlunya membangun kembali mutual trust masyarakat. Upaya yang dapat dilakukan adalah, yang pertama, melakukan rekonsiliasi. Proses rekonsiliasi ini berkaitan dnegna proses ‘mengingat’ dan ‘melupakan’ masa lalu. Oleh karenanya, dalam upaya membangun saling percaya antar komunitas diperlukan kehendak untuk ‘melupakan’ hubungan-hubungan yang buruk (pertikaian) yang terjadi di masa lalu. Lebih jauh lagi, bersedia untuk meminta maaf atas kesalahan-kesalahan yang telah diperbuat dalam sejarah. Proses mengingat juga harus diikuti dengan proses ‘mengingat’ hubungan-hubungan harmonis yang terjadi dalam sejarah, yaitu dengan melihat kesamaan asal-usul, kekerabatan maupun berkebudayaan. Kedua dengan membangun gerakan-gerakan alternatif yang didasarkan pada semangat perdamaian dan nir kekerasan. Mutual trust akan dapat terbangun bila terjadi dialog-dialog emansipatoris antar komunitas mengenai isu yang dianggap sensitif. Dalam dialog ini, lebih mendasarkan pada keterbukaan, kesetaraan, pembebasan serta tidak dipenuhi dengan prasangka serta stereotype.

Kepemimpinan Multikultur dan Mutual Trust
Dalam mewujudkan masyarakat yang memiliki mutual trust, peran dari pemimpin sangat besar. Ini dikarenakan seorang pemimpin akan berusaha untuk mendorong komunitasnya/ orang yang dipimpinnya untuk mengembangkan mutual trust dalam upaya untuk menuju cita-cita bersama. Jika melihat gaya kepemimpinan di Indonesia, nampak bahwa selama ini pendekatan militeristik lebih dikedepankan dalam mengatasi persoalan di masyarakat. Perbedaan bahkan acapkali dimanfaatkan oleh para pemimpin sebagai alat politik untuk memperoleh kekuasaan.

Kepemimpinan menurut Fiedler (1967), pada dasarnya merupakan pola hubungan antara individu-individu yang menggunakan wewenang dan pengaruhnya terhadap kelompok orang agar bekerja bersama-sama untuk mencapai tujuan. Berdasarkan konsep tersebut, seorang pemimpin yang baik harus mampu membangun hubungan yang baik dengan pengikutnya serta mampu menggunakan wewenang dan pengaruhnya untuk membawa masyarakat ke arah yang lebih baik.

Berkaitan dengan kepoemimpinan dan konflik ini, Yash Gai, Profesor Hukum Publik Universitas Hongkong menyatakan bahwa prasyarat utama yang harus dipenuhi segenap komponen masyarakat yang bertikai, adalah kepemimpinan yang berwawasan ke depan dan keinginan kuat dari segenap komponen masyarakat untuk menyudahi konflik yang terjadi.

Melihat konteks Indonesia yang sangat majemuk, diperlukan pemimpin yang multikultur, baik dalam level pemimpin lokal ataupun nasional. Menurut Chemers dan Ayman (1993), terdapat 4 karakter penting dalam kepemimpinan organisasi multikultural, yaitu:
1.Pribadi yang memiliki visi yang luas, yang mengakui dan mendukung perbedaan dalam komunitas
2.Memiliki pengetahuan yang luas mengenai dimensi-dimensi diversitas dan memiliki kesadaran mengenai permasalahan multikultural
3.Terbuka untuk melakukan perubahan dalam dirinya
4.Membimbing dan mengarahkan bawahannya yang berbeda-beda latar belakang budayanya

Mengingat masyarakat Indonesia umumnya dalam heterogenitas etnis, agama dan pelapisan sosial berbaur dalam beragam pemukiman, lapangan pekerjaan dan keorganisasian sosial hingga lembaga pendidikan, maka sudah seharusnya pemimpin mengakui dan mendukung perbedaan dalam komunitas. Sikap ini tercermin dengan tidak memaksakan sikap dan pandangan-pandangan budayanya terhadap kelompok lain. Sehingga akan tercipta rasa saling menghargai, terbuka dan menghormati.

Pemahaman mengenai masalah diversitas dan multikultural akan menghindarkan dari kesalahpahaman. Oleh karenanya penting bagi pemimpin untuk memahami komunikasi lintas budaya. Terkait dengan ini berarti seorang pemimpin juga harus terbuka untuk melakukan perubahan terhadap dirinya. Ini tidak lepas dari perkembangan dalam masyarakat yang sifatnya dinamis, tidak pernah statis dan selalu berkembang. Yang terakhir penting bagi pemimpin untuk membimbing dan mengarahkan komunitasnya yang berbeda-beda latar budayanya, sehingga akan tercipta masyarakat yang saling percaya.
Kemimpinan multikultur akan mengarahkan masyarakat ke arah budaya multikultur, di mana setiap individu nantinya akan memiliki kemampuan untuk berinteraksi dan bertransaksi, meskipun memiliki latar belakang kultur yang berbeda. Hal ini tidak dapat tercapai, tanpa adanya saling percaya (mutual trust) dalam masyarakat.
Berkaitan dengan upaya membangun kepercayaan ini, upaya tersebut harus dilakukan oleh setiap pihak dalam semua institusi kehidupan. Sebab, hanya melalui komitmen dan visi bersamalah trust bisa dibangun. Menurut Reynold (1997), pada dasarnya, upaya membangun kepercayaan harus dimulai dari membangun sistem yang bercirikan adanya kompetensi, keterbukaan, reliabilitas dan keadilan.
1.Kompetensi
Kompetensi merupakan kemampuan untuk melakukan tugas yang diperankan pada diri seseorang. Sebagai contoh, seorang pejabat negara baru akan dipercaya oleh masyarakat yang dipimpinnya apabila ia memiliki kompetensi di bidang yang menjadi tugasnya. Demikian pula dalam kepemimpinan dalam organisasi lain, seperi partai politik, organisasi massa atau komunitas
2.Keterbukaan
Keterbukaan atau sikap transparan, dengan tidak menutup-nutupi informasi mengenai apa yang dilakukan oleh seseorang dalam urusan bernegara dan berbangsa adalah syarat mutlak untuk menumbuhkan kepercayaan (trust). Misalnya, keberanian elit politik dalam mengumumkan harta kekayaannya. Sementara itu, upaya untuk menutupi kebenaran akan menyebabkan ketidakpercayaan dalam masyarakat. Berkaiatan dengan hal ini, seorang pemimpin harus berani dikrtitik dan menerima kritik.
3.Realibilitas
Hal ini terlihat dari sejauhmana adanya keserasian antara kata dan perbuatan. Misalnya, saat rakyat hidup dalam penderitaan, ada pejabat yang sibuk mengurusi diri sendiri, seperti minta disediakan mobil baru untuk mobil dinasnya, padahal mobil yang ada masih cukup memadai.
4.Keadilan
Mendapatkan perlakuan adil adalah dambaan dari setiap orang. Keadilan ini sudah seharusnya diwujudkan dalam berbagai bidang kehidupan.

Membangun Kepemimpinan Lokal
Berkaitan dengan upaya untuk membangun masyarakat dengan mutual trust, tidak bisa dilepaskan dari peran kepemimpinan lokal. Pun demikian hal ini bukan berarti menafikkan peran kepemimpinan nasional. Kepemimpinan lokal di Indonesia ini sendiri tampaknya sudah dalam kondisi yang memprihatinkan. Ini terlihat dari kurang adanya pemimpin di tingkat lokal yang mampu untuk mengatasi konflik di masyarakat. Padahal, kepemimpinan lokal yang efektif di masyarakat kemudian akan mendukung kepemimpinan nasional dalam upaya untuk memperkuat integrasi nasional.

Kepemimpinan lokal penting untuk dibangun, sebab adanya konflik yang berlarut-larut merupakan akibat dari rusaknya kepemimpinan lokal, akibat dari penyeragaman yang dilakukan di masa sebelumnya. Akibat dari hal ini, adalah berbagai konflik sosial yang terjadi di tingkat lokal tidak dapat diselesaikan secara tuntas. Dan dalam keadaan seperti ini, moral untuk saling percaya (mutual trust) menjadi meredup, di tengah kehidupan masyarakat yang makin memburuk. Padahal seharusnya, dalam konteks otonomi daerah, semestinya modal sosial masyarakat dapat semakin berkembang. Kepemimpinan lokal yang efektif, akan membawa masyarakat untuk mempertahankan diri dari krisis. Selain itu, bila terjadi konflik, akan cenderung lebih mudah diatasi.
Dalam kaitannya dengan upaya membangun multikulturalisme, pemimpin lokal harus mampu untuk menjalin komunikasi lintas budaya, sehingga dapat tercipta saling kesepahaman dengan komunitas lain yang berbeda.

KESIMPULAN
Mengemukanya konflik di Indonesia, baik konflik horizontal maupun konflik vertikal, menunjukkan lemahnya mutual trust dalam masyarakat. Bahkan adanya konflik juga telah mengakibatkan degradasi kepercayaan dalam masyarakat. Lemahnya mutual trust sangat berpengaruh terhadap integrasi bangsa, sebab trust merupakan pengikat sebuah komunitas. Trust juga merupakan salah satu unsur dalam modal sosial yang diperlukan untuk membangun masyarakat.

Dalam upaya untuk membangun masyarakat yang memiliki mutual trust, tidak bisa dilepaskan dari unsur pemimpin. Dalam konteks Indonesia, dengan tingkat keragaman yang tinggi, diperlukan adanya pemimpin multikultur. Kepemimpinan multikultur ini memiliki karakteristik, sebagai berikut: memiliki visi yang luas, yang mengakui dan mendukung perbedaan dalam komunitas; memiliki pengetahuan yang luas mengenai dimensi-dimensi diversitas dan memiliki kesadaran mengenai permasalahan multikultural; terbuka untuk melakukan perubahan dalam dirinya, serta mampu untuk membimbing dan mengarahkan bawahannya yang berbeda-beda latar belakang budayanya.

Dalam membangun masyarakat dengan mutual trust, tidak bisa dilepaskan pula dari kepemimpinan lokal di masyarakat. Berkembangnya konflik horizontal di masyarakat diakibatkan kurang berperannya kepemimpinan lokal. Kepemimpinan lokal yang efektif ini selanjtnya akan dapat membangun kemampuan masyarakat dalam menghadapi krisis.

perdagangan perempuan dan anak

0

Dewasa ini, perdagangan anak dan perempuan telah menjadi isu yang cukup mengemuka. Hal ini tidak bisa lepas dari berkembangnya wacana mengenai Hak Asasi Manusia, serta banyaknya perempuan dan anak yang menjadi korban perdagangan.
Bila meninjau lebih jauh, persoalan perdagangan perempuan dan anak, sebenarnya bukan hal baru. Sejalan dengan perkembangan peradaban manusia yang tidak lepas dari penaklukan dan kolonialisme, telah menimbulkan adanya perbudakan. Perdagangan manusia ini sendiri merupakan bentuk baru dari perbudakan (perbudakan modern). Dalam situasi ini, korban seringkali berada dalam kondisi yang buruk, dimana mereka tidak memiliki kuasa atas dirinya sendiri.
Berdasarkan definisi Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), trafiking atau perdagangan manusia adalah “perekrutan, pengiriman, pemindahan, penampungan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman, atau penggunaan kekerasan, atau bentuk-bentuk pemaksaan lain, penculikan, penipuan, kecurangan, penyalahgunaan kekerasan, atau posisi rentan, atau memberi atau menerima bayaran atau manfaat untuk memperoleh izin dari orang yang mempunyai wewenang atas orang lain, untuk tujuan eksploitasi.”
Berdasarkan definisi tersebut, perdagangan manusia mencakup 3 unsur, yaitu: 1) perekrutan, pengiriman, pemindahan, penampungan, atau penerimaan, 2) cara, yaitu dengan ancaman, kekerasan atau bentuk-bentuk pemaksaan lainnya, dan 3) untuk tujuan eksploitasi. Jadi ada 3 hal yang perlu diperhatikan untuk mengetahui apakah sebuah kasus termasuk perdagangan orang atau tidak, yaitu proses, cara dan tujuan.
Untuk perdagangan anak, unsur cara tidak relevan. Jadi khusus untuk perdagangan anak, hanya ada 2 unsur, yaitu proses dan tujuan. Ini disebabkan anak berbeda dengan orang dewasa, sehingga unsur cara tidak diperhitungkan.
Kesediaan korban, seringkali menjadi alasan pembenar bagi pelaku. Namun demikian, hal ini tidak relevan. Ini disebabkan karena korban seringkali mengambil keputusan tanpa adanya kebebasan untuk memilih, dsb. Selain itu, apakah korban yang telah mengalami kekerasan, pantas untuk disalahkan? Padahal mereka membutuhkan perlindungan.


Mengapa Perempuan dan Anak
Pengkhususan penyebutan perdagangan perempuan dan anak di sini, disebabkan karena sebagian besar korban perdagangan manusia adalah perempuan dan anak. Dalam struktur masyarakat, kelompok ini merupakan kelompok yang paling rentan untuk diperdagangkan. Ini tidak lepas dari masih berakar kuatnya budaya patriarki di masyarakat, dimana perempuan dan anak berada dalam posisi sub-ordinat. Kerentanan posisi mereka ini kemudian seringkali dimanfaatkan untuk mengambil keuntungan dari kelompok ini.
Budaya patriarki telah melanggengkan ketimpangan gender di masyarakat. Hal ini makin diperparah dengan praktek neoliberalisme, yang celakanya dilembagakan oleh negara. Naiknya harga barang, kemiskinan, dan sebagainya mengakibatkan perempuan menyandang beban ganda (multi beban). Perempuan didesak untuk mencari pekerjaan dan Seringkali, akibat rendahnya pendidikan, mereka menjadi korban perdagangan manusia.
Dalam hal penanganan korban, korban perempuan dan anak juga mempunyai kekhususan tersendiri. Ini disebabkan oleh pengalaman mereka sebagai perempuan dan anak. Berbeda dengan orang dewasa, korban anak memerlukan penanganan yang lebih khusus, karena anak adalah anak yang berbeda dengan orang dewasa.

Friday, April 11, 2008

sebuah kisah tentang pencarian diri

0

Judul Buku : Ahaaa! : The Wonder Spot 
Pengarang : Melissa Bank 
Penerbit : Gagas Media 
Tahun Terbit : 2007 
Jumlah Halaman : viii + 478 halaman 

Buku ini menceritakan tentang Sophie – seorang gadis Yahudi—dalam perjalanan hidupnya. Tentu saja dalam perspektif seorang gadis dalam masa perkembangannya. Tentang bagaimana Shopie kecil yang tidak ingin merayakan bat mitzvah-nya (perayaan ketika seorang anak perempuan telah beranjak remaja), ini tentu saja bertentangan dengan keluarganya yang menjadi pengikut Yahudi yang taat. Keinginan Sophie itu, langsung mendapat kecaman dari keluarganya. 

Kisah terus berlanjut, tentang Sophie yang sulit mencari kerja selepas kuliah. Sebuah fenomena yang banyak terjadi dalam dunia nyata… sophie kemudian bekerja keras untuk meningkatkan kemampuan mengetiknya dan akhirnya berhasil menjadi asisten editor di sebuah penerbitan. 

Sophie dihadapkan pada pencarian dirinya, tentang siapa dia, orang-orang di sekelilingnya, orang-orang yang dicintainya, serta pekerjaan apa yang benar-benar disukainya. Pertanyaan tentang siapa saya? Mungkin jenis pertanyaan yang paling sering kita lontarkan… hidup seringkali menyisakan pertanyaan, tentang apa yang kita sukai, cintai, dan banyak hal lain. 

Dunia memang tidak selamanya berjalan seperti apa yang kita inginkan. Itu pula yang terjadi pada Sophie, dan mungkin Sophie Sophie yang lain. Namun yang terpenting adalah bagaimana kita memaknai segala hal yang terjadi, sebab itu adalah kekayaan dalam hidup yang akan mendewasakan. Membaca buku ini sama dengan mengikuti perjalan hidup Sophie, perkembangan pola pikirnya… Hingga akhirnya dia menemukan ‘the wonder spot’ dalam hidupnya. Ini tentu saja mengajak pembaca untuk menemukan pula ‘the wonder spot’ dalam hidupnya. Jika kita, berpikir sejenak, merenung dan berpikir positif, maka Ahaaa!! Anda pasti akan menemukan hal yang anda cari. Pun demikian, menurut saya, dalam buku tersebut tidak semua hal diceritakan, sehingga membuat ada keping yang hilang. Dari satu periode ke periode yang lain seakan meloncat. Namun, buku ini cukup menarik untuk dibaca.

Thursday, February 14, 2008

Hukuman Mati, Bentuk Pelanggaran HAM

2

Hukuman mati ialah suatu hukuman atau vonis yang dijatuhkan pengadilan (atau tanpa pengadilan) sebagai bentuk hukuman terberat yang dijatuhkan atas seseorang akibat perbuatannya (http://id.wikipedia.org/wiki/Hukuman_mati). Persoalan seputar hukuman mati hingga saat ini masih menjadi kontroversi. Berbicara tentang hal tersebut, saya jadi teringat kata-kata alm. dosen saya di pertemuan mata kuliahnya. Pandangan tentang hukuman mati sangat subjektif, tergantung dari pengalaman seseorang. Orang yang pernah melihat seseorang membunuh orang lain di depan matanya, pasti akan cenderung untuk setujua dengan adanya hukuman mati.

Efek takut, sehingga orang tidak akan melakukan suatu perbuatan kriminal seringkali dijadikan alasan disetujuinya hukuman mati. Karena hukumannya yang keras, diharapkan orang tidak akan melakukan perbuatan tersebut, begitulah argumennya. Benarkah demikian? Alkisah ada seorang pencopet yang tertangkap, dan dia dijatuhi hukuman mati. Orang kemudian berduyun-duyun menyaksikan prosesi hukuman terhadap pencopet tersebut. Namun apa yang terjadi kemudian? Ternyata banyak orang yang kehilangan uangnya karena kecopetan.

Hukuman mati tidaklah cukup untuk mencegah laju kejahatan. Penerapan hukuman mati tidak akan pernah mengurangi tindak kriminal. Dalam ranah yang lain, penghapusan hukuman mati juga tidak bisa mendorong kenaikan tindak kriminal. Karena hal tersebut terjadi akibat banyak faktor, misal sosial, ekonomi, dan sebagainya.

Pelanggaran HAM
Hak asasi Manusia (HAM) merupakan hak yang melekat pada setiap individu dan bukanlah pemberian dari siapapun. Hak ini dimiliki manusia sejak lahir, dan tidak bisa dicabut. Hak ini dimiliki manusia sejak lahir dan tidak bisa dicabut, tanpa ada perkecualian, seperti jenis kelamin, ras, bahasa, suku, agama, politik, dan sebagainya.
Gagasan mengenai HAM membawa kepada sebuah tuntutan moral mengenai bagaimana seharusnya memperlakukan sesama manusia. Inti dari gagasan HAM adalah penghormatan dan penghargaan terhadap manusia dan kemanusiaan. Tuntutan moral tersebut merupakan inti dari semua ajaran agama, di mana semua agama mengajarkan tentang pentingnya penghargaan dan penghormatan terhadap semua manusia tanpa ada pembedaan apapun. Tuntutan moral ini diperlukan dalam kerangka melindungi sesorang atau suatu kelompok yang lemah atau dilemahkan dari tindakan semena-mena yang biasanya datang dari pihak yang lebih berkuasa (memiliki kuasa).

Hak hidup merupakan salah satu hak asasi manusia. Sebagaimana yang tercantum dalam pasal 3 Deklarasi Universal HAM
”Setiap orang berhak atas kehidupan, kebebasan dan kesalamatan sebagai individu”
Pasal 5 DUHAM
” Tak seorang pun boleh dikenai perlakuan atau pidana yang aniaya atau kejam yang tidak berperikemanusiaan atau merendahkan martabat."
Hak hidup dan penghapusan segala bentuk hukuman mati dinyatakan, antara lain dalam Deklarasi Universal HAM (1948), Konvensi Perlindungan Hak Asasi Manusia Dan Kebebasan Mendasar (1950), dan Piagam Kebebasan Mendasar Uni Eropa (2002). Dalam instrumen HAM yang disebutkan terakhir dinyatakan bahwa: Pasal 2: (1) Setiap orang mempunyai hak atas hidup; (2) Tidak seorang pun layak dihukum mati atau digantung. Pasal 19: (1) Pengusiran paksa secara kolektif dilarang; (2) Tidak seorang pun patut diusir, dibuang atau diekstradisi ke negara dimana terdapat resiko serius bahwa ia akan dihukum mati, siksaan atau perlakuan atau hukuman yang tidak manusiawi lainnya atau menjatuhkan martabat manusia.

Berdasarkan hal tersebut, apakah seseorang/ institusi berhak untuk menentukan hidup mati seseorang? Hukuman mati bertentangan dengan esensi ajaran semua agama, yang mengajarkan pentingnya untuk merawat kehidupan yang merupakan anugerah dari Tuhan. Apakah layak, jika hidup mati seseorang yang merupakan kewenangan Tuhan kemudian ditentukan oleh manusia?

Pelaksanaan hukuman mati selalu mencerminkan bentuk penegasian atas hak hidup manusia, hak asasi yang tidak boleh dikurangi sedikit pun (non-derogable) dalam kehidupan manusia. Hukuman mati sangat merendahkan martabat manusia. Ini artinya pelaksanaan hukuman mati sangat bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan.

Hukuman Mati di Indonesia

Berdasarkan catatan Kontras, terdapat 118 orang terancam hukuman mati. 56 orang merupakan terpidana kasus pembunuhan, 55 orang terpidana kasus narkoba dan 7 orang terpidana kasus terorisme. Sementara itu, puluhan orang telah dieksekusi mati mengikuti sistem KUHP peninggalan kolonial Belanda. Di masa Orde Baru, sebagian besar korban yang dieksekusi mati adalah narapidana politik.
Pasal 28 ayat (1), amandemen kedua UUD 1945 disebutkan
”Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di depan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.”

Pun demikian, peraturan perundang-undangan di bawahnya tetap mencantumkan hukuman mati. RUU KUHP juga masih menerapkan hukuman mati, meski memberikan ruang melalui penundaan eksekusi yang berkepanjangan. Hingga tahun 2006, terdapat 11 peraturan perundang-undangan yang masih memiliki ancaman hukuman mati, yaitu KUHP, UU Narkotika, UU Anti Korupsi, UU Anti Terorisme, dan UU Pengadilan HAM. Jumlah ini mungkin masih akan bertambah panjang dengan adanya RUU Intelijen dan RUU Rahasia Negara.

Tuesday, February 12, 2008

untuk seseorang di surga

1

Sosokmu kian samar dimakan waktu
kenangan tentangmu kian larut
seiring dengan lamanya penantianku

wajahmu kian terkikis sejalan dengan bergantinya hari
tak pernah lagi mimpiku hadirkan sosokmu
makin sulit kutemukan sosokmu dalam ingatan
makin sesak dadaku bila harus mengingatmu
makin ingin bertemu dirimu untuk menyegarkan ingatanku

perasaanku pun selalu berfluktuasi
kadang memarginalkan dirimu
terdesak oleh bayanganmu yang selalu kucari

atau bertambah besar
hingga perasaanku terkoyak dan tercabik-cabik
tapi yakinlah...
aku masih suka kamu!

kita belajar dari kematian

0

Judul buku : Selasa Bersama Morrie: Pelajaran Tentang Makna Hidup 
Pengarang : Mitch Albom 
Penerjemah : Alex Kantjono 
Penerbit : Gramedia 
Thn Terbit : 2001 
Jml Hal : 220 hal 
 "satu satunya cara agar hidup ini menjadi bermakna adalah mengabadikan diri untuk menyayangi orang lain, mengabdikan diri bagi masyarakat di sekitar kita dan mengabdikan diri untuk menciptakan sesuatu yang memberi kita tujuan serta makna.." hal 46

Hidup seakan tiada habisnya untuk dipelajari. Belajar tentang hidup adalah mencari tahu makna kehidupan. Haruskah menangis sedih kala hidup tak sesuai dengan bayangan yang diinginkan? Dan haruskah tertawa lebar saat hidup berjalan sesuai dengan rencana? Keberuntungan, kesialan, kesedihan dan kegembiraan adalah tergantung bagaimana memaknainya. pelajaran tentang hidup barangkali adalah sesuatu yang sulit didapatkan. Buku ini mengisahkan tentang pelajaran hidup yang diberikan Sang Guru menjelang kematiannya. Bagaimana jika hidup anda tinggal 2 tahun lagi? Itulah yang dialami oleh Morrie. Ketika nasib seakan tidak berpihak dan dunia terus berlari. "...Apakah aku akan menyerah dan mati begitu saja, atau akan memanfaatkan sisa waktu sebaik-baiknya" (hal 11). 

untitle

1

sepi mengurai luka
membalut rasa yang kupunya
sakit ini ternyata tak terperi
aku lelah dengan segala
upaya yang tak berbalas
berakhirkah semua?
entahlah...

untitle

0

bila malam melagukan heningnya
dalam sepi aku berpikir tentang langkah ini
merajut mimpi dan cita
alangkah sukarnya
ternyata jalan demikian berliku
begitu banyak aral yang harus kutemui

ternyata aku masih gamang akan langkah ini