Thursday, June 12, 2008

Pekerja Anak: Antara Hak Anak dan Realitas

3

Dunia anak adalah dunia bermain dan bersukacita. Pun demikian, nyatanya tidak semua anak memiliki kesempatan untuk menikmati dunia anaknya. Ratusan bahkan ribuan anak menjadi pekerja anak, dan beberapa di antara mereka bahkan tercerabut dari dunia anaknya. Hal ini dengan jelas dapat dilihat saat melintasi perempatan jalan-jalan besar di dekat traffic light tampak anak-anak yang hidup di jalanan, mengais sampah dan mengumpulkannya atau dilacurkan.

Persoalan pekerja anak sebenarnya bukanlah fenomena baru. Di negara-negara industri, pekerja anak telah muncul sejak abad XIX. Sementara itu, di Indonesia pekerja anak di sektor industri muncul pada abad XX saat kolonialisme Belanda, di mana anak-anak bekerja di sektor perkebunan dan industri gula. Pun demikian bisa jadi pekerja anak sudah ada jauh sebelum masa itu, apalagi bila dikaitkan dengan sektor industri seks komersial, di mana pelacuran merupan industri yang tertua. Dan bisa jadi anak perempuan telah masuk dalam industri seks komersial pada masa itu.
Mengemukanya wacana tentang pekerja anak tidak lepas dari perkembangan wacana tentang Hak Asasi Manusia, dalam hal ini adalah Hak Anak. Perhatian terhadap persoalan pekerja anak ini tidak hanya dalam tataran nasional, namun juga internasional. Bahkan dalam level internasional, tanggal 12 Juni dijadikan sebagai hari dunia menentang pekerja anak.

Pekerja anak dapat dipahami sebagai anak-anak yang masuk dalam dunia kerja, baik sektor formal maupun informal atau anak yang dipaksa bekerja. Anak ini sendiri adalah setiap orang yang berusia di bawah 18 tahun, sebagaimana yang terdapat dalam Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Dalam Konvensi Hak Anak (KHA), istilah anak yang bekerja atau anak yang terpaksa tidak digunakan, yang ada adalah eksploitasi ekonomi terhadap anak (pasal 32). Dalam kasus ini, anak harus dianggap sebagai korban, bukan pelaku yang secara sadar memilih untuk bekerja. Anak bukanlah orang dewasa, sehingga pilihan yang dibuat oleh anak tidak bisa disamakan dengan pilihan yang dibuat oleh orang dewasa. Anak belum memiliki kedewasaan sebagaimana orang dewasa, karena itu anak dianggap tidak bisa memahami akibat dari pekerjaan yang dia lakukan.

Pekerja anak dipandang sebagai bentuk pengingkaran terhadap hak anak. Dalam Konvensi Hak Anak, terdapat empat hak dasar anak, yaitu hak hidup, perlindungan, tumbuh kembang dan partisipasi. Pekerja anak dapat dilihat sebagai pelanggaran terhadap hak tumbuh kembang anak. Hak tumbuh kembang di sini artinya anak memiliki hak untuk dapat tumbuh dan berkembang dengan baik, baik secara fisik maupun psikis. Adalah tugas orang dewasa untuk memastikan anak dapat tumbuh dan berkembang dengan baik.
Umumnya, anak yang dipekerjakan akan kehilangan waktunya untuk bermain atau bersekolah. Hal tersebut tentu saja akan mempengaruhi proses tumbuh kembang anak. Lebih jauh lagi, anak yang bekerja rentan terhadap eksploitasi terhadap dirinya, misalnya eksploitasi ekonomi, fisik maupun seksual. Oleh karenanya, orang yang mempekerjakan anak dapat dianggap mengambil keuntungan secara sepihak dari pekerjaan yang dilakukan oleh anak.

Pun demikian, masih terdapat tarik ulur berkaitan dengan persoalan pekerja anak dan hak anak. Di satu sisi, pekerja anak dilihat sebagai ’bakti’ anak terhadap orang tuanya. Ini terlihat dari adanya pekerja anak yang tak dibayar, karena membantu orang tuanya. Atau anak yang bekerja karena ingin membantu orang tuanya. Ini tentu saja terkait dengan budaya yang berkembang di negara ini, dimana kewajiban anak adalah berbakti pada orang tuanya. Oleh karenanya, cukup sulit untuk menghapuskan pekerja anak. Di sisi lain, terdapat pendapat bahwa pekerja anak harus dihapuskan, karena pekerja anak adalah hal yang tidak bisa ditolerir karena melanggar hak anak. Sementara itu, anggapan lain, karena sulit untuk menghapuskan pekerja anak maka yang bisa dilakukan adalah meminimalkan pekerja anak. Yang dimaksud di sini adalah yang harus dihapuskan adalah pekerja anak di sektor-sektor berbahaya bagi anak. Sektor-sektor berbahaya bagi anak adalah sektor-sektor yang menjadi bentuk-bentuk pekerjaan terburuk bagi anak. Dikatakan terburuk, karena lingkungan dan kondisi kerjanya tidak baik untuk perkembangan anak. Pun demikian, sektor-sektor berbahaya inipun juga masih menjadi perdebatan.

Berdasarkan Keppres RI No. 59 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional (RAN) Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak sesuai dengan Konvensi ILO No. 182 adalah: segala bentuk perbudakan atau praktek sejenis perbudakan (penjualan dab perdagangan), ijon, penghambaan dan kerja paksa; pelacuran produksi pornografi atau pertunjukkan porno; untuk kegiatan terlarang, terutama produksi dan perdagangan obat; serta pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan atau moral anak-anak. Sementara itu, menurut Undang Undang No. 1 Tahun 2002, ada 13 jenis pekerjaan terburuk bagi anak, yaitu: anak-anak yang dilacurkan; anak-anak yang bekerja di pertambangan; penyelam mutiara; di sektor konstruksi; jermal (sektor perikanan lepas pantai); pemulung sampah; produksi dan kegiatan yang memakai bahan peledak; bekerja di jalan; pekerja rumah tangga anak; industri rumah tangga; perkebunan; penebangan, pengolahan dan pengangkutan kayu; serta industri dan jenis kegiatan yang memakai bahan kimia berbahaya.

Berdasarkan data Sakernas tahun 2003, jumlah pekerja anak di bawah 15 tahun mencapai 556.526 orang. Jumlah pekerja anak sesungguhnya tentunya lebih besar, karena yang termasuk pekerja anak, sesuai dengan Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan adalah yang berusia di bawah 18 tahun. Angka tersebut saat ini bisa jadi lebih banyak, karena anak-anak banyak yang bekerja di sektor informal sehingga keberadaannya tidak bisa dihitung dengan pasti. Misalnya saja anak yang bekerja di sektor industri seks komersial. Menurut Departemen Sosial (2000) dari 40.000-70.000 perempuan yang dilacurkan dari tahun 1997 sampai dengan 2000, 30%nya adalah anak-anak. Angka ini tentu saja merupakan fenomena gunung es (iceberg phenomenon). Artinya angka yang ada tidak mencerminkan realitas sesungguhnya di lapangan.
Menurut Undang Undang Ketenagakerjaan, anak-anak dapat dipekerjakan dengan syarat mendapatkan izin dari orang tua dan bekerja maksimum tiga jam seharinya. Pun demikian hal ini sangat sulit untuk dipenuhi. Secara logika, tidak ada perusahaan atau orang yang mau mempekerjakan selama 3 jam seharinya. Akibatnya, penerapan Undang Undang ini tidak dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya.

Umumnya, anak dipekerjakan karena anak relatif lebih menurut dibanding orang dewasa. Akibatnya, anak relatif tidak banyak protes ketika menghadapi ketidakadilah yang dialaminya. Ini tentu saja tidak lepas dari hubungan ordinat-subordinat antara orang dewasa dengan anak. Selain itu, upah buruh anak lebih kecil dibandingkan dengan upah orang dewasa, sehingga bisa memperkecil biaya produksi. Posisi rentan yang dimiliki anak kemudian dimanfaatkan untuk mengambil keuntungan darinya.

Berdasarkan pemaparan di atas, dapat dikatakan bahwa kemiskinan menjadi salah satu penyebab adanya pekerja anak. Tingginya harga kebutuhan pokok yang menyebabkan ekonomi rumah tangga membutuhkan banyak uang, kemudian mendorong anak untuk masuk ke dunia kerja atau menjadi pekerja anak. Melihat situasi saat ini dimana kenaikan harga BBM kemudian diikuti dengan naiknya harga-harga kebutuhan pokok, bisa jadi ikut menyebabkan naiknya jumlah pekerja anak. Selain itu, dikenalnya konsep uang pada anak, akan membuat anak berusaha untuk mendapatkannya dan menganggap kerja lebih baik daripada sekolah. Dikenalnya konsep uang, disertai dengan terpaan yang kontinue dari media massa (terutama elektronik) kemudian menyebabkan adanya budaya konsumtif. Dengan uang dapat membeli barang yang diinginkan, sehingga muncul keinginan untuk memperoleh uang. Sementara itu, dari segi permintaan, tentu saja tidak lepas dari keinginan untuk mendapatkan gaji buruh yang murah sehingga dapat meningkatkan produktivitas usaha.

Jika melihat kondisi Indonesia saat ini, di mana budaya patriarki masih berakar kuat, maka anak-anak yang membutuhkan perlindungan khusus akan bertambah banyak. Termasuk juga dengan jumlah pekerja anak. Budaya patriarki akan menempatkan anak berada dalam posisi ordinat, sehingga rentan untuk dieksploitasi. Selain itu, anak dianggap sebagai hak milik (property) orang tua sehingga orang tua dapat melakukan apa saja terhadap anak, tanpa melihat hal yang terbaik bagi anak.
Berkaitan dengan masalah pekerja anak, pemerintah telah mengeluarkan Undang Undang Perlindungan Anak, meratifikasi Konvensi Hak Anak, Konvensi ILO tentang Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk Bagi Anak, RAN Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak, dan sebagainya. Pun demikian upaya ini juga harus dilanjutkan dengan action di lapangan. Perlu ada komitmen yang serius dari pemerintah untuk melindungi pekerja anak, baik di sektor formal atau informal sembari berupaya untuk meminimalkan angka pekerja anak. Upaya tersebut terkait pula dengan kebijakan di sektor pendidikan, dengan mengganggrakan lebih banyak lagi untuk sektor pendidikan. Pendidikan sejatinya dapat menghindarkan anak untuk bekerja. Selain itu, regulasi tentang perlindungan anak sudah seharusnya dibuat oleh pemerintah daerah, bahkan pemerintah desa yang nantinya diikuti dengan implementasi yang berpihak pada anak.
Persoalan anak sudah seharusnya menjadi persoalan bersama bangsa yang menjadi komitmen dan prioritas, mengingat anak adalah generasi penerus bangsa. Penyadaran dan sosialisasi terhadap masyarakat dan keluarga juga harus terus dilakukan, sehingga dapat menjadi bagian dalam upaya perlindungan terhadap anak. Bukankah sudah menjadi tanggung jawab orang dewasa untuk memastikan lingkungan yang baik untuk tumbuh kembang anak?

3 komentar:

Anonymous said...

artikel anda bagus dan menarik, artikel anda:
http://karir-pekerjaan.infogue.com/
http://karir-pekerjaan.infogue.com/pekerja_anak_antara_hak_anak_dan_realitas

anda bisa promosikan artikel anda di infogue.com yang akan berguna untuk semua pembaca. Telah tersedia plugin/ widget vote & kirim berita yang ter-integrasi dengan sekali instalasi mudah bagi pengguna. Salam!

Anonymous said...

Artikelnya berbobot... :D

Amin The-lapan said...

Keren abis d topiknya... skalian d jadiin bahan diskusi gw... Thanks y :)