Hukuman mati ialah suatu hukuman atau vonis yang dijatuhkan pengadilan (atau tanpa pengadilan) sebagai bentuk hukuman terberat yang dijatuhkan atas seseorang akibat perbuatannya (http://id.wikipedia.org/wiki/Hukuman_mati). Persoalan seputar hukuman mati hingga saat ini masih menjadi kontroversi. Berbicara tentang hal tersebut, saya jadi teringat kata-kata alm. dosen saya di pertemuan mata kuliahnya. Pandangan tentang hukuman mati sangat subjektif, tergantung dari pengalaman seseorang. Orang yang pernah melihat seseorang membunuh orang lain di depan matanya, pasti akan cenderung untuk setujua dengan adanya hukuman mati.
Efek takut, sehingga orang tidak akan melakukan suatu perbuatan kriminal seringkali dijadikan alasan disetujuinya hukuman mati. Karena hukumannya yang keras, diharapkan orang tidak akan melakukan perbuatan tersebut, begitulah argumennya. Benarkah demikian? Alkisah ada seorang pencopet yang tertangkap, dan dia dijatuhi hukuman mati. Orang kemudian berduyun-duyun menyaksikan prosesi hukuman terhadap pencopet tersebut. Namun apa yang terjadi kemudian? Ternyata banyak orang yang kehilangan uangnya karena kecopetan.
Hukuman mati tidaklah cukup untuk mencegah laju kejahatan. Penerapan hukuman mati tidak akan pernah mengurangi tindak kriminal. Dalam ranah yang lain, penghapusan hukuman mati juga tidak bisa mendorong kenaikan tindak kriminal. Karena hal tersebut terjadi akibat banyak faktor, misal sosial, ekonomi, dan sebagainya.
Pelanggaran HAM
Hak asasi Manusia (HAM) merupakan hak yang melekat pada setiap individu dan bukanlah pemberian dari siapapun. Hak ini dimiliki manusia sejak lahir, dan tidak bisa dicabut. Hak ini dimiliki manusia sejak lahir dan tidak bisa dicabut, tanpa ada perkecualian, seperti jenis kelamin, ras, bahasa, suku, agama, politik, dan sebagainya.
Gagasan mengenai HAM membawa kepada sebuah tuntutan moral mengenai bagaimana seharusnya memperlakukan sesama manusia. Inti dari gagasan HAM adalah penghormatan dan penghargaan terhadap manusia dan kemanusiaan. Tuntutan moral tersebut merupakan inti dari semua ajaran agama, di mana semua agama mengajarkan tentang pentingnya penghargaan dan penghormatan terhadap semua manusia tanpa ada pembedaan apapun. Tuntutan moral ini diperlukan dalam kerangka melindungi sesorang atau suatu kelompok yang lemah atau dilemahkan dari tindakan semena-mena yang biasanya datang dari pihak yang lebih berkuasa (memiliki kuasa).
Hak hidup merupakan salah satu hak asasi manusia. Sebagaimana yang tercantum dalam pasal 3 Deklarasi Universal HAM
”Setiap orang berhak atas kehidupan, kebebasan dan kesalamatan sebagai individu”
Pasal 5 DUHAM
” Tak seorang pun boleh dikenai perlakuan atau pidana yang aniaya atau kejam yang tidak berperikemanusiaan atau merendahkan martabat."
Hak hidup dan penghapusan segala bentuk hukuman mati dinyatakan, antara lain dalam Deklarasi Universal HAM (1948), Konvensi Perlindungan Hak Asasi Manusia Dan Kebebasan Mendasar (1950), dan Piagam Kebebasan Mendasar Uni Eropa (2002). Dalam instrumen HAM yang disebutkan terakhir dinyatakan bahwa: Pasal 2: (1) Setiap orang mempunyai hak atas hidup; (2) Tidak seorang pun layak dihukum mati atau digantung. Pasal 19: (1) Pengusiran paksa secara kolektif dilarang; (2) Tidak seorang pun patut diusir, dibuang atau diekstradisi ke negara dimana terdapat resiko serius bahwa ia akan dihukum mati, siksaan atau perlakuan atau hukuman yang tidak manusiawi lainnya atau menjatuhkan martabat manusia.
Berdasarkan hal tersebut, apakah seseorang/ institusi berhak untuk menentukan hidup mati seseorang? Hukuman mati bertentangan dengan esensi ajaran semua agama, yang mengajarkan pentingnya untuk merawat kehidupan yang merupakan anugerah dari Tuhan. Apakah layak, jika hidup mati seseorang yang merupakan kewenangan Tuhan kemudian ditentukan oleh manusia?
Pelaksanaan hukuman mati selalu mencerminkan bentuk penegasian atas hak hidup manusia, hak asasi yang tidak boleh dikurangi sedikit pun (non-derogable) dalam kehidupan manusia. Hukuman mati sangat merendahkan martabat manusia. Ini artinya pelaksanaan hukuman mati sangat bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan.
Hukuman Mati di Indonesia
Berdasarkan catatan Kontras, terdapat 118 orang terancam hukuman mati. 56 orang merupakan terpidana kasus pembunuhan, 55 orang terpidana kasus narkoba dan 7 orang terpidana kasus terorisme. Sementara itu, puluhan orang telah dieksekusi mati mengikuti sistem KUHP peninggalan kolonial Belanda. Di masa Orde Baru, sebagian besar korban yang dieksekusi mati adalah narapidana politik.
Pasal 28 ayat (1), amandemen kedua UUD 1945 disebutkan
”Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di depan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.”
Pun demikian, peraturan perundang-undangan di bawahnya tetap mencantumkan hukuman mati. RUU KUHP juga masih menerapkan hukuman mati, meski memberikan ruang melalui penundaan eksekusi yang berkepanjangan. Hingga tahun 2006, terdapat 11 peraturan perundang-undangan yang masih memiliki ancaman hukuman mati, yaitu KUHP, UU Narkotika, UU Anti Korupsi, UU Anti Terorisme, dan UU Pengadilan HAM. Jumlah ini mungkin masih akan bertambah panjang dengan adanya RUU Intelijen dan RUU Rahasia Negara.
Thursday, February 14, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
2 komentar:
Ajarin ya mo blajar punya blog
boleh-boleh saja, ria juga masih belajar kok..
Post a Comment