Showing posts with label tulisan lepas. Show all posts
Showing posts with label tulisan lepas. Show all posts

Wednesday, January 02, 2008

Save Our Earth for Peace

0


Tanggal 1 Januari, diperingati sebagai hari perdamaian di berbagai belahan dunia. Momen tahun baru tentu saja diiringi dengan harapan akan adanya kedamaian, dunia yang damai bagi semua.

Perdamaian nampaknya menjadi barang yang mahal saat ini.

Sunday, October 28, 2007

lagi, tentang buruh migran

0

Persoalan buruh migran masih saja menjadi hal yang biasa ditemui. Pun begitu, nyatanya upaya perlindungan terhadap buruh migran ini masih kurang. Beberapa teman yang aktif berusaha menyelesaikan permasalah ini mengeluhkan kurang kooperatifnya pemerintah. Ini tentu saja hal yang ironis, mengingat buruh migran adalah penyumbang terbesar devisa negara.

Sebut saja M, yang mengadu nasib ke salah satu negara timur tengah. M yang bekerja di sana untuk mencukupi kebutuhan keluarganya, mengalami nasib yang malang. bagaimana tidak, M diperkosa oleh anak laki-laki majikannya, hingga akhirnya M hamil. Tidak hanya itu saja, gaji M selama bekerja di sana juga belum dibayarkan.

Lain lagi dengan J, yang saat ini harus berada di penjara karena dituduh menyantet majikannya. Tidak hanya itu saja, nama J pun dipalsu dengan nama orang lain. J saat ini telah 2 tahun di penjara tanpa ada upaya signifikan untuk membebaskannya. Saat saya menemui keluarganya, ternyata telah banyak media yang meliput cerita J. bahkan orang nomor 2 di kota tersebut telah datang ke sana. Namun J masih belum bebas juga.

Jika J dipenjara karena dituduh menyantet majikan, T dipenjara karena ketahuan memiliki HP. Kini T telah 8 bulan dipenjara.

....

itu tentu saja hanya beberapa dari cerita sedih perjalanan buruh migran.

Saturday, September 22, 2007

ketika hajatan menjadi bisnis

0

Bulan Juni - Agustus lalu barangkali adalah masa-masa hajatan. Apalagi di kampung-kampung, hajatan menjadi acara yang tidak bisa diganggu gugat. Beberapa pertemuan bahkan dibatalkan karena sibuk hajatan.

lain ladang lain belalang
lain lubuk lain ikannya

demikian pepatah bilang. Dan memang benar adanya. begitu juga untuk hal bernama hajatan...

saat saya berkunjung di sebuah daerah di kuningan (Jawa Barat), saya baru tahu tentang kebiasaan acara hajatan di sana. Di sana tamu yang datang memberikan amplop sumbangan kepada yang punya hajat. Amplop tersebut langsung dibuka oleh si empunya (di depan orang yang memberikan). Di belakang sudah ada "petugas" pencatat. Pencatat ini kemudian memberi tahu kepada bagian pemberi oleh-oleh. Maka tamu tadi akan menerima oleh-oleh sesuai dengan sumbangan yang ia berikan. Dan ini sudah ada standarnya. MIsalnya, jika menyumbang Rp 10.000,00 akan membawa 2 buah bungkus mie instan. Tapi penyumbang ini bisa jadi tidak membawa oleh-oleh, karena jika dia makan di tempat hajatan, maka oleh-oleh tidak diberikan.
"kalo nyumbangnya dikit, mendingan juga makan. Rugi kalo enggak"
"kalo sayang sama anak, ya enggak makan. Entar bisa bawa pulang mie"
"biasanya di jalan udah kompakan, mau makan ato enggak"
....

namun hal tersebut hanya berlaku bagi perempuan. Untuk tamu laki-laki, disediakan kotak untuk menaruh amplop sumbangan. Tamu laki-laki biasanya makan di tempat hajatan dan tidak mendapatkan oleh-oleh.

Hal yang sama terjadi pula di Subang.. Di sana ada semacam sistem menabung. Saat musim panen, orang memberi beras 1 ton kepada orang yang punya hajat. Jadi kelak, jika si pemberi ini mempunyai hajat, akan mendapatkan beras 1 ton dari orang yang dulu diberinya.

Lucunya, di sana orang yang menikah bisa untung hingga 30 juta. Bahkan orang yang tidak punya anak pun mau menjadi sponsor/ penanggung acara hajatan orang lain...

ini tentu saja berbeda dengan hajatan di tempat saya, di mana semua orang selalu harus makan di tempat hajatan (baik laki-laki dan perempuan). Uang sumbangan ditaruh di kotak sumbangan, dan tidak dibuka di depan si penyumbang. Balas membalas antara tuan reumah dan penyumbang terjadi jika penyumbang mempunyai hajat. Biasanya uang sumbangannya sama dengan yang dulu di berikan. Hantaran atau oleh-oleh diberikan kepada tamu yang dirasa cukup dekat dengan keluarga mempelai.

komersialisasi ternyata sudah sedemikian menggurita, bahkan ke desa yang dulu digambarkan sebagai masyarakat yang bersifat paguyuban... Lepas dari itu saya jadi berpikir, betapa industri mie instan diuntungkan dari acara hajatan tersebut...

Bandung, 30 Agustus 2007

Thursday, August 09, 2007

Tentang Mie Instan

1

Saat saya berkunjung ke rumah teman saya - laki-laki, lajang- di tempat sampahnya ada banyak tumpukan bungkus mie instant. Persediaan mie instant di lemarinya pun lumayan banyak.

Di suatu daerah, saya menjumpai seorang ibu dan anaknya (+ 1 tahun. Sang ibu tengah menyuapi anaknya dengan mie instant.

Saat saya berbelanja di sebuah supermarket di Bandung, terlihat oleh saya, seorang ibu (perempuan) dengan kereta dorong yang di dalamnya terdapat banyak mie instant. Di rak supermarket itupun terlihat berbagai macam mie instant dengan berbagai rasa, mulai harga Rp 450,00 sampai Rp 1.500,00.

Mie instant selain akrab di kalangan mahasiswa juga akrab di saat situasi darurat. Misalnya sebagai bantuan bagi korban bencana. Saat saya menjadi relawan gunung akan meletus (gunung merapi) di Jogja dan gempa Jogja, mie instant menjadi salah satu bahan makanan yang banyak diberikan kepada para pengungsi.

Mie instant memang telah begitu popular di Indonesia. Di stasiun televisipun iklan mie instan cukup banyak. Sayang saya belum pernah menghitung, dalam sehari dalam sebuah stasiun televisi ada berapa iklan mie instan.

Saat saya live in di sebuah daerah, mie instan dapat dikatakan makanan yang cukup mewah. Dan layak dihidangkan untuk tamu. Sementara itu, tidak jarang saya melihat anak-anak kecil memakan mie instan tanpa dimasak. Saat orang hajatpun (misal, menikah), oleh-oleh kepada penyumbang terkadang berbentuk mie instan.

Namanya juga mie instan, cara penyajiannya pun instan. Cukup 15 menit, mie rebus atau mie goreng sudah siap untuk dinikmati. Rasanya pun standar, rasa mie instan!
Fenomena mie instan memang sudah demikian populer, baik di desa ataupun di kota. Makanan inipun dikonsumsi oleh berbagai kalangan. Selain sebagai teman nasi, mie instan juga dikonsumsi sebagai pengisi perut dan tidak sekedar makanan mendadak. Pada tahun 1997, perkiraan tingkat konsumsi mie instan perorangan per tahun di Indonesia adalah sebesar 42,3 bungkus, dan pada tahun 1998, naik menjadi 39, 1 bungkus (Republika, 11 September 2000).

Sebenarnya sudah lama saya ingin menulis tentang ini, namun baru kesampaian sekarang.

Sejarah Mie InstanMeskipun mie atau bakmi dikenalkan oelh etnis Tiongkok dan berasal dari daratan Tiongkok, namun mie instan justru lahir di Jepang, atau lebih dikenal dengan nama mie ramen.

Pada tahun 1958, Momofuku Ando – pendiri pabrik makanan Nissin – mulai memperkenalkan makanan olahan mie instan yang dikenal sebagai chicken ramen. Pada tahun 1971, Nissin memperkenalkan produk mie instan di AS dan setahun kemudian telah memiliki pabrik mie instan di AS (Seymour Cooked Food Research International), London, UK dalam GAPMMI Newsletter, 5 Oktober 2000 dalam Monika Evandaru, et al, Perempuan Post Kolonial dan Identitas Global, hal 53).

Di Indonesia, mie instan diperkenalkan mulai tahun 1969 oleh PT Lima Satu Sakyu Industri Pangan yang memproduksi Super Mie. Pada tahun 1993, telah berdiri 26 perusahaan mie instan dengan 31 pabrik untuk mensuplai kebutuhan mie instan di Indonesia (Evandaru., et al, ibid, hal 54). Dengan sekitar 50 merek dagang, pasar mie instan di Indonesia mampu menyerap + 8, 6 juta bungkus per tahun.

Industri Mie Instan
Produsen terbesar mie instan di Indonesia adalah PT Sanmaru (Indofood Group), yang sebagian besar sahamnya dimiliki oleh Salim Group.

Angka produksi mie instan di Indonesia pada tahun 1999 mencapai 5,2 milyar bungkus. Jika per tahunnya pasar mie instan mampu menyerap 8, 6 juta bungkus, dan harga rata-rata mie instan adalah Rp 900,00, maka diperkirakan industri ini bisa meraup uang sebesar 7.740.000.000. Sungguh angka yang cukup fantastis, bukan?

Selain sebagai produsen mie instan terbesar di Indonesia, PT Indofood Sukses Makmur Group masih diuntungkan lagi karena tepung terigu – bahan baku mie instan – diperoleh dari PT Bogasari, yang masih berada di bawah bendera Salim Group.
PT Bogasari yang didirikan pada tahun 1971, memegang hak tunggal penggilingan gandum yang diimpor Bulog. Bisa dipastikan, PT Indofood mampu memperoleh bahan baku dengan harga rendah.

Konsumsi bahan pangan dari gandum atau tepung terigu di Indonesia nampak meningkat pesat. Impor gandum ke Indonesia sebelumnya mencapai 4 juta ton. Pada tahun 2000, jumlah mie instan dari bahan gandum yang diperkirakan terjual di Indonesia mencapai 8, 6 milyar bungkus (The Jakarta Post, 30 Agustus 1999).

Meluasnya konsumsi gandum tidak bisa lepas dari kebijakan AS. Pada tahun 1954, Kongres mengeluarkan kebijakan Public Law 480 (PL480), untuk mengembangkan dan memperluas pasar komoditi pertanian AS, memanfaatkan kelimpahan produksi pertanian AS untuk memerangi kelaparan dan mendorong pembangunan ekonomi negara sedang berkembang (Evandaru., et al., hal 48).

PL480 inilah yang memungkinkan masuknya gandum ke negara dunia ketiga, dalam jumlah banyak dan murah. Indonesia mulai mengimpor biji gandum dari AS sejak tahun 1970an. Sejak tahun itu, sampai dengan 1998, monopoli pengolahan gandum impor diserahkan Bulog ke PT Bogasari Flour Mills yang dimiliki Liem Sie Liong (Evandaru, hal 48-9).
Konsumsi terigu di Indonesia dipakai untuk bahan makanan berupa bakmi basah (52%), mie instan (20%), biskuit (20%), roti (15%), mie telor (8%), dan 5 % langsung dikonsumsi oleh masyarakat (Republika, 20 Juli 1999).

Untuk menekan harga tepung terigu di dalam negeri, pemerintah mensubsidi PT Bogasari. Menurut INDEF, pemerintah mensubsidi sebesar 760 milyar rupiah dengan perhitungan harga impor gandum Rp 418,00/ kg. Bogasari membeli dari Bulog hanya Rp 141,00/ kg. Jadi ada subsidi sebesar Rp 277,00/ kg. Subsidi ini tidak diterima oleh rakyat secara langsung, karena konsumen terigu terbesar adalah Indofood, jadi bisa dipastikan penikmat terbesar subsidi tersebut bukan rakyat, tetapi Indofood.

Monday, November 06, 2006

tentang buruh migran

1

Persoalan buruh migran merupakan persoalan yang kompleks. Meskipun Indoensia merupakan negara pengirim buruh migran dalam jumlah yang besar, toh hal ini tidak serta merta menjadikan kebijakan pemerintah menjadi pro buruh migran. Hal ini tentu saja kontras, dengan realita yang menunjukkan betapa buruh migran telah menjadi penghasil devisa dalam jumlah yang tidak sedikit.

Persoalan buruh migran dapat dikatakan cukup kompleks, mulai dari proses perekrutannya hingga saat kembali ke tanah air. Pada proses perekrutannya, banyak dijumpai kasus buruh migran illegal, yang tentu saja akan berpengaruh pada nasibnya di luar negeri. Tidak hanya itu saja, alih-alih menawarkan kerja sebagai PRT (Pembantu Rumah Tangga) atau buruh pabrik, ternyata banyak calon buruh migran yang ditipu menjadi PSK (pekerja Seks Komersial). Dari sini bisa dilihat eratnya masalah trafiking dengan buruh migran.

Adalah suatu realita, jika sebagian besar buruh migran adalah perempuan. Untuk masalah ini perempuan tampaknya lebih ‘laku’ ketimbang laki-laki. Hal ini tentu saja tidak lepas dari pengidentikan perempuan dengan kerja rumah tangga selain tentu saja upahnya yang lebih murah ketimbang buruh laki-laki. Budaya menerima dan belum disadarinya hak-hak perempuan oleh perempuan yang menjadi buruh migran, acapkali menjadikan mereka sasaran perlakuan tidak adil dari majikannya (entah itu perlakuan yang tidak senonoh atau kekerasan yang dilakukan majikan). Hal ini tentu saja menambah panjang daftar penderitaan perempuan.

Lemahnya perlindungan pemerintah terhadap buruh migran, telah menjadikan kondisi mereka bertambah buruk. Jika kita mencermati berita di media massa, berita tentang kekerasan terhadap buruh migran masih sering dijumpai. Entah itu kasus buruh migran yang meninggal di tempat kerja, gaji yang tidak dibayar, atau mendapat perlakuan kasar dari majikan.

Persoalan tidak berhenti sampai di sini. Ada hal lain yang patut diperhatikan, yaitu keluarga buruh migran. Jeratan kemiskinan dan keinginan untuk memperoleh kehidupan yang baik membuat seseorang memutuskan untuk bekerja di luar negeri. Seorang perempuan kemudian harus rela meninggalkan keluarganya. Lalu apa dampaknya? Saya pernah menemui kasus di mana seorang perempuan menjadi buruh migran, setiap tahunnya dia mengirimi uang kepada keluarganya. Tapi apa yang terjadi pada suaminya? Tanpa memikirkan istrinya yang sedang bekerja di luar negeri, serta dengan enaknya menikmati pengahsilan yang dikirimkan istrinya, ia menikah dengan perempuan lagi atau selingkuh. Lagi, suatu bentuk ketidakadilan terhadap perempuan.

Lalu bagaimana dengan anak yang ditinggalkan? Ternyata dia tumbuh dengan kurang kasih saying dan perhatian. Ini tentu saja merupakan bentuk pengingkaran terhadap hak anak. Ayah yang seharusnya mampu mengasuh dan mendidik anaknya (menjadi single parent sementra), tidak menjalankannya. Ini tidak lepas dari anggapan bahwa mengasuh anak adalah tugas perempuan, sehingga laki-laki kurang memiliki tanggung jawab atas hal ini. Ini bila ibunya saja yang menajdi buruh migran. Bagaimana jika kedua orang tuanya menjadi buruuh migran? Anda tentu bisa membayangkan apa akibatnya bukan? Seringkali anak-anak ini terpengaruh hal-hal negatif di lingkungannya. Karena kurangnya perhatian dan kasih sayang orang tua, proses tumbuh kembangnya terganggu. Namun tentu saja kita tidak bisa menyalahakan seseorang mencari penghasilan di luar negeri bukan?

Masalah anak ternyata tidak berhenti sampai di situ saja. Dalam beberapa kasus buruh migran, ada di antara mereka yang melahirkan anak-anak indo. Anak-anak ini selanjutnya tinggal bersama mereka di desanya. Mereka memiliki hidung mancung khas orang Arab atau warna kulit yang berbeda dengan kulit anak kebanyakan. Berbeda dengan dunia entertainment kita dimana orang indo pasti ‘laku’, tidak begitu dengan mereka. Karena staus mereka yang tidak jelas dan perbedaan fisik yang mencolok, mereka mendapatkan perlakuan yang tidak adil. Entah itu cemoohan atau dijauhi teman-temannya. Hal semacam ini tentu saja akan berdampak buruk dalam perkembangan mental anak-anak. Mereka adalah realita yang tidak bisa dipungkiri keadaannya, dan adilkah bila mereka mendapat perlakuan semacam itu?

Apa yang dituliskan di sini tentu saja tidak bisa mengungkapkan realita permasalahan buruh migran secara komprehensif. Pun begitu, semoga bisa menjadi awal kepedulian terhadap masalah buruh migran dan mau ikut memperjuangkannya. Kadang terpikir juga dalam benak saya, salah siapa ini? Entahlah… jeratan kemiskinan telah menyebabkan bayak orang terperangkap dalam lingkaran setan kemiskinan. Buruh migran adalah salah satu dari banyak masalah akibat lingkaran kemiskinan. Masih tentang buruh migran, saya tidak bisa membayangkan betapa banyak lagi masalah mengenai buruh migran yang akan kita jumpai di media massa, terkait dengan kebijakan pemerintah menaikkan angka pengiriman buruh migran sebesar 200%.

Saturday, October 14, 2006

jeratan kemiskinan: tentang BMI

0

Buruh migran memang suatu masalah yang cukup kompleks. Bagaimana tidak, dari masalah pemberangkatan yang seringkali merupakan hal ilegal atau terperangkap dalam kasus trafiking sampai masalah perlakuan yang nanti mereka terima dari majikannya. Namun ternyata masalahnya tidak cukup sampai di situ saja, masih ada masalah lain yaitu menyangkut keluarga yang mereka tinggalkan.
Rata-rata buruh migran adalah perempuan, yah dibanding laki-laki, perempuan lebih laku sebagai buruh migran. mungkin karena kebanyakan lapangan pekerjaan yang tersedia berkaitan dengan kerja rumah tangga (dan bukankah perempuan selama ini selalu dikaitkan dengan kerja rumah tangga, meski kerja itu bukanlah sepenuhnya milik perempuan, atau karen aupah buruh perempuan yang lebih murah daripada buruh laki-laki). Jika kita meninjau lebih lanjut apa yang terjadi dengan keluarga buruuh migran perempuan ini. Saya pernah menemukan kasus, suami yang ditinggal istrinya untuk bekerja di luarnegeri, malah kemudian menikah dengan perempuan lain dan dia selalu menerima uang kiriman dari istrinya. Apakah ini suatu hal yang adil?
Belum lagi dengan masalah anak, anak yang ditinggalkan seringkali kurang kasih sayang dan perhatian, dampaknya dia bisa terpengaruh hal-hal negatif. Belum lagi bila anak tersebut ditinggalkan oleh orang tuanya yang sama-sama menjadi buruh migran. atau dia ditinggal oleh ibunya yang menjadi buruh migran, sementara ayahnya juga bekerja (masih di dalam negeri). Yang kebanyakan terjadi, saat anak ditinggalkan oleh Ibunya ke luar negeri, seharusnya ayah di sini memiliki peran untuk mengasuh anak. namun kenyataannya tidak begitu. anggapan yang tertanam sejak dahulu bahwa perempuan memiliki tanggung jawab untuk mengasuh anak membuat suami tidak memiliki kepedulian terhadap masalah anak. dann mengelak untuk disalahkan saat terjadi sesuatu dengan sang anak. kembali dipertanyakan apakah ini adil?
mencermati masalah anak tersebut, berarti merupakan pengingkaran terhadap hak anak untuk mendapatkan kasih sayang. namun tentu saja kita tidak bisa melarang seseorang untuk mencari pekerjaan sebagai buruh migran.Lalu siapa yang salah di sini?
Jeratan kemiskinan telah mengakibatkan msalah yang kompleks, dan memposisikan orang dalam lingkaran setan kemiskinan. Apakah negara peduli tentang masalah ini? Entahlah, tapi kupikir tidak, karena buktinya pemrintah akan menaikkan angka pengiriman buruh migran hingga 200%. APa akibatnya? tentu saja akan banyak kasus-kasus buruh migran dan juga anak-anak yang ditelantarkan.