Thursday, August 09, 2007

Tentang Mie Instan

1

Saat saya berkunjung ke rumah teman saya - laki-laki, lajang- di tempat sampahnya ada banyak tumpukan bungkus mie instant. Persediaan mie instant di lemarinya pun lumayan banyak.

Di suatu daerah, saya menjumpai seorang ibu dan anaknya (+ 1 tahun. Sang ibu tengah menyuapi anaknya dengan mie instant.

Saat saya berbelanja di sebuah supermarket di Bandung, terlihat oleh saya, seorang ibu (perempuan) dengan kereta dorong yang di dalamnya terdapat banyak mie instant. Di rak supermarket itupun terlihat berbagai macam mie instant dengan berbagai rasa, mulai harga Rp 450,00 sampai Rp 1.500,00.

Mie instant selain akrab di kalangan mahasiswa juga akrab di saat situasi darurat. Misalnya sebagai bantuan bagi korban bencana. Saat saya menjadi relawan gunung akan meletus (gunung merapi) di Jogja dan gempa Jogja, mie instant menjadi salah satu bahan makanan yang banyak diberikan kepada para pengungsi.

Mie instant memang telah begitu popular di Indonesia. Di stasiun televisipun iklan mie instan cukup banyak. Sayang saya belum pernah menghitung, dalam sehari dalam sebuah stasiun televisi ada berapa iklan mie instan.

Saat saya live in di sebuah daerah, mie instan dapat dikatakan makanan yang cukup mewah. Dan layak dihidangkan untuk tamu. Sementara itu, tidak jarang saya melihat anak-anak kecil memakan mie instan tanpa dimasak. Saat orang hajatpun (misal, menikah), oleh-oleh kepada penyumbang terkadang berbentuk mie instan.

Namanya juga mie instan, cara penyajiannya pun instan. Cukup 15 menit, mie rebus atau mie goreng sudah siap untuk dinikmati. Rasanya pun standar, rasa mie instan!
Fenomena mie instan memang sudah demikian populer, baik di desa ataupun di kota. Makanan inipun dikonsumsi oleh berbagai kalangan. Selain sebagai teman nasi, mie instan juga dikonsumsi sebagai pengisi perut dan tidak sekedar makanan mendadak. Pada tahun 1997, perkiraan tingkat konsumsi mie instan perorangan per tahun di Indonesia adalah sebesar 42,3 bungkus, dan pada tahun 1998, naik menjadi 39, 1 bungkus (Republika, 11 September 2000).

Sebenarnya sudah lama saya ingin menulis tentang ini, namun baru kesampaian sekarang.

Sejarah Mie InstanMeskipun mie atau bakmi dikenalkan oelh etnis Tiongkok dan berasal dari daratan Tiongkok, namun mie instan justru lahir di Jepang, atau lebih dikenal dengan nama mie ramen.

Pada tahun 1958, Momofuku Ando – pendiri pabrik makanan Nissin – mulai memperkenalkan makanan olahan mie instan yang dikenal sebagai chicken ramen. Pada tahun 1971, Nissin memperkenalkan produk mie instan di AS dan setahun kemudian telah memiliki pabrik mie instan di AS (Seymour Cooked Food Research International), London, UK dalam GAPMMI Newsletter, 5 Oktober 2000 dalam Monika Evandaru, et al, Perempuan Post Kolonial dan Identitas Global, hal 53).

Di Indonesia, mie instan diperkenalkan mulai tahun 1969 oleh PT Lima Satu Sakyu Industri Pangan yang memproduksi Super Mie. Pada tahun 1993, telah berdiri 26 perusahaan mie instan dengan 31 pabrik untuk mensuplai kebutuhan mie instan di Indonesia (Evandaru., et al, ibid, hal 54). Dengan sekitar 50 merek dagang, pasar mie instan di Indonesia mampu menyerap + 8, 6 juta bungkus per tahun.

Industri Mie Instan
Produsen terbesar mie instan di Indonesia adalah PT Sanmaru (Indofood Group), yang sebagian besar sahamnya dimiliki oleh Salim Group.

Angka produksi mie instan di Indonesia pada tahun 1999 mencapai 5,2 milyar bungkus. Jika per tahunnya pasar mie instan mampu menyerap 8, 6 juta bungkus, dan harga rata-rata mie instan adalah Rp 900,00, maka diperkirakan industri ini bisa meraup uang sebesar 7.740.000.000. Sungguh angka yang cukup fantastis, bukan?

Selain sebagai produsen mie instan terbesar di Indonesia, PT Indofood Sukses Makmur Group masih diuntungkan lagi karena tepung terigu – bahan baku mie instan – diperoleh dari PT Bogasari, yang masih berada di bawah bendera Salim Group.
PT Bogasari yang didirikan pada tahun 1971, memegang hak tunggal penggilingan gandum yang diimpor Bulog. Bisa dipastikan, PT Indofood mampu memperoleh bahan baku dengan harga rendah.

Konsumsi bahan pangan dari gandum atau tepung terigu di Indonesia nampak meningkat pesat. Impor gandum ke Indonesia sebelumnya mencapai 4 juta ton. Pada tahun 2000, jumlah mie instan dari bahan gandum yang diperkirakan terjual di Indonesia mencapai 8, 6 milyar bungkus (The Jakarta Post, 30 Agustus 1999).

Meluasnya konsumsi gandum tidak bisa lepas dari kebijakan AS. Pada tahun 1954, Kongres mengeluarkan kebijakan Public Law 480 (PL480), untuk mengembangkan dan memperluas pasar komoditi pertanian AS, memanfaatkan kelimpahan produksi pertanian AS untuk memerangi kelaparan dan mendorong pembangunan ekonomi negara sedang berkembang (Evandaru., et al., hal 48).

PL480 inilah yang memungkinkan masuknya gandum ke negara dunia ketiga, dalam jumlah banyak dan murah. Indonesia mulai mengimpor biji gandum dari AS sejak tahun 1970an. Sejak tahun itu, sampai dengan 1998, monopoli pengolahan gandum impor diserahkan Bulog ke PT Bogasari Flour Mills yang dimiliki Liem Sie Liong (Evandaru, hal 48-9).
Konsumsi terigu di Indonesia dipakai untuk bahan makanan berupa bakmi basah (52%), mie instan (20%), biskuit (20%), roti (15%), mie telor (8%), dan 5 % langsung dikonsumsi oleh masyarakat (Republika, 20 Juli 1999).

Untuk menekan harga tepung terigu di dalam negeri, pemerintah mensubsidi PT Bogasari. Menurut INDEF, pemerintah mensubsidi sebesar 760 milyar rupiah dengan perhitungan harga impor gandum Rp 418,00/ kg. Bogasari membeli dari Bulog hanya Rp 141,00/ kg. Jadi ada subsidi sebesar Rp 277,00/ kg. Subsidi ini tidak diterima oleh rakyat secara langsung, karena konsumen terigu terbesar adalah Indofood, jadi bisa dipastikan penikmat terbesar subsidi tersebut bukan rakyat, tetapi Indofood.

1 komentar:

Anonymous said...

sayangnya banyak orang indonesia pada suka mie instan..
coba deh nanya, siapa yang nggak pernah makan indomie??