Persoalan buruh migran merupakan persoalan yang kompleks. Meskipun Indoensia merupakan negara pengirim buruh migran dalam jumlah yang besar, toh hal ini tidak serta merta menjadikan kebijakan pemerintah menjadi pro buruh migran. Hal ini tentu saja kontras, dengan realita yang menunjukkan betapa buruh migran telah menjadi penghasil devisa dalam jumlah yang tidak sedikit.
Persoalan buruh migran dapat dikatakan cukup kompleks, mulai dari proses perekrutannya hingga saat kembali ke tanah air. Pada proses perekrutannya, banyak dijumpai kasus buruh migran illegal, yang tentu saja akan berpengaruh pada nasibnya di luar negeri. Tidak hanya itu saja, alih-alih menawarkan kerja sebagai PRT (Pembantu Rumah Tangga) atau buruh pabrik, ternyata banyak calon buruh migran yang ditipu menjadi PSK (pekerja Seks Komersial). Dari sini bisa dilihat eratnya masalah trafiking dengan buruh migran.
Adalah suatu realita, jika sebagian besar buruh migran adalah perempuan. Untuk masalah ini perempuan tampaknya lebih ‘laku’ ketimbang laki-laki. Hal ini tentu saja tidak lepas dari pengidentikan perempuan dengan kerja rumah tangga selain tentu saja upahnya yang lebih murah ketimbang buruh laki-laki. Budaya menerima dan belum disadarinya hak-hak perempuan oleh perempuan yang menjadi buruh migran, acapkali menjadikan mereka sasaran perlakuan tidak adil dari majikannya (entah itu perlakuan yang tidak senonoh atau kekerasan yang dilakukan majikan). Hal ini tentu saja menambah panjang daftar penderitaan perempuan.
Lemahnya perlindungan pemerintah terhadap buruh migran, telah menjadikan kondisi mereka bertambah buruk. Jika kita mencermati berita di media massa, berita tentang kekerasan terhadap buruh migran masih sering dijumpai. Entah itu kasus buruh migran yang meninggal di tempat kerja, gaji yang tidak dibayar, atau mendapat perlakuan kasar dari majikan.
Persoalan tidak berhenti sampai di sini. Ada hal lain yang patut diperhatikan, yaitu keluarga buruh migran. Jeratan kemiskinan dan keinginan untuk memperoleh kehidupan yang baik membuat seseorang memutuskan untuk bekerja di luar negeri. Seorang perempuan kemudian harus rela meninggalkan keluarganya. Lalu apa dampaknya? Saya pernah menemui kasus di mana seorang perempuan menjadi buruh migran, setiap tahunnya dia mengirimi uang kepada keluarganya. Tapi apa yang terjadi pada suaminya? Tanpa memikirkan istrinya yang sedang bekerja di luar negeri, serta dengan enaknya menikmati pengahsilan yang dikirimkan istrinya, ia menikah dengan perempuan lagi atau selingkuh. Lagi, suatu bentuk ketidakadilan terhadap perempuan.
Lalu bagaimana dengan anak yang ditinggalkan? Ternyata dia tumbuh dengan kurang kasih saying dan perhatian. Ini tentu saja merupakan bentuk pengingkaran terhadap hak anak. Ayah yang seharusnya mampu mengasuh dan mendidik anaknya (menjadi single parent sementra), tidak menjalankannya. Ini tidak lepas dari anggapan bahwa mengasuh anak adalah tugas perempuan, sehingga laki-laki kurang memiliki tanggung jawab atas hal ini. Ini bila ibunya saja yang menajdi buruh migran. Bagaimana jika kedua orang tuanya menjadi buruuh migran? Anda tentu bisa membayangkan apa akibatnya bukan? Seringkali anak-anak ini terpengaruh hal-hal negatif di lingkungannya. Karena kurangnya perhatian dan kasih sayang orang tua, proses tumbuh kembangnya terganggu. Namun tentu saja kita tidak bisa menyalahakan seseorang mencari penghasilan di luar negeri bukan?
Masalah anak ternyata tidak berhenti sampai di situ saja. Dalam beberapa kasus buruh migran, ada di antara mereka yang melahirkan anak-anak indo. Anak-anak ini selanjutnya tinggal bersama mereka di desanya. Mereka memiliki hidung mancung khas orang Arab atau warna kulit yang berbeda dengan kulit anak kebanyakan. Berbeda dengan dunia entertainment kita dimana orang indo pasti ‘laku’, tidak begitu dengan mereka. Karena staus mereka yang tidak jelas dan perbedaan fisik yang mencolok, mereka mendapatkan perlakuan yang tidak adil. Entah itu cemoohan atau dijauhi teman-temannya. Hal semacam ini tentu saja akan berdampak buruk dalam perkembangan mental anak-anak. Mereka adalah realita yang tidak bisa dipungkiri keadaannya, dan adilkah bila mereka mendapat perlakuan semacam itu?
Apa yang dituliskan di sini tentu saja tidak bisa mengungkapkan realita permasalahan buruh migran secara komprehensif. Pun begitu, semoga bisa menjadi awal kepedulian terhadap masalah buruh migran dan mau ikut memperjuangkannya. Kadang terpikir juga dalam benak saya, salah siapa ini? Entahlah… jeratan kemiskinan telah menyebabkan bayak orang terperangkap dalam lingkaran setan kemiskinan. Buruh migran adalah salah satu dari banyak masalah akibat lingkaran kemiskinan. Masih tentang buruh migran, saya tidak bisa membayangkan betapa banyak lagi masalah mengenai buruh migran yang akan kita jumpai di media massa, terkait dengan kebijakan pemerintah menaikkan angka pengiriman buruh migran sebesar 200%.
Monday, November 06, 2006
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
1 komentar:
setuju....
kompleksitas masalah perempuan memang sudah terlalu ruwet..
satu sama lain saling berhubungan sebab akibat...
jika kita uraikan.. mana yang harus diperbaiki lebih dahulu... kita tak tahu yang mana dulu...
..
mungkin dibutuhkan lebih dari hanya sekedar lembaga yang berkonsentrasi pada trafficking women... namun.. harus terpadu dengan lembaga yang care dengan pendidikan dasar.. lembaga yang membela anak anak.. lembaga yang menuntut departemen terkait.. wah.. kompleks kan???
liat teater nya bu sarumpaet ndak?>> yang judulnya "JAMILA dan SANG PRESIDEN"..?
Post a Comment