Monday, November 06, 2006

merindukan cerita berperspektif anak

1

Bila kita mencermati dongeng-dongeng atau cerita saat kita masih kecil, banyak yang tidak pro-anak. Atau banyak dari cerita tersebut yang tidak melihat sisi perasaan anak atau memperhitungkan bagaimana perspektif anak mengenai hal tersebut. Rasanya semua hanya melihat dari perspektif orang dewasa atau menceritakan bagaimana seharusnya anak bersikap.

Misalnya cerita Malin Kundang yang demikian popular. Yang kita ketahui adalah Malin Kundang adalah anak durhaka. Jika kita durhaka, kita bisa dikutuk, dsb… Namun adakah kita mencermati, mengapa Malin bisa seperti itu? Kita semua pasti setuju jika pola pengasuhan anak membawa dampak terhadap perkembangan karakter anak (baca deh pengasuhan anak di blogs ini). Nah mengapa tidak diceritakan bagaimana pengasuhan yang dilakukan oleh orang tuanya? Hal yang sama juga untuk cerita Batu Menangis.

Lalu mengenai cerita Sangkuriang, apakah kita akan berpihak pada Dayang Sumbi? Bukan salah Sangkuriang jika ia ingin menyenangkan hati ibunya dengan menyembelih Tumang. Dan bukan salah Sangkuriang, jika dia tidak mengetahui bahwa Tumang adalah ayahnya. Mungkin hal semacam ini yang sepertinya lepas dari pencermatan kita.

selain itu banyak pula cerita-cerita yang menggambarkan bagaimana keberuntungan selalu berpihak pada anak bungsu. pernahkah kita berpikir bagaimana dengan perasaan anak sulung, yang biasanya malah menjadi tokoh antagonis?

Bagi saya, bukan masalah benar atau salah dalam cerita tersebut. Tetapi juga bagaimana kita memperhatikan pula perspektif anak. Mereka pasti memiliki tanggapan tersendiri mengenai cerita anak yang disampaikan padanya. Entah itu mereka tidak suka karena ceritanya selalu menceritakan anak bungsu yang selalu mendapatkan segalanya, dan sebagainya. Sebagai orang yang pernah mengalami menajdi anak, pasti kita juga pernah memiliki pikiran semacam itu.

tentang buruh migran

1

Persoalan buruh migran merupakan persoalan yang kompleks. Meskipun Indoensia merupakan negara pengirim buruh migran dalam jumlah yang besar, toh hal ini tidak serta merta menjadikan kebijakan pemerintah menjadi pro buruh migran. Hal ini tentu saja kontras, dengan realita yang menunjukkan betapa buruh migran telah menjadi penghasil devisa dalam jumlah yang tidak sedikit.

Persoalan buruh migran dapat dikatakan cukup kompleks, mulai dari proses perekrutannya hingga saat kembali ke tanah air. Pada proses perekrutannya, banyak dijumpai kasus buruh migran illegal, yang tentu saja akan berpengaruh pada nasibnya di luar negeri. Tidak hanya itu saja, alih-alih menawarkan kerja sebagai PRT (Pembantu Rumah Tangga) atau buruh pabrik, ternyata banyak calon buruh migran yang ditipu menjadi PSK (pekerja Seks Komersial). Dari sini bisa dilihat eratnya masalah trafiking dengan buruh migran.

Adalah suatu realita, jika sebagian besar buruh migran adalah perempuan. Untuk masalah ini perempuan tampaknya lebih ‘laku’ ketimbang laki-laki. Hal ini tentu saja tidak lepas dari pengidentikan perempuan dengan kerja rumah tangga selain tentu saja upahnya yang lebih murah ketimbang buruh laki-laki. Budaya menerima dan belum disadarinya hak-hak perempuan oleh perempuan yang menjadi buruh migran, acapkali menjadikan mereka sasaran perlakuan tidak adil dari majikannya (entah itu perlakuan yang tidak senonoh atau kekerasan yang dilakukan majikan). Hal ini tentu saja menambah panjang daftar penderitaan perempuan.

Lemahnya perlindungan pemerintah terhadap buruh migran, telah menjadikan kondisi mereka bertambah buruk. Jika kita mencermati berita di media massa, berita tentang kekerasan terhadap buruh migran masih sering dijumpai. Entah itu kasus buruh migran yang meninggal di tempat kerja, gaji yang tidak dibayar, atau mendapat perlakuan kasar dari majikan.

Persoalan tidak berhenti sampai di sini. Ada hal lain yang patut diperhatikan, yaitu keluarga buruh migran. Jeratan kemiskinan dan keinginan untuk memperoleh kehidupan yang baik membuat seseorang memutuskan untuk bekerja di luar negeri. Seorang perempuan kemudian harus rela meninggalkan keluarganya. Lalu apa dampaknya? Saya pernah menemui kasus di mana seorang perempuan menjadi buruh migran, setiap tahunnya dia mengirimi uang kepada keluarganya. Tapi apa yang terjadi pada suaminya? Tanpa memikirkan istrinya yang sedang bekerja di luar negeri, serta dengan enaknya menikmati pengahsilan yang dikirimkan istrinya, ia menikah dengan perempuan lagi atau selingkuh. Lagi, suatu bentuk ketidakadilan terhadap perempuan.

Lalu bagaimana dengan anak yang ditinggalkan? Ternyata dia tumbuh dengan kurang kasih saying dan perhatian. Ini tentu saja merupakan bentuk pengingkaran terhadap hak anak. Ayah yang seharusnya mampu mengasuh dan mendidik anaknya (menjadi single parent sementra), tidak menjalankannya. Ini tidak lepas dari anggapan bahwa mengasuh anak adalah tugas perempuan, sehingga laki-laki kurang memiliki tanggung jawab atas hal ini. Ini bila ibunya saja yang menajdi buruh migran. Bagaimana jika kedua orang tuanya menjadi buruuh migran? Anda tentu bisa membayangkan apa akibatnya bukan? Seringkali anak-anak ini terpengaruh hal-hal negatif di lingkungannya. Karena kurangnya perhatian dan kasih sayang orang tua, proses tumbuh kembangnya terganggu. Namun tentu saja kita tidak bisa menyalahakan seseorang mencari penghasilan di luar negeri bukan?

Masalah anak ternyata tidak berhenti sampai di situ saja. Dalam beberapa kasus buruh migran, ada di antara mereka yang melahirkan anak-anak indo. Anak-anak ini selanjutnya tinggal bersama mereka di desanya. Mereka memiliki hidung mancung khas orang Arab atau warna kulit yang berbeda dengan kulit anak kebanyakan. Berbeda dengan dunia entertainment kita dimana orang indo pasti ‘laku’, tidak begitu dengan mereka. Karena staus mereka yang tidak jelas dan perbedaan fisik yang mencolok, mereka mendapatkan perlakuan yang tidak adil. Entah itu cemoohan atau dijauhi teman-temannya. Hal semacam ini tentu saja akan berdampak buruk dalam perkembangan mental anak-anak. Mereka adalah realita yang tidak bisa dipungkiri keadaannya, dan adilkah bila mereka mendapat perlakuan semacam itu?

Apa yang dituliskan di sini tentu saja tidak bisa mengungkapkan realita permasalahan buruh migran secara komprehensif. Pun begitu, semoga bisa menjadi awal kepedulian terhadap masalah buruh migran dan mau ikut memperjuangkannya. Kadang terpikir juga dalam benak saya, salah siapa ini? Entahlah… jeratan kemiskinan telah menyebabkan bayak orang terperangkap dalam lingkaran setan kemiskinan. Buruh migran adalah salah satu dari banyak masalah akibat lingkaran kemiskinan. Masih tentang buruh migran, saya tidak bisa membayangkan betapa banyak lagi masalah mengenai buruh migran yang akan kita jumpai di media massa, terkait dengan kebijakan pemerintah menaikkan angka pengiriman buruh migran sebesar 200%.

Sunday, November 05, 2006

pengasuhan anak

0


Membicarakan masalah anak merupakan hal yang menarik bagi saya. Bahkan menurut saya, masalah ini tidak lekang dimakan waktu. Bagaimana tidak, karena kita memiliki pengalaman sebagai anak-anak dan kita semua pasti bersinggungan dengan anak-anak, entah itu anak kita, adik, keponakan, anak tetangga atau anak orang…

Saya termasuk orang yang percaya bahwa setiap anak memiliki watak baik. Namun begitu, dalam perkembangannya, watak inipun berfluktuasi seiring dengan pola pengasuhan dan lingkungan si anak. Anak yang dibesarkan dalam keluarga yang terbuka akan perubahan tentu berbeda dengan anak yang dibesarkan pada keluarga yang konservatif. Berkaitan dengan masalah pengasuhan anak, sebuah pepatah mengatakan:
Jika anak dibesarkan dengan celaan, ia akan belajar menghina
Jika anak dibesarkan dengan pujian, ia akan belajar menghargai
…. (waduh saya lupa lanjutannya, besok kalo sudah inget saya lanjutkan lagi)

Tulisan ini bukan untuk menyalahkan keluarga atas terbentuknya perilaku anak yang buruk. Namun begitu, tulisan ini hendak mengajak kita sama-sama melihat bagaimana pola pengasuhan mempengaruhi pola pikir dan pribadi anak di masa depan. Hal yang perlu kita ingat adalah, anak tidak serta merta lahir sebagai anak nakal, anak baik, anak yang patuh, anak bandel, dsb.

Hal yang sering dilupakan dalam pengasuhan anak, atau mengawal tumbuh kembang anak atau berkomuniaksi dengan anak, adalah pengalaman orang dewasa sebagai anak. Menurut saya ini penting, karena dalam pengasuhan anak penting kiranya untuk memahami perasaan anak. Sayangnya, begitu menjadi orang dewasa hal ini acap kita lupakan karena kita cenderung berpikiran mengetahui apa yang terbaik bagi anak. Lagipula dalam hubungan anak-orang dewasa, anak berada dalam posisi sub-ordinat. Pendapat dan keinginannya seringkali tak diindahkan oleh orang dewasa. Cobalah kita berpikir sejenak. Saat kita kecil dahulu, perlakuan dari orang dewasa apa yang tidak kita sukai, dan apakah saat kita menjadi orang dewasa kita justru melakukan hal tersebut?

Hal lain yang acap dilupakan adalah, penghargaan atas keberadaan anak. Penting bagi kita sebagai orang dewasa untuk menghargai apa yang telah dilakukan anak, dan bukan justru membanding-bandingkannya dengan orang lain. Jika tidak, maka anak akan tumbuh dengan ketidakpercayaan diri serta ragu dalam mengambil keputusan yang menyangkut ats dirinya, karena dia selalu berpikir untuk tidak mengecewakan orang tuanya. Setiap anak adalah pribadi yang unik, dan banggalah atas dirinya. Every children is special.

Demikian halnya dengan pelabelan pada diri anak. Misalnya seorang anak yang dicap anak nakal. Percaya atau tidak, tapi dia akan menganggap dirinya nakal. Atau seringkali orang dewasa emlabeli anak yang atraktif dan banyak bertanya sebagai anak nakal. Padahal memang demikianlah anak-anak, jika ia banyak bergerak atau ingin tahu tentang banyak hal. Tugas kita sebagai orang dewasa adalah membimbing mereka, memastikan mereka tumbuh dengan baik. Jangan lantas mematikan kekritisan dan potensi mereka.

Anak menurut saya adalah pribadi yang sensitive, mereka begitu peka dengan keadaan di sekelilingnya dan juga perlakuan yang mereka dapatkan dari orang-orang di sekeliling mereka. Menurut saya, penting bagi kita untuk tidak menyalahkan atas perbuatan yang mereka lakukan. Namun berkomunikasi sebagai teman mereka, mengapa mereka melakukan hal tersebut. Kita akan tahu, jangan-jangan bukan kesalahan mereka, namun akibat dari tindakan mereka atau niatnya baik hanya saja mereka belum tahu caranya.

Pola pengasuhan berdampak besar terhadap perkembangan pribadi anak. Karena melalui mekanisme ini nilai ditransfer kepada anak. Melalui mekanisme ini, anak akan belajar, karena anak tidak hanya belajar dari apa yang anda sampaikan kepadanya. Dia belajar pula dari bagaimana anda bersikap, berkata dsb..

Anak bagai selembar kertas polos. Coretan atau gambaran apa yang nantinya akan ada dalam kertas polos tersebut, tergantung dari bimbingan, ajaran dan pengasuhan orang dewasa. Dan hal penting yang patut kita ingat adalah, anak bukan milik kita. Mereka adalah milik mereka sendiri. Tugas kita sebagai orang dewasa adalah memastikan mereka tumbuh dan berkembang dengan baik, sehingga nantinya mereka menjadi orang dewasa yang baik.

Bandung, 3 November 2006