Friday, May 04, 2012

sebuah surat untuk teman-teman kecilku

0



masihkah kalian ingat bersama kita ke museum Bahari? Rasanya masih jelas memori itu di ingatanku, bahkan hingga hari ini

Apa kabar kalian, kawan-kawan kecilku?

Kali ini kerinduan kepada kalian terasa sangat, bukan karena sepi yang merecah-recah atau penat yang tidak berkesudahan, tapi karena aku benar-benar merindu kalian. Aku mungkin tak bisa mengingat semua nama kalian, mungkin aku yang sudah menua untuk bisa mengingat nama kalian satu persatu; namun setiap memori yang kita lalui bersama masih tersimpan jelas di ingatanku.

Senja kala itu, ketika pertama kali aku menjejakkan kaki di tempat kalian tinggal, di utara ibukota. Mungkin adalah jodoh, jika kemudian kami memutuskan untuk berhenti di sebuah tempat tak jauh dari sungai yang tak lagi jernih airnya serta berbagai jenis sampah yang menggunung. Kami memutuskan untuk melangkah lebih jauh ke perkampungan itu, ke rumah-rumah yang berhimpit satu sama lain, sangat rapat.

Adalah kegelisahan yang menyeruak, ketika melangkah lebih jauh ke tempat kalian tinggal. Jika aku selalu menggerutu tentang masa kecil aku, tentang orang tuaku yang tak membelikan mainan baru, atau tak sering mengajakku berwisata ke tempat yang indah-indah di luar sana, luluh lantak semua itu. Mungkin karena keadaan hingga kalian tumbuh dewasa lebih cepat dan memahami realitas kehidupan yang sebenarnya. Atau terjebak dalam mimpi-mimpi yang ditawarkan tayangan televisi..

Adalah kegelisahan jika kemudian kami memutuskan untuk mengenal kalian, dalam sebuah tempat bernama “sabana.” Mungkin adalah harapan kami yang berlebihan untuk menjadikan ruang ini sebagai padang rumput di sana. Ini tidak hanya tentang kami yang berbagi sedikit ilmu yang dipunya, tapi juga tentang kami yang belajar dari kalian. Rasanya uang 120 ribu rupiah yang kusisihkan tiap bulan untuk membayar kontrakan, tempat kita bermain bersama tak sebanding dengan apa yang aku rasakan ketika bertemu kalian, kawan-kawan kecilku.
Masih ingatkah kalian dengan lagu yang sering kita nyanyikan bersama sebelum kita mulai acara “belajar” bersama?
            lihat kebun tebu, itulah kampungku
            ada sungainya dan ada rumahku
            setiap hari kubersihkan slalu
ingin rasanya, kujadikan indah

Masih teringat betapa antusiasnya kalian menyanyikan lagu itu, lagu sederhana gubahan kami dari lagu anak-anak “lihat kebunku.”

Kala itu, kami tak pernah tau kemana nantinya ‘sabana’ bermuara. Yang aku tau, ‘sabana’ membantuku menjadi kuat. Ketika aku terpuruk, sakit hati; bermain dan berinteraksi dengan kalian adalah bagian dari proses menyembuhkan. Hingga akhirnya aku memutuskan untuk meninggalkan ‘sabana’ untuk sebuah mimpi yang lain. Hidup adalah pilihan, dan pilihan untuk meninggalkan kalian kala itu adalah pilihan yang berat dan menyakitkan bagiku.

Kadang bertanya, berartikah bagi kalian semua ini. Tapi tentu saja, ini bukan tentang membuat mie instant yang dalam waktu 10 menit sudah ada hasilnya. Meski ada rasa senang ketika mengajarkan kalian untuk bermimpi, sekaligus rasa sedih juga ketika menemui kalian bermimpi dan kenyataan mencabut mimpi itu hingga membuat jauh. Adalah Agung, dia anak yang cerdas dan tak jarang membantu kami dalam proses ‘belajar’ di sana. Dialah yang paling antusias dengan semua cerita yang kami ceritakan, tentang antariksa, tentang negeri-negeri yang jauh di sana atau tentang bung Karno yang tak pernah kehilangan semangat untuk membaca. Kenyataan membuatnya berhenti bermimpi sejalan dengan pupusnya harapan untuk bisa kembali bersekolah ketika kenyataan berkata lain. Alih-alih menjadi pilot seperti yang pernah ia katakan, berujung menjadi kuli angkut di pasar. Jika ada yang saya sesali dalam hidup saya, ini adalah salah satunya, tak benar-benar berusaha kala itu.

Jika boleh diberikan kesempatan lagi, ingin aku kembali belajar bersama kalian, meretas asa dan membangun mimpi bersama. 

0 komentar: