Saturday, April 12, 2008

Membangun Mutual Trust Masyarakat

1

Secara astronomis, Indonesia terletak di 6LU - 11LS dan 95BT-141BB serta berada di antara 2 benua dan 2 samudera, yaitu benua Asia dan Australia, serta samudera Hindia dan Pasifik. Dengan luas wilayah kurang lebih 1, 8 mil persegi, Indonesia terdiri dari lebih dari 17.000 pulau, baik besar ataupun kecil. Kebhinekaan Indonesia adalah sebuah keniscayaan, di mana Indonesia memiliki keragaman, baik dari segi etnis, suku, agama, budaya dan bahasa di tingkat lokal. Dengan realitas tersebut, Indonesia memiliki pluralitas tertinggi di dunia, di mana penduduknya berjumlah sekitar 212 juta orang, yang terdiri dari kurang lebih 540 suku bangsa dengan adat istiadat, bahasa, kesenian dan kepercayaan yang beraneka ragam. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia dengan kompleks kebudayaannya masing-masing adalah plural (jamak) sekaligus homogen. Pluralitas di sini dapat dipahami sebagai sebuah kejamakan di mana berbagai sub kelompok masyarakat di Indonesia tidak bisa disatukan dan berbeda satu sama lain. Selanjutnya, kelompok-kelompok suku-suku bangsa ini sebagian besar bermukim secara berdampingan satu sama lain tanpa adanya batas-batas khusus untuk masing-masing etnis, agama dan pelapisan sosial. Interaksi antar kelompok ini sangat rentan terhadap timbulnya konflik, mengingat mereka berasal dari latar belakang yang berbeda.

Berdasarkan hal tersebut, dapat dilihat tingginya keberagaman di Indonesia. Keberagaman di satu sisi merupakan kekayaan yang dimiliki oleh suatu bangsa. Pun demikian di sisi yang lain keberagaman berpotensi untuk memicu terjadinya konflik. Oleh karenanya, dalam masyarakat yang relatif homogen, konflik relatif jarang ditemui, sehingga integrasi nasional lebih mudah dicapai. Dalam konteks Indonesia, dimana Negara ini dibentuk dalam perbedaan dan keragaman, maka perbedaan dalam berbagai aspek kehidupan sudah seharusnya menumbuhkan kesadaran untuk hidup bersama yang dilandasi oleh sikap mutual trust (saling percaya).

Perbedaan kultur dan identitas di Indonesia yang cukup luas telah menyebabkan terjadinya konflik yang mengancam terjadinya disintegrasi bangsa. Konflik ini tampak di beberapa daerah, seperti Poso, Ambon, dan Tuban. Sementara itu, prasangka terhadap ‘orang luar’ dan fanatisme terhadap daerah saat ini nampak makin berkembang di masyarakat. Hal tersebut masih ditambah dengan konflik internal yang terjadi dalam agama, seperti serbuan terhadap (sempalan agama) jamaah Ahmadiyah, kasus Yusman Roy, Lia Eden, dan Jaringan Islam Liberal (JIL). Fenomena ini tentu saja memicu ketegangan dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang beragam, dan lebih jauh lagi mengarah pada disintegrasi bangsa.
Adanya konflik yang terjadi dalam masyarakat menunjukkan rendahnya mutual trust (saling percaya). Rasa saling tidak percaya menyebabkan meningkatnya prasangka terhadap kelompok lain, sehingga masyarakat menjadi rentan untuk berkonflik. Masyarakat yang memiliki mutual trust, lebih mudah bekerja sama, sehingga saling bersinergi dalam membangun bangsa. Oleh karena itu, dalam konteks Indonesia yang memiliki keberagaman yang cukup tinggi, mutual trust masyarakat harus ditingkatkan sehingga masyarakat yang ber-bhineka tunggal ika, sebagaimana yang dicita-citakan bersama, dapat dicapai.

Berkaitan dengan upaya untuk membangun masyarakat yang memiliki mutual trust, tidak bisa dilepaskan dari faktor kepemimpinan. Kepemimpinan dalam masyarakat ikut mendorong dalam terciptanya masyarakat yang memiliki rasa saling percaya. Oleh karenanya, menarik untuk dilihat bagaimana membangun kepemimpinan dalam upaya membangun masyarakat yang memiliki mutual trust. Mengingat Indonesia memiliki tingkat keberagaman yang tinggi, sehingga mutual trust dalam masyarakat merupakan suatu hal yang harus dibangun.

Mutual Trust, Social Capital dan Civil Society
Rasa percaya (trust) merupakan salah satu elemen penting dalam berhasilnya resolusi konflik (termasuk negosiasi dan mediasi). Rasa saling percaya ini berkaitan dengan meningkatnya kerjasama, berbagi informasi dan penyelesaian masalah. Menurut Rousseau, trust didefinisikan sebagai

“… a psychological state comprising the intention to accept vulnerability based upon positive expectation of the intentions or behaviour of another”

Jadi, trust merupakan sebuah kondisi psikologi dimana terdapat kemauan untuk menerima secara terbuka berdasarkan pengharapan positif atas tujuan dan tindakan dari pihak yang lain. Ini artinya, tanpa adanya rasa percaya, masyarakat akan berada dalam kondisi yang penuh konflik. Konflik menurut Simon Fisher (2001), adalah hubungan antara dua pihak atau (individu dan kelompok) yang memiliki atau merasa memiliki sasaran-sasaran yang tidak sejalan. Ini artinya konflik terjadi karena tidak adanya kesepahaman antara pihak yang berkonflik. Kesepahaman sendiri dapat dicapai jika masing-masing pihak saling percaya satu sama lain, sehingga proses komunikasi yang terjadi antara keduanya dapat berlangsung dengan baik. Rasa saling percaya ini kemudian akan mengikat masyarakat, sehingga konflik lebih bisa diminimalkan.
Kepercayaan merupakan pengikat dalam masyarakat. Dalam masyarakat multietnik, kepercayaan lebih mudah berkembang dalam masyarakat dengan etnis yang sama daripada lintas etnik. Ikatan kepercayaan ini sendiri adalah sesuatu yang tidak terucap dan tidak tertulis. Trust merupakan pengikat antar anggota masyarakat untuk saling bekerjasama membangun sebuah masyarakat yang unggul. Kepercayaan ini memungkinkan orang untuk mengorganisasikan diri mereka ke dalam sebuah institusi yang inovatif. Menurut Fukuyama, trust dianggap sebagai sebuah mediator untuk terbentuknya institusi yang efektif. Hal ini tentu saja dapat diaplikasikan dalam sebuah institusi yang besar, yakni negara.

Konsep mengenai trust, dapat dipahami dari teori psikologi, di mana trust dapat diterangkan melalui teori berikut ini:
a.Equity Theory
Dalam teori ini, hubungan antar manusia didasarkan pada prinsip tukar menukar antar input dan output. Input adalah hal-hal yang diberikan pada orang lain dalam sebuah transaksi, sedangkan output adalah hal-hal yang diperoleh dari sebuah transaksi. Dengan asumsi bahwa input yang diberikan adalah trust, maka pihak yang memberikan trust juga mengharapkan trust yang seimbang besarnya dengan yang dia berikan.
Bila input yang diberikan tidak sesuai dengan output yang didapatkan maka akan terjadi upaya untuk mengembalikan situasi yang in-equatable menjadi equatable. Misalnya dengan melakukan tindka kekerasan yang merugikan pihak lain yang telah menyalahgunakan trust yang diberikan.
b.Self Theory
Trust merupakan hasil dari sebuah interaksi mutual. Artinya, bila satu pihak memperlakukan pihak lain dengan cara yang tidak trustful, maka sifat yang sama akan dilakukan oleh pihak yang lain. Hal semacam ini disebut self-fulfilling prophecy, yaitu harapan seseorang tentang sikap dan perilaku terhadap pihak lain yang akan diwujudkan oleh pihak tersebut dalam kenyataan sesuai dengan harapan orang tersebut.
c.Possitive-negative Bank Accout
Perilaku yang baik, misalnya kepedulian, empati, menolong orang lain adalah perilaku yang menyenangkan orang lain. Menanamkan kepercayaan terhadap orang lain, termasuk dalam salah satu bentuk perilaku yang menyenangkan bagi orang lain. Makin banyak seseorang memberikan perilaku yang demikian terhadap orang lain, maka tabungan emosi yang positif akan semakin besar. Namun apabila perilaku yang ditunjukkan adalah yang sebaliknya, seperti perilaku yang menyinggung perasaan orang lain, menghina atau tidak percaya, maka akan membuat orang lain tidak senang. Akibatnya jika perilaku tersebut semakin banyak dilakukan, maka tabungan emosi yang negatif akan semakin besar.

Bila seseorang menggunakan tabungan emosi yang positif dalam berinterkasi dengan orang lain, maka orang lain akan membayarnya dnegan tabungan emosi yang positif pula. Hubungan yang terbentuk adalah hubungan win-win (sama-sama menang). Namun apabila tabungan emosi negatif yang diberikan, maka hubungan yang terjadi adalah hubungan win-lose (menang kalah), yang kemudian dibalas menjadi hubungan lose-lose (kalah-kalah).


Menurut James Colaman, trust merupakan aset dalam menciptakan modal sosial, di mana modal sosial (social capital) adalah kemampuan masyarakat untuk bekerja bersama-sama demi mencapai tujuan-tujuan bersama di dalam berbagai kelompok dan organisasi. Kesepakatan tersebut menyababkan setiap orang melaksanakan kewajibannya masing-masing secara bebas tanpa perlu diawasi, karena satu sama lain menaruh kepercayaan bahwa setiap orang akan melaksanakan kewajibannya. Kondisi ini disebut mutual trust (saling percaya), karena masing-masing orang berusaha untuk mengemban amanah. Berdasarkan hal tersebut, trust merupakan motor penggerak dalam membangun institusi yang efektif. Hal ini tidak saja dipahami dalam sebuah organisasi atau lembaga kecil, namun juga dalam konteks yang lebih luas, yakni Negara.

Modal sosial merupakan fenomena yang tumbuh dari bawah. Ini dikarenakan modal sosial berasal dari orang-orang yang membentuk koneksi sosial dan network yang didasarkan pada prinsip kepercayaan (trust), mutual reciprocity, dan norma tingkah laku. Menurut Robert Putnam (Syahyuti, Social Capital, dalam http://209.85.175.104/search?q=cache:vg_PUmDDz5IJ:www.geocities.com/syahyuti/social_capital.pdf+mutual+trust,+fukuyama&hl=id&ct=clnk&cd=25&gl=id), terdapat 3 elemen utama modal sosial, yaitu rasa saling percaya, norma yang disepakati dan ditaati, serta jaringan sosial. Rasa saling percaya di sini artinya interaksi yang terjadi didasarkan atas perasaan yakin bahwa orang lain akan memberi respon sebagaimana yang diharapkan, saling mendukung dan tidak bermaksud menyakiti. Sementara itu, norma sosial menyediakan adanya kontrol sosial yang efektif, yang menjadi panduan bagi masyarakat untuk menentukan pola perilaku yang diharapkan dari orang-orang dalam suatu masyarakat, yaitu perilaku-perilaku yang dinilai baik di masyarakat. Jika social norm ini rendah, maka kerjasama dalam masyarakat dapat berlangsung dalam sistem hukum dan regulasi yang formal. Modal sosial memerlukan social networks (networks of civic engagement)¬, yaitu ikatan/ jaringan sosial yang ada dalam masyarakat serta norma yang mendorong produktivitas komunitas.

Dalam masyarakat yang heterogen, yang memiliki kehidupan lintas etnis dan agama di mana masing-masing memiliki norma, nilai dan hukum dalam menata kehidupan sosial dan budayanya yang berbeda satu sama lain. Keutuhan dan persatuan dalam konteks tersebut, dapat tercipta jika masyarakat secara sadar dan rela dapat melatenkan atau memodifikasi norma, nilai, hukum baru sebagai pengganti hal yang bertentangan tersebut.


Social Capital
merupakan bahan baku utama dalam terciptanya civil society. Konsep pluralisme merupakan prasyarat tegaknya civil society. Civil Society dapat dipahami sebagai masyarakat yang memiliki komponen sebagai berikut (Budiono Kusumohamidjojo, Kebhinekaan Masyarakat di Indonesia: Suatu Problematik Filsafat Kebudayaan, 2000, Jakarta: Grasindo, hal 151):
1.Pluralitas, yang terdiri dari kelompok-kelompok informal dan perhimpunan-perhimpunan sukarela yang kejamakannya memungkinkan keanekaan dalam cara hidup.
2.Publisitas yang terjalin dari lembaga kebudayaan dan komunikasi
3.Privacy yang merupakan domain yang memungkinkan pengembangan pribadi dan pilihan-pilihan moral.
4.Legalitas yang mencakup struktur hukum umum dan hak-hak asasi yang diperlukan untuk mendemarkasi kejamakan, privacy dan publisitas dari negara maupun perekonomian.

Mutual Trust di Indonesia
Keberagaman masyarakat, di masa Orde Baru disikapi pemerintah dengan melakukan penyeragaman. Dengan melakukan penyeragaman, identitas masyarakat yang memang berbeda-beda dilebur menjadi satu. Akibatnya, masyarakat dipaksa untuk menggunakan satu corak dalam keragaman mereka.
Penyeragaman tersebut telah memberangus demokrasi dalam masyarakat dan melumpuhkan kepemimpinan lokal dalam masyarakat. Atas nama persatuan dan kesatuan bangsa, hak-hak dan kebebasan masyarakat ditekan dan tidak jarang pemerintah menggunakan dalih untuk stabilitas negara. Oleh karenanya di masa Orde Baru, adanya konflik di masyarakat relatif tidak terdengar. Keutuhan warga antar etnis, agama dan pelapisan sosial lainnya nampak kokoh.

Akibatnya mutual trust mengalami kemerosatan di masa Orde Baru, dimana hak-hak sipil dan politik masyarakat dibatasi dan dibangunlah ideologi SARA untuk mengendalikan pluralisme masyarakat. Negara memiliki peran yang dominan dalam berbagai segi kehidupan dan kemampuan masyarakat dalam menciptakan kehidupan bermayarakat yang demokratis pun memudar. Gangguan-gangguan yang dianggap membahayakan persatuan bangsa ditindak dengan pendekatan militer. Di masa ini, akibat dari penyeragaman tersebut, budaya lokal kurang berkembang dan pertumbuhan kepemimpinan lokal pun juga terhambat. Akibatnya modal sosial dan public trust semakin lemah. Hal inilah yang melatarbelakangi mengapa di era reformasi konflik di masyarakat demikian sering terjadi.

Di masa reformasi, pintu kebebasan dibuka lebar-lebar dan isu demokrasi berkembang di masyarakat. Kemudian berbagai konflik, baik vertikal maupun horizontal, mencuat dan banyak diberitakan di media massa. Hal ini tentu saja berbeda dengan di masa sebelumnya (Orde Baru) di mana adanya konflik cenderung ditutup-tutupi. Pada masa ini, muncul berbagai kerusuhan dalam eskalasi yang besar di berbagai wilayah.
Di era reformasi, yang terlihat adalah penguatan etnosentrisme atau identitas kelompoknya. Hal ini kemudian menyebabkan berkembangnya konflik-konflik komunial. Konflik ini dapat dilihat misalnya dalam pertikaian etnis di Madura, Makasar, Banten, Dayak-Melayu (Kalimantan Barat), dan suku-suku di Papua. Konflik yang terjadi tidak saja bernuansakan perbedaan etnis, namun juga agama, dan sebagainnya. Tidak jarang terjadi konflik yang mengatasnamakan agama, misalnya konflik Poso, Ambon, juga kejadian yang dialami penganut ajaran sempalan seperti Ahmadiyah, Lia Eden, dan sebagainya. Ini artinya agama yang seharusnya menjadi pengayom di masyarakat malah justru jadi pemicu konflik, padahal tidak ada satu agamapun yang menyerukan permusuhan atau kekerasan.

Berkaitan dengan konflik horizontal ini, menurut Taufik Abdullah, terdapat 3 tahap konflik komunal, dan ini tentu saja membahayakan integrasi nasional. Tahap pertama bersifat sosio-ekonomis, misalnya keberhasilan orang Bugis Makasar, pasti ada pihak yang merasa jengkel. Konflik ini kemudian meningkat ke tahap kedua, ketika konflik tersebut kemudian diterjemahkan dalam bahasa agama. Pada tahap ini, konflik sudah dalam tingkat yang berbahaya, karena menyangkut lebih banyak simbol yang dianggap sebagai bagian dari diri masyarakat. Misalnya, saat ada masjid yang dibakar, hal ini tentu saja akan membuat orang Islam marah. Konflik ini dengan mudah akan meningkat ke tahap ketiga, yaitu tahap dendam. Ini terjadi ketika dalam masjid yang dibakar tersebut, ayah dan ibu dari seseorang tengah bersembunyi di sana. Maka orang tersebut akan sulit memaafkan orang yang telah membunuh kedua orang tuanya. Konflik komunal pada tahap ketiga ini akan memakan banyak korban dan penyelesaiannya memerlukan waktu yang cukup lama.

Banyaknya konflik yang terjadi di Indonesia menunjukkan rendah dan goyahnya mutual trust di masyarakat. Apabila dicermati, yang ada dalam masyarakat adalah berkembangnya rasa curiga, prasangka dan stereotyope. Apabila ditinjau dari konsep trust, sebagaimana yang telah dipaparkan sebelumnya, perilaku saling curiga, prasangka dan stereotype negative akan dibalas dengan tindakan serupa oleh pihak yang lain. Tidak adanya rasa saling percaya (mutual trust), membuat masyarakat rentan untuk diprovokasi sehingga muncul konflik di masyarakat.

Adanya konflik yang terjadi di masyarakat menunjukkan perlunya membangun kembali mutual trust masyarakat. Upaya yang dapat dilakukan adalah, yang pertama, melakukan rekonsiliasi. Proses rekonsiliasi ini berkaitan dnegna proses ‘mengingat’ dan ‘melupakan’ masa lalu. Oleh karenanya, dalam upaya membangun saling percaya antar komunitas diperlukan kehendak untuk ‘melupakan’ hubungan-hubungan yang buruk (pertikaian) yang terjadi di masa lalu. Lebih jauh lagi, bersedia untuk meminta maaf atas kesalahan-kesalahan yang telah diperbuat dalam sejarah. Proses mengingat juga harus diikuti dengan proses ‘mengingat’ hubungan-hubungan harmonis yang terjadi dalam sejarah, yaitu dengan melihat kesamaan asal-usul, kekerabatan maupun berkebudayaan. Kedua dengan membangun gerakan-gerakan alternatif yang didasarkan pada semangat perdamaian dan nir kekerasan. Mutual trust akan dapat terbangun bila terjadi dialog-dialog emansipatoris antar komunitas mengenai isu yang dianggap sensitif. Dalam dialog ini, lebih mendasarkan pada keterbukaan, kesetaraan, pembebasan serta tidak dipenuhi dengan prasangka serta stereotype.

Kepemimpinan Multikultur dan Mutual Trust
Dalam mewujudkan masyarakat yang memiliki mutual trust, peran dari pemimpin sangat besar. Ini dikarenakan seorang pemimpin akan berusaha untuk mendorong komunitasnya/ orang yang dipimpinnya untuk mengembangkan mutual trust dalam upaya untuk menuju cita-cita bersama. Jika melihat gaya kepemimpinan di Indonesia, nampak bahwa selama ini pendekatan militeristik lebih dikedepankan dalam mengatasi persoalan di masyarakat. Perbedaan bahkan acapkali dimanfaatkan oleh para pemimpin sebagai alat politik untuk memperoleh kekuasaan.

Kepemimpinan menurut Fiedler (1967), pada dasarnya merupakan pola hubungan antara individu-individu yang menggunakan wewenang dan pengaruhnya terhadap kelompok orang agar bekerja bersama-sama untuk mencapai tujuan. Berdasarkan konsep tersebut, seorang pemimpin yang baik harus mampu membangun hubungan yang baik dengan pengikutnya serta mampu menggunakan wewenang dan pengaruhnya untuk membawa masyarakat ke arah yang lebih baik.

Berkaitan dengan kepoemimpinan dan konflik ini, Yash Gai, Profesor Hukum Publik Universitas Hongkong menyatakan bahwa prasyarat utama yang harus dipenuhi segenap komponen masyarakat yang bertikai, adalah kepemimpinan yang berwawasan ke depan dan keinginan kuat dari segenap komponen masyarakat untuk menyudahi konflik yang terjadi.

Melihat konteks Indonesia yang sangat majemuk, diperlukan pemimpin yang multikultur, baik dalam level pemimpin lokal ataupun nasional. Menurut Chemers dan Ayman (1993), terdapat 4 karakter penting dalam kepemimpinan organisasi multikultural, yaitu:
1.Pribadi yang memiliki visi yang luas, yang mengakui dan mendukung perbedaan dalam komunitas
2.Memiliki pengetahuan yang luas mengenai dimensi-dimensi diversitas dan memiliki kesadaran mengenai permasalahan multikultural
3.Terbuka untuk melakukan perubahan dalam dirinya
4.Membimbing dan mengarahkan bawahannya yang berbeda-beda latar belakang budayanya

Mengingat masyarakat Indonesia umumnya dalam heterogenitas etnis, agama dan pelapisan sosial berbaur dalam beragam pemukiman, lapangan pekerjaan dan keorganisasian sosial hingga lembaga pendidikan, maka sudah seharusnya pemimpin mengakui dan mendukung perbedaan dalam komunitas. Sikap ini tercermin dengan tidak memaksakan sikap dan pandangan-pandangan budayanya terhadap kelompok lain. Sehingga akan tercipta rasa saling menghargai, terbuka dan menghormati.

Pemahaman mengenai masalah diversitas dan multikultural akan menghindarkan dari kesalahpahaman. Oleh karenanya penting bagi pemimpin untuk memahami komunikasi lintas budaya. Terkait dengan ini berarti seorang pemimpin juga harus terbuka untuk melakukan perubahan terhadap dirinya. Ini tidak lepas dari perkembangan dalam masyarakat yang sifatnya dinamis, tidak pernah statis dan selalu berkembang. Yang terakhir penting bagi pemimpin untuk membimbing dan mengarahkan komunitasnya yang berbeda-beda latar budayanya, sehingga akan tercipta masyarakat yang saling percaya.
Kemimpinan multikultur akan mengarahkan masyarakat ke arah budaya multikultur, di mana setiap individu nantinya akan memiliki kemampuan untuk berinteraksi dan bertransaksi, meskipun memiliki latar belakang kultur yang berbeda. Hal ini tidak dapat tercapai, tanpa adanya saling percaya (mutual trust) dalam masyarakat.
Berkaitan dengan upaya membangun kepercayaan ini, upaya tersebut harus dilakukan oleh setiap pihak dalam semua institusi kehidupan. Sebab, hanya melalui komitmen dan visi bersamalah trust bisa dibangun. Menurut Reynold (1997), pada dasarnya, upaya membangun kepercayaan harus dimulai dari membangun sistem yang bercirikan adanya kompetensi, keterbukaan, reliabilitas dan keadilan.
1.Kompetensi
Kompetensi merupakan kemampuan untuk melakukan tugas yang diperankan pada diri seseorang. Sebagai contoh, seorang pejabat negara baru akan dipercaya oleh masyarakat yang dipimpinnya apabila ia memiliki kompetensi di bidang yang menjadi tugasnya. Demikian pula dalam kepemimpinan dalam organisasi lain, seperi partai politik, organisasi massa atau komunitas
2.Keterbukaan
Keterbukaan atau sikap transparan, dengan tidak menutup-nutupi informasi mengenai apa yang dilakukan oleh seseorang dalam urusan bernegara dan berbangsa adalah syarat mutlak untuk menumbuhkan kepercayaan (trust). Misalnya, keberanian elit politik dalam mengumumkan harta kekayaannya. Sementara itu, upaya untuk menutupi kebenaran akan menyebabkan ketidakpercayaan dalam masyarakat. Berkaiatan dengan hal ini, seorang pemimpin harus berani dikrtitik dan menerima kritik.
3.Realibilitas
Hal ini terlihat dari sejauhmana adanya keserasian antara kata dan perbuatan. Misalnya, saat rakyat hidup dalam penderitaan, ada pejabat yang sibuk mengurusi diri sendiri, seperti minta disediakan mobil baru untuk mobil dinasnya, padahal mobil yang ada masih cukup memadai.
4.Keadilan
Mendapatkan perlakuan adil adalah dambaan dari setiap orang. Keadilan ini sudah seharusnya diwujudkan dalam berbagai bidang kehidupan.

Membangun Kepemimpinan Lokal
Berkaitan dengan upaya untuk membangun masyarakat dengan mutual trust, tidak bisa dilepaskan dari peran kepemimpinan lokal. Pun demikian hal ini bukan berarti menafikkan peran kepemimpinan nasional. Kepemimpinan lokal di Indonesia ini sendiri tampaknya sudah dalam kondisi yang memprihatinkan. Ini terlihat dari kurang adanya pemimpin di tingkat lokal yang mampu untuk mengatasi konflik di masyarakat. Padahal, kepemimpinan lokal yang efektif di masyarakat kemudian akan mendukung kepemimpinan nasional dalam upaya untuk memperkuat integrasi nasional.

Kepemimpinan lokal penting untuk dibangun, sebab adanya konflik yang berlarut-larut merupakan akibat dari rusaknya kepemimpinan lokal, akibat dari penyeragaman yang dilakukan di masa sebelumnya. Akibat dari hal ini, adalah berbagai konflik sosial yang terjadi di tingkat lokal tidak dapat diselesaikan secara tuntas. Dan dalam keadaan seperti ini, moral untuk saling percaya (mutual trust) menjadi meredup, di tengah kehidupan masyarakat yang makin memburuk. Padahal seharusnya, dalam konteks otonomi daerah, semestinya modal sosial masyarakat dapat semakin berkembang. Kepemimpinan lokal yang efektif, akan membawa masyarakat untuk mempertahankan diri dari krisis. Selain itu, bila terjadi konflik, akan cenderung lebih mudah diatasi.
Dalam kaitannya dengan upaya membangun multikulturalisme, pemimpin lokal harus mampu untuk menjalin komunikasi lintas budaya, sehingga dapat tercipta saling kesepahaman dengan komunitas lain yang berbeda.

KESIMPULAN
Mengemukanya konflik di Indonesia, baik konflik horizontal maupun konflik vertikal, menunjukkan lemahnya mutual trust dalam masyarakat. Bahkan adanya konflik juga telah mengakibatkan degradasi kepercayaan dalam masyarakat. Lemahnya mutual trust sangat berpengaruh terhadap integrasi bangsa, sebab trust merupakan pengikat sebuah komunitas. Trust juga merupakan salah satu unsur dalam modal sosial yang diperlukan untuk membangun masyarakat.

Dalam upaya untuk membangun masyarakat yang memiliki mutual trust, tidak bisa dilepaskan dari unsur pemimpin. Dalam konteks Indonesia, dengan tingkat keragaman yang tinggi, diperlukan adanya pemimpin multikultur. Kepemimpinan multikultur ini memiliki karakteristik, sebagai berikut: memiliki visi yang luas, yang mengakui dan mendukung perbedaan dalam komunitas; memiliki pengetahuan yang luas mengenai dimensi-dimensi diversitas dan memiliki kesadaran mengenai permasalahan multikultural; terbuka untuk melakukan perubahan dalam dirinya, serta mampu untuk membimbing dan mengarahkan bawahannya yang berbeda-beda latar belakang budayanya.

Dalam membangun masyarakat dengan mutual trust, tidak bisa dilepaskan pula dari kepemimpinan lokal di masyarakat. Berkembangnya konflik horizontal di masyarakat diakibatkan kurang berperannya kepemimpinan lokal. Kepemimpinan lokal yang efektif ini selanjtnya akan dapat membangun kemampuan masyarakat dalam menghadapi krisis.

1 komentar:

Anonymous said...

Permisi.. boleh minta daftar pustaka sumber teorinya tidak? saya tertarik untuk meneliti tentang trust..