Showing posts with label story. Show all posts
Showing posts with label story. Show all posts

Sunday, July 11, 2021

Yuk Buat Pentigraf

0



Gegara kelas menulis, saya yang tadinya nggak tau pentigraf jadi belajar pentigraf dan belajar membuatnya juga. Pentigraf itu kependekan dari cerPEN TIga paraGRAF. Menulis pentigraf, tentunya menjadi tantangan tersendiri, yaitu bagaimana bisa menyelesaikan cerpen dalam tiga paragraf. 

Paragraf pertama merupakan pembukaan yang langsung ke konflik (7-10 kalimat). Paragraf kedua merupakan klimaks (3-5 kalimat), dan paragraf ketiga penyelesaian (7-10 kalimat). Cukup menantang bukan? Pastinya, karena di sini penulis dituntut untuk bisa menyajikan cerita singkat, karena inilah biasanya endingnya jadi tidak terduga. Ending, bisa dibuat ending yang menyenangkan atau menyakitkan/menyedihkan, atau menggantung.

Berikut pentigraf saya, yang dibuat untuk tugas di kelas menulis Palaray Media. Cerpen ini bersama dengan cerpen dari pembelajar lainnya di Palaray Media, dibukukan dengan judul "JERUK"


JERUK
oleh: ria permana sari

Beberapa hari ini anakku merengek meminta dibelikan jeruk, rupanya pengalaman memakan jeruk yang diberikan tetangga membuat dia ketagihan. Aku memintanya bersabar dan mendoakan daganganku laris, sehingga bisa membelikannya jeruk. Andai saja aku jadi penjual jeruk, bukan penjual gorengan, pasti setiap hari dia bisa makan jeruk. Aku menatap uang dalam genggaman tanganku, hasil jualanku hari ini. Aku berhitung pengeluaran yang kubutuhkan, membayar listrik dan membeli beras yang sudah habis. Tidak ada lagi yang bersisa, selain modal berjualan besok. Kembali anakku harus bersabar, tidak ada jeruk untuknya hari ini. 


“Ibu, mana jeruk buatku?” tanya anakku begitu melihatku masuk ke rumah dengan membawa tas plastik hitam berisi beras. Kembali kujelaskan padanya, aku belum bisa membelikan jeruk dan dia harus bersabar. Terlihat sorot kecewa dari matanya, yang membuatku tidak tega melihatnya. Harus ada jeruk untuknya besok, demikian tekadku. 


Aku sudah membayangkan senyum gembira anakku ketika melihat beberapa butir jeruk di meja makan. Benar saja, dia berteriak gembira dan dalam sekejap 2 butir jeruk sudah dihabiskannya. Kini anakku bisa makan jeruk setiap hari, kataku dalam hati. Ketika akan membeli jeruk dengan modal dagang esok hari, ternyata penjual jeruknya adalah Danang, ayah anakku. Kami berpisah karena orang tuanya tidak merestui hubungan kami, dan menyuruhku pergi jauh-jauh darinya. Selama 5 tahun ini Danang mencariku dan memutuskan tidak lagi bergantung pada orangtuanya lalu menjadi pedagang jeruk. Jika anakku tidak meminta jeruk, tentu tak ada pertemuanku dengan Danang.

Saturday, July 14, 2012

Kutunggu Kau Di Sini

0

aku memintal doa
untuk dia yang tercinta
kembalilah dia yang terkasih
lelah sungguh aku menanti berakhirnya 1 dasawarsa
namun kau tak kunjung kembali
tiap purnama kutunggu kau di ujung jembatan ini
tempat terakhir kau kutemu

 

“Bapak mau ke jembatan lagi?” tanya Wati, anak semata wayangku.

“Iya, siapa tahu hari ini ibu pulang. Kontrak ibu kamu kan 10 tahun, sekarang sudah lebih 3 bulan, harusnya ibumu sudah pulang.” Kataku sambil menyisir rambutku yang kian menipis dan mematut-matutkan diriku di kaca sebelum pergi. Aku tak mau kelihatan buruk ketika menyambutmu nanti.

Hari ini tepat 10 tahun 3 bulan kau pergi tinggalkan kami semua demi secercah harapan untuk kehidupan yang lebih baik. Semua orang menganggap apa yang kulakukan sia-sia, terlebih ketika sudah 4 tahun kau tak ada kabar dan tak lagi mengirimi kami uang, namun tak pernah selintaspun pikiran buruk di otakku. Aku yakin, kau pasti akan kembali, sebagaimana dulu janji yang kau sampaikan. Sebagaimana janji yang dulu aku ucapkan, kan kutunggu kau di sini, di ujung jembatan ini.

“Nunggu Marni lagi Kang?” sapa Kang Ahmad.

“Iya, siapa tahu hari ini dia pulang.”

“Saya nunggu istri saya, kemarin saya ditelpon katanya hari ini dia pulang,” katanya dengan mata berkaca-kaca.

Kami terdiam. Aku membayangkan diriku juga ditelpon bahwa istriku pulang hari ini, namun pak Ramli tidak memberitahu apapun juga. Ya, selama ini jika istriku menelpon selalu ke nomor Pak Ramli, karena kami tak punya pesawat telepon atau handphone.

“Kang, kok nangis.. Sebentar lagi istrinya kan datang,” kataku ketika mendengar kang Ahmad terisak.

“iya kang, jenazah istri saya tepatnya.”

Aku terdiam, Darti istri kang Ahmad pergi jadi TKI, dua tahun sesudah kepergian istriku dan sekarang… Tidak, Marni baik-baik saja di sana. Aku yakin itu, aku selalu mendoakannya tiap malam. Aku selalu meminta Tuhan untuk menjaganya, dan bukankah di sana ada pemerintah yang akan membantu dan menjaganya ketika dia kesulitan?

Akhirnya mobil yang membawa jenazah istri Kang Ahmad datang. Dengan berat hati aku tinggalkan jembatan itu dan mengikuti Kang Ahmad yang melangkah gontai menuju rumahnya. Semoga jika Marni datang hari ini, dia bisa memahami mengapa aku tak ada di ujung jembatan itu, menantinya sebagaimana ucapku padanya 10 tahun yang lalu.

***

Belum empat tahun usiaku kala itu, ketika ibuku pergi ke jazirah Arab untuk mengais rezeki di sana. Kenangan tentang ibuku tak sedikitpun tertinggal di sini. Yang aku tahu, dia pasti orang yang sangat baik dan mencintai Bapak. Jika tidak, mengapa tiap hari Bapak selalu menyempatkan ke jembatan untuk menantinya? Tiap tanggal 1 bulan Agustus, seharian penuh Bapak bakal menunggu ibu di Jembatan Cilet. Dulu Bapak selalu mengajakku, ketika aku belum bersekolah sambil menceritakan bagaimana ibu.

Sia-sia, apa yang Bapak lakukan. Namun tak pernah aku katakana hal itu padanya, semua orang sudah mengatakan hal itu padanya, namun dia tak pernah bergeming pada keyakinannya bahwa ibu pasti kembali. Bapak tak pernah peduli bahwa sudah 4 tahun Ibu tak pernah lagi mengirimkan kabar.

“Terakhir kali ibumu menelpon, dia bilang majikannya baik. Dia sehat di sana dan akan segera pulang.”

Demikian selalu kata bapak, entah itu untuk meyakinkan aku atau dirinya sendiri bahwa ibu baik-baik saja di sana. Aku sudah melepas harapan akan bertemu dengan ibu, sudah terlalu banyak cerita sedih tentang TKI yang aku dengar. Kemarin Mila, temanku bercerita tentang kakaknya yang pulang dan menjadi gila karena trauma akibat perkosaan yang dia alami. Atau Sidik yang menangis karena ibunya pulang dalam keadaan tak bernyawa.

Diam-diam aku hubungi pak Cardi, orang dari desa sebelah yang gencar membela hak-hak TKI. Banyak yang bilang, kita bisa minta bantuannya untuk mencari kerabat kita yang pergi jadi TKI dan tak ada kabar. Namun tentu saja itu tidak berarti usahanya selalu berhasil, namun setidaknya dia berusaha membantu. Pernah satu kali aku ajak Bapak ke sana, namun Bapak malah memarahi dengan alasan aku berpikir yang bukan-bukan tentang keadaan ibu.

“Kalau kita berpikir positif, itu yang akan terjadi,” demikian selalu kata Bapak.

“Kamu lihat Santi, dia tidak ada kabar selama 5 tahun, toh nyatanya dia pulang juga. Sukses lagi.”

***

Angin masih meniupkan mimpiku
pulang, kembali bersama mereka yang terkasih
namun getir dingin membuyarkan lamunanku
besok pagi aku dipancung

 

Sudah sepuluh tahun aku meninggalkan keluargaku. Tentu Wati sudah besar sekarang, terakhir kali aku menelpon mereka, Wati bilang dia rangking satu di kelasnya dan dia ingin jadi bidan. Tentunya tak akan aku biarkan nasib Wati berakhir seperti aku, jadi TKI. Bukan.. bukan karena ini pekerjaan yang buruk. Tidak ada pekerjaan yang buruk. Hanya saja aku takut, takut pengalamanku akan berulang padanya.

“Mas, tolong uang yang aku kirim, kau simpan juga untuk masa depan Wati. Aku ingin dia jadi orang yang sukses. Tak mengapa rumah kita masih buruk seperti dulu ketika aku tinggalkan.”

Demikian selalu kata-kataku pada suamiku. Tak ingin sedikitpun aku membuatnya khawatir dengan menceritakan keadaanku yang sebenarnya. Semuanya berubah empat tahun lalu. Majikanku sering sekali memukuli, sejak usahanya tak lancar. Pekerjaan aku selalu saja dibilang tidak baik dan terakhir aku dituduh akan membunuh mereka. Tuhan… aku memang benci pada mereka, pada perlakuan mereka. Aku benci mereka karena mereka tak membayar gajiku, yang harusnya bisa aku kirimkan ke keluargaku. Tapi sungguh, aku tak akan pernah membunuh mereka, itu dosa.

Segala pembelaanku tak juga diindahkan, hingga akhirnya aku berada di penjara. Dimana-dimana mereka dulu yang menjanjikan akan membantu aku ketika aku kesulitan, mengapa tak nampak batang hidungnya? Aku tidak ingin mati di sini, aku ingin bertemu keluargaku.  

***

Sudah beberapa hari ini Pak Karsa termenung, istrinya tak kunjung datang. Beberapa kabar buruk yang datang tentang tetangganya yang juga menjadi TKI, membuatnya semakin resah dengan keadaan istrinya.

“Wati, Bapak mau ke tempat pak Cardi.”

“Kenapa pak? Ada berita tentang Ibu?”

“Bapak mau minta bantuannya, agar tahu dimana ibumu.”

Tidak beberapa saat kemudian, pintu rumah kami diketuk. Buru-buru aku membukanya.

“Pak Cardi…” kataku

“Wah baru saja saya mau ke rumah sampeyan, kang.”

Pak Cardi terdiam dan memandang Wati dengan getir, membuat Wati semakin merasa gelisah.

“Ada berita tentang Ibu kan Pak?” Wati terisak.

Pak Karsa terdiam, mematung dan memandang Pak Cardi.

“Kang, sabar ya.. saya baru dapat beritanya tadi. Istri sampeyan bakal dihukum mati besok. Majikannya menuduh istri sampeyan akan membunuh mereka.”

“Itu tidak mungkin Kang, istri saya tidak seperti itu. Itu bohong… ini tentu gara-gara saya yang berpikiran buruk tentang istri saya. Ini gara-gara saya. Kejadian kan…”

Wati memandang Bapaknya dan mengajaknya duduk di kursi serta berusaha menenangkannya.

 

Empat tahun tanpa kabar

Berbagai berita sedih terlalu sering kudengar

Guruku berkata para TKI adalah pahlawan devisa

Bagaimana bisa seorang pahlawan dibiarkan mati di sana

Dibiarkan diperkosa atau dianiaya

Empat tahun tanpa kabar

Sejak saat itu telah kurelakan dirimu


Friday, May 04, 2012

sebuah surat untuk teman-teman kecilku

0



masihkah kalian ingat bersama kita ke museum Bahari? Rasanya masih jelas memori itu di ingatanku, bahkan hingga hari ini

Apa kabar kalian, kawan-kawan kecilku?

Kali ini kerinduan kepada kalian terasa sangat, bukan karena sepi yang merecah-recah atau penat yang tidak berkesudahan, tapi karena aku benar-benar merindu kalian. Aku mungkin tak bisa mengingat semua nama kalian, mungkin aku yang sudah menua untuk bisa mengingat nama kalian satu persatu; namun setiap memori yang kita lalui bersama masih tersimpan jelas di ingatanku.

Senja kala itu, ketika pertama kali aku menjejakkan kaki di tempat kalian tinggal, di utara ibukota. Mungkin adalah jodoh, jika kemudian kami memutuskan untuk berhenti di sebuah tempat tak jauh dari sungai yang tak lagi jernih airnya serta berbagai jenis sampah yang menggunung. Kami memutuskan untuk melangkah lebih jauh ke perkampungan itu, ke rumah-rumah yang berhimpit satu sama lain, sangat rapat.

Adalah kegelisahan yang menyeruak, ketika melangkah lebih jauh ke tempat kalian tinggal. Jika aku selalu menggerutu tentang masa kecil aku, tentang orang tuaku yang tak membelikan mainan baru, atau tak sering mengajakku berwisata ke tempat yang indah-indah di luar sana, luluh lantak semua itu. Mungkin karena keadaan hingga kalian tumbuh dewasa lebih cepat dan memahami realitas kehidupan yang sebenarnya. Atau terjebak dalam mimpi-mimpi yang ditawarkan tayangan televisi..

Adalah kegelisahan jika kemudian kami memutuskan untuk mengenal kalian, dalam sebuah tempat bernama “sabana.” Mungkin adalah harapan kami yang berlebihan untuk menjadikan ruang ini sebagai padang rumput di sana. Ini tidak hanya tentang kami yang berbagi sedikit ilmu yang dipunya, tapi juga tentang kami yang belajar dari kalian. Rasanya uang 120 ribu rupiah yang kusisihkan tiap bulan untuk membayar kontrakan, tempat kita bermain bersama tak sebanding dengan apa yang aku rasakan ketika bertemu kalian, kawan-kawan kecilku.
Masih ingatkah kalian dengan lagu yang sering kita nyanyikan bersama sebelum kita mulai acara “belajar” bersama?
            lihat kebun tebu, itulah kampungku
            ada sungainya dan ada rumahku
            setiap hari kubersihkan slalu
ingin rasanya, kujadikan indah

Masih teringat betapa antusiasnya kalian menyanyikan lagu itu, lagu sederhana gubahan kami dari lagu anak-anak “lihat kebunku.”

Kala itu, kami tak pernah tau kemana nantinya ‘sabana’ bermuara. Yang aku tau, ‘sabana’ membantuku menjadi kuat. Ketika aku terpuruk, sakit hati; bermain dan berinteraksi dengan kalian adalah bagian dari proses menyembuhkan. Hingga akhirnya aku memutuskan untuk meninggalkan ‘sabana’ untuk sebuah mimpi yang lain. Hidup adalah pilihan, dan pilihan untuk meninggalkan kalian kala itu adalah pilihan yang berat dan menyakitkan bagiku.

Kadang bertanya, berartikah bagi kalian semua ini. Tapi tentu saja, ini bukan tentang membuat mie instant yang dalam waktu 10 menit sudah ada hasilnya. Meski ada rasa senang ketika mengajarkan kalian untuk bermimpi, sekaligus rasa sedih juga ketika menemui kalian bermimpi dan kenyataan mencabut mimpi itu hingga membuat jauh. Adalah Agung, dia anak yang cerdas dan tak jarang membantu kami dalam proses ‘belajar’ di sana. Dialah yang paling antusias dengan semua cerita yang kami ceritakan, tentang antariksa, tentang negeri-negeri yang jauh di sana atau tentang bung Karno yang tak pernah kehilangan semangat untuk membaca. Kenyataan membuatnya berhenti bermimpi sejalan dengan pupusnya harapan untuk bisa kembali bersekolah ketika kenyataan berkata lain. Alih-alih menjadi pilot seperti yang pernah ia katakan, berujung menjadi kuli angkut di pasar. Jika ada yang saya sesali dalam hidup saya, ini adalah salah satunya, tak benar-benar berusaha kala itu.

Jika boleh diberikan kesempatan lagi, ingin aku kembali belajar bersama kalian, meretas asa dan membangun mimpi bersama.