Perdagangan manusia sebenarnya bukanlah fenomena baru di Indonesia. Pun demikian baru belakangan masalah ini marak dibicarakan. Indonesia termasuk dalam kategori negara dengan peringkat buruk dalam hal penanganan perdagangan perempuan dan anak. Selain ditengarai sebagai negara dengan kasus perdagangan orang untuk pasaran domestik yang meluas, Indonesia juga menjadi negara pengirim bagi trafiking internasional.
Berkaitan dengan perdagangan manusia, perempuan dan anak menjadi kelompok yang rentang diperdagangkan. Menurut Sri Redjeki SH, kasus perdagangan perempuan dan anak pada tahun 2000 telah mencapai 7000 kasus.Dalam catatan tahunan Komnas Perempuan tahun 2004, terdapat 562 kasus trafiking perempuan. Sementara itu, menurut catatan Komnas Perlindungan Anak, perdagangan balita yang melibatkan sindikat internasional menunjukkan adanya peningkatan. Pada tahun 2003, ada 102 kasus yang terbongkar sementara itu di tahun 2004 jumlahnya bertambah menjadi 192 kasus. Laporan UNICEF tahun 1998 memperkirakan jumlah anak yang tereksploitasi seksual atau dilacurkan mencapai 40000-70000 anak yang tersebar di 75106 tempat di Indonesia. Sementara itu dari tahun 2002 ke tahun 2003, terdapat lonjakan kasus trafiking perempuan dan anak sebesar 884 %, dari 32 kasus pada tahun 2002 menjadi 283 kasus pada tahun 2003.
Menurut Protokol PBB untuk Mencegah dan Menghukum Perdagangan Manusia, terutama Perempuan dan Anak sebagai tambahan atas Konvensi PBB Melawan Kejahatan Terorganisir Transnasional tahun 2000, trafiking didefinisikan sebagai perekrutan, pengangkutan, pemindahan, penyembunyian, atau penerimaan seseorang, melalui penggunaan ancaman atau tekanan atau bentuk-bentuk lain dari kekerasan, penculikan, penipuan, kecurangan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan atau memberi/menerima pembayaran atau memperoleh keuntungan sehingga mendapatkan persetujuan dari seseorang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, untuk tujuan eksploitasi. Sementara itu, dalam kaitannya dengan trafiking anak, cara adalah tidak relevan.
Berdasarkan definisi tersebut, trafiking mencakup 3 unsur, yaitu; 1)perekrutan, pengangkutan, pemindahan, penyembunyian atau penerimaan; 2) dengan cara ancaman, tekanan atau bentuk-bentuk lain dari kekerasan; 3) untuk tujuan eksploitasi. Pada praktek trafiking, persetujuan dari korban tidak relevan. Artinya, apakah korban setuju atau tidak, tidak dipermasalahkan. Dalam banyak kondisi seringkali tidak memberikan keluasaan pada korban untuk memberikan persetujuan. Perempuan yang mengalami trafiking harus ditempatkan sebagai korban yang membutuhkan dukungan dan perlindungan, bukan pelaku.
Perdagangan perempuan tidak dapat dilepaskan pada adanya ketidakadilan gender. Ketidakadilan gender yang disebabkan karena perbedaan gender, merupakan sistem dan struktur di mana baik laki-laki atau perempuan menjadi korban dari sistem tersebut. Salah satu bentuk dari ketidakadilan gender adalah kekerasan berbasis gender, yang menurut Rekomendasi Umum No. 19, didefinisikan sebagai kekerasan yang terjadi karena seseorang perempuan atau laki-laki. Di Indonesia tingkat kekerasan terhadap perempuan cukup memprihatinkan. Menurut Sri Rejeki Sumaryono, sekitar 24 juta perempuan Indonesia pernah mengalami tindak kekerasan. Berdasarkan data Komnas Perempuan, terjadi kenaikan sekitar 63% dari tahun 2001 ke tahun 2002 berkaitan dengan jumlah perempuan yang mengalami kekerasan.
Perempuan dalam Gerusan Kapitalisme-Patriarki
Kekerasan berbasis gender tidak bisa dilepaskan dari budaya patriarki. Budaya patriarki telah menyebabkan relasi laki-laki dan perempuan berlangsung dan berpusat dalam kontrol laki-laki. Hal ini selanjutnya mengakibatkan adanya penguasaan dan diskriminasi terhadap perempuan yang dilakukan oleh lelaki. Keyakinan bahwa kodrat perempuan itu lemah, posisinya di bawah laki-laki, “bertugas” melayani dan mudah ditindas menjadikan kaum perempuan dianggap sebagai “hak milik” laki-laki dan dapat diperlakukan semena-mena, termasuk dengan cara kekerasan. Hak istimewa yang dimiliki laki-laki akibat konstruksi gender telah menempatkan laki-laki untuk memiliki kekuasaan lebih tinggi daripada perempuan
Dalam budaya patriarki, perempuan (dan anak) berada dalam posisi sub-ordinat, yang kemudian menjadikan perempuan rentan akan kekerasan. Lemahnya posisi perempuan tidak hanya mengakibatkan kekerasan, namun juga marginalisasi atau proses pemiskinan perempuan dalam ekonomi, subordinasi dalam keputusan politik, dan ketimpangan dalam bidang pendidikan.
Pembangunan merupakan alat untuk hak-hak dasar warga negara, baik itu laki-laki ataupun perempuan. Namun pada kenyataannya pembangunan yang terjadi justru memiskinan masyarakat. Pembangunan yang bertumpu pada pertumbuhan ekonomi (economic growth), sentralistik, dan cenderung eksploitatif pada akhirnya menindas kaum perempuan.Selain itu, model pembangunan yang pro neolib dan tatanan ekonomi kapitalistik yang diterapkan pemerintah sebagai konsekuensi dari masuknya Indonesia dalam tatanan ekonomi global ternyata justru menyengsarakan rakyat. Structural Adjustment Programs (SAPs) yang dicangkokkan agen-agen neolib (IMF, World Bank, dsb) melalui mekanisme hutang, mensyaratkan penghapusan peran negara dalam urusan ekonomi. Akibatnya masalah kesejahteraan rakyat diabaikan. Dampak dari hal ini adalah pencabutan subsidi, serta menjadikan barang dan jasa publik (air, listrik, layanan kesehatan dan pendidikan) menjadi komoditas. Liberalisasi perdagangan yang menggusur produk-produk lokal, ekspansi MNCs yang seringkali menyebabkan degradasi lingkungan telah memarginalkan masyarakat, terutama perempuan.
Dalam model pembangunan ini, partisipasi perempuan diabaikan. Struktur patriarki yang mengakar di masyarakat dipertahankan oleh agen-agen neolib, karena hal ini menjadi keuntungan bagi mereka. Akses perempuan akan hak sosial dan ekonominya dibatasi oleh banyak peraturan. Tubuh dan seksualitas perempuan dibuat sedemikian rupa sehingga menghasilkan keuntungan bagi negara. Dengan tingkat pendidikan yang rendah, perempuan juga mendapatkan upah yang lebih rendah dari pada laki-laki dengan memikul beban ganda. Yang terjadi adalah eksploitasi terhadap perempuan.
Pembangunan model neolib telah menimbulkan berbagai masalah, seperti makin tingginya angka kemiskinan. Ironisnya, banyak perempuan yang mengalami keganasan kemiskinan tersebut. Krisis ekonomi telah menyebabkan naiknya jumlah perempuan miskin serta meningkatnya jumlah dan beban kerja bagi perempuan. Jadi dapat dikatakan bahwa kemiskinan menjadi wajah perempuan. Selanjutnya, kemiskinan ini menyebabkan banyak perempuan dan anak bekerja, hal ini menjadikan mereka rentan sebagai korban trafiking.Tidak jarang diantara mereka kemudian terperangkap dalam industri seks komersial. Globalisasi juga turut meningkatkan industri seks yang memicu banyak perempuan diperlakukan sebagai objek seks dan dijual ke negara lain.
Pendidikan Kritis-Feminis sebagai Upaya Pencegahan
Perdagangan perempuan adalah salah satu akibat dari adanya ketidakadilan gender. Oleh karenanya, dalam upaya pencegahan dan pemberantasan perdagangan perempuan, keadilan gender adalah sesuatu yang mutlak. Tanpa adanya keadaan ini, hak-hak perempuan dan the voiceless lainnya tidak akan terpenuhi, dan yang ada adalah daftar panjang kekerasan terhadap perempuan dan anak, termasuk perdagangan perempuan dan anak.
Pengalaman dan refleksi dalam menjalankan program menunjukkan masih lemahnya kesadaran gender di masyarakat. Persoalan perempuan, dan tidak terpenuhinya hak perempuan masih dianggap sebagai sesuatu yang bersifat kodrat. Ketidakadilan gender telah menyebabkan perempuan dinomerduakan dalam berbagai sector kehidupan, pendidikan, pengambilan keputusan, dsb. Lemahnya posisi perempuan ini tentu saja menjadikan mereka rentan sebagai korban kekerasan, termasuk trafiking.
Melihat hal tersebut, penting adanya pendidikan kritis terhadap perempuan. Melalui pendidikan kritis yang lebih menekankan kepada pengalaman sebagai perempuan, dilakukan berbagai macam diskusi termasuk berbagi pengalaman mereka. Perempuan diajak untuk memahami pengalamannya dan menolak ideologi serta norma yang dipaksakan kepadanya.Ini disebabkan persoalan penindasan perempuan bukan datang dari laki-laki an sich, melainkan persoalan sistem dan struktur ketidakadilan masyarakat dan salah satunya, ketidakadilan jender.
Dalam pendidikan kritis ini, perempuan disadarkan pentingnya berkumpul dan berorganisasi. Melalui kelompok, usaha yang yang dilakukan bisa lebih mudah, dan suara mereka juga bisa didengar. Ternyata perempuan-perempuan ini bila diberi kesempatan, memiliki kepekaan terhadap permasalahan yang ada di sekitarnya dan memiliki komitmen untuk mengupayakan terselesaikannya masalah. Yang penting dalam pendidikan kritis ini adalah menumbuhkan kekuatan pada perempuan, di mana perempuan yang selama ini cenderung menerima keadaan untuk ikut dalam tindakan perubahan sosial di lingkungannya.
Pendidikan kritis mengarah pada munculnya inisiatif perempuan lokal untuk mengorganisasikan perempuan di lingkungannya. Melalui pertemuan-pertemuan rutin, dilakukan diskusi-diskusi tentang perempuan dan persoalan-persoalan yang dihadapinya. Sebuah kelompok di Subang melakukan pendidikan perempuan melalui diskusi-diskusi, sehingga perempuan menjadi terinformasi dengan baik dan peka terhadap masalah di sekitarnya. Tema diskusi pun sesuai dengan kebutuhan perempuan, misalnya masalah kekerasan dalam rumah tangga, kesehatan reproduksi atau tentang kekerasan terhadap anak. Di Cirebon, di sebuah desa yang sebagian besar perempuannya bekerja sebagai buruh migran, terdapat inisiatif dari perempuan lokal untuk berkumpul dan bersama-sama mengupayakan usaha bersama untuk mengatasi persoalan ekonomi yang menjadi persoalan perempuan di daerah tersebut. Melalui kelompok arisan, mereka menabung untuk dijadikan modal usaha ekonominya. Dalam pertemuan yang rutin dilakukan, diadakan diskusi-diskusi untuk memberi pencerahan kepada perempuan sekaligus memecahkan permasalahan yang dihadapi oleh anggota-anggotanya.
Hal tersebut tentu saja merupakan bukti bahwa bila perempuan diberi kesempatan dan disadarkan akan hak-haknya, mereka mampu memberikan kontribusi yang positif bagi masyarakatnya. Oleh karena itu, penting pula bagi perempuan untuk ikut ambil bagian dalam proses pengambilan keputusan, sehingga nantinya keputusan yang dibuat tidak merugikan perempuan dan kelompok-kelompok lainnya. Adanya kekerasan, konflik dan sebagainya tidak lepas dari adanya pengabaian terhadap nilai-nilai perempuan. Karena kekerasan, konflik merupakan kumpulan dari nilai-nilai maskulin yang tidak lepas dari nafsu agresivitas, penindasan, menguasai dan hegemoni. Oleh karenanya, perempuan dengan pengalamannya memiliki nilai-nilai perempuan yang mendukung pada terciptanya masyarakat yang lebih manusiawi. Nilai-nilai ini yang selanjutnya harus disebarkan di masyarakat.
Inti dari semuanya adalah adanya pemberdayaan perempuan, yang dimaknai sebagai kekuatan berpikir untuk bebas dan membuat keputusan sendiri, kekuatan yang mampu membangkitkan rasa percaya diri dan kebanggaan karena kodrat keperempuannya, kekuatan untuk bertindak melawan penindasan dan penghancuran, dan kekuatan untuk menciptakan kultur yang baru dan nilai-nilai yang baru. Jika perempuan dipenuhi kekuatan tersebut, tentunya akan tercipta lingkungan yang ramah perempuan dan anak. Bukankah dunia yang ramah perempuan dan anak, di mana nilai-nilai perempuan menyebar merupakan dunia yang ramah bagi semua?
tulisan ini dimuat dalam kumpulan makalah Konferensi Internasional Women for Peace, Departemen Filsafat UI, 2007
Saturday, May 12, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
1 komentar:
informasi di blog agan menarik banget , ijinin saya untuk jalan2 dan cari2 informasi lainnya di blog ini ya :)
salam kenal :D
Post a Comment