A feminist is a person who answers "yes" to the question, "Are women human?" Feminism is not about whether women are better than, worse than or identical with men. It's about justice, fairness, and access to the broad range of human experience. It's about women consulting their own
well-being and being judged as individuals rather than as members of a class
with one personality, one social function, one road to happiness. It's about women having intrinsic value as persons rather than contingent value as a means to an end for others."
- Katha Pollitt, journalist -
Menjadi feminis adalah proses, karena adanya proses pergulatan dan aksi yang terwujud dalam tindakan keseharian. Proses pergulatan ini terjadi karena perbenturan realitas yang dihadapi, yang dalam kenyataannya meminggirkan perempuan. Misalnya saja, seorang perempuan yang berproses menjadi feminis kemudian dihadapkan pada situasi di mana keluarganya memaksanya untuk menikah (bisa jadi seperti yang dialami oleh Kartini, yang dihadapkan pada situasi dimana orang tuanya menjodohkannya). Perempuan ini tentu saja dihadapkan pada pergumulan panjang antara batin dan pikirannya. Bagaimana tidak, budaya patriarki yang masih berakar di negeri ini termanifestasi dalam tiap segi kehidupan.
Karenanya, feminisme sangat menghargai proses, artinya perjuangan dan perubahan harus dilihat sebagai sebuah proses. Karenanya, proses pergulatan dalam ketubuhan, pikiran, perasaan dan tindakan yang diwujudkan adalah inti dari feminisme.
Menjadi feminis hingga saat ini masih mendapat stereotipe negatif dari masyarakat. Berbagai pelabelan pun disematkan, dari kebarat-baratan, lesbian, tidak menikah, atheis, atau membenci laki-laki. Karenanya, tidak jarang aktivis perempuan menolak disebut sebagai feminis. Feminisme pun masih dianggap ’tabu’ oleh beberapa orang. Tidaklah berlebihan, karena feminisme bertentangan dengan sistem yang telah mapan saat ini, patriarki.
Feminisme adalah ideologi bukan wacana, jika meminjam pendapat Maggie Humm, feminisme dapat dipahami sebagai ideologi pembebasan perempuan, yaitu memperjuangkan perempuan menjadi pribadi yang merdeka seutuhnya. Ini didasari pada keyakinan bahwa perempuan mengalami ketidakadilan karena jenis kelaminnya, karena dia adalah perempuan. Feminisme sendiri hadir bersamaan dengan kesadaran perempuan baik dalam tingkat personal ataupun publik.
Feminisme berangkat dari pengalaman personal, dimana pengalaman pribadi menjadi salah satu nilai penting dalam feminisme. Karenanya, feminisme tidak saja memperjuangkan tentang hak-hak perempuan namun juga the voiceless lainnya. Perempuan yang memiliki pengalaman akan diskriminasi, multi beban, stereotype dan perlakuan memarginalkan lainnya, sudah seharusnya membuat perempuan lebih peka dan lebih peduli kepada the voiceless lainnya. Karenanya, feminisme tidak saja memperjuangkan perempuan, namun juga anak, anak perempuan, masyarakat adat, perempuan adat, masyarakat pedesaan, perempuan pedesaan, kaum difabel dan kaum minoritas lainnya.
Feminisme berusaha untuk memperjuangkan kesetaraan, kemanusiaan dan keadilan. Artinya, feminis tidak memperjuangkan kemenangan suatu kelompok (perempuan) atas kelompok yang lain. Namun bagaimana adanya tatanan masyarakat yang setara, berperikemanusiaan dan berkeadilan.
Pun demikian, rasanya saat ini masih banyak yang alergi membahas tentang feminis, atau dianggap sebagai feminis sehingga lebih memilih istilah yang lain. Feminis yang saya pahami adalah seseorang yang secara sadar telah menyadari bahwa terdapat ketidakadilan terhadap perempuan dan kesadaran ini tentu saja dibarengi dengan perbuatan. Yang terakhir ini penting karena acapkali kita menemui ambiguitas antara pemikiran dan perbuatan. Hal ini yang kemudian membedakan antara feminis dan feminilog. Seseorang yang mengaku dirinya feminis tentu saja tidak akan melakukan hal-hal yang membuat perempuan mengalami ketidakadilan.
Saturday, September 06, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 komentar:
Post a Comment