Tewasnya Nurdin M. Top boleh jadi menjadi berita yang paling populer, baik pada tayangan televisi, media on line dan sebagainya. Nurdin M. Top tewas tertembak setelah sekitar 9 jam terlibat baku tembak dengan Densus 88 di sebuah rumah di Desa Kepuhsari, Mojosongo, Solo, Jawa Tengah.
Ini tentu saja menarik, mengingat Nurdin telah menjadi orang yang paling dicari di Republik ini selama kurang lebih 9 tahun. Nurdin juga dipercaya sebagai dalang dari berbagai peristiwa teror. Tidak hanya itu saja, tewasnya Nurdin bagai membawa angin segar ketika terjadi permasalahan di tubuh KPK, institusi yang konon berusaha memberantas korupsi.
Terorisme rasa-rasanya telah menjadi kata yang cukup populer, bahkan hingga di kalangan anak-anak. Istilah terorisme menjadi cukup populer sejak tahun 2001, dimana pada tanggal 11 September terjadi tragedi WTC di Amerika, ketika dua buah pesawat menabrakkan badannya ke menara WTC. Sejak saat itulah, Amerika Serikat kemudian mengumandangkan genderang perang terhadap terorisme. Beberapa negara bahkan dianggap sebagai negara sarang teroris, dan kemudian menjadi justifikasi bagi negara adidaya tersebut untuk ikut campur ke negara lain. Ini pula yang kemudian melatarbelakangi tesis Samuel Hutington, tentang Benturan Antar Peradaban.
Sejarah Terorisme
Terorisme berasal dari bahasa Perancis, yaitu le terreur, yang semula digunakan untuk menyebut tindakan pemerintah hasil revolusi Perancis yang menggunakan kekerasan secara brutal dan berlebihan dengan cara memenggal 40.000 orang yang dituduh melakukan kegiatan anti pemerintah. Terorisme selanjutnya digunakan untuk menyebut gerakan kekerasan anti pemerintah di Rusia. Ini artinya, pada mulanya, terorisme digunakan untuk menyebut tindakan kekerasan oleh pemerintah atau kegiatan yang anti pemerintah (wikipedia).
Sebelum Perang Dunia II, terorisme dilakukan dengan pembunuhan politik terhadap pejabat pemerintah, dimana terorisme diyakini sebagai cara efektif untuk melakukan revolusi politik ataupun sosial dengan cara membunuh orang-orang yang berpengaruh. Di tahun 1950-an, terorisme dilakukan dengan melakukan serangan yang bersifat acak kepada masyarakat sipil yang tidak berdosa. Pada tahun 1960an, muncul apa yang dinamakan 'terorisme media', yaitu serangan acak terhadap siapa saja untuk tujuan publisitas. Seruan atau perjuangan melalui tulisan kemudian mulai ditinggalkan karena dampaknya yang sangat kecil, dan digunakan 'the philosophy of bomb' yang bersifat eksplosif serta sulit diabaikan. Fenomena ini kemudian meningkat sejak permulaan dasa warsa 70-an. Terorisme dan teror berkembang dalam sengketa ideologi, fanatisme agama, perjuangan kemerdekaan, pemberontakann, gerilaya, atau bahkan pemerintah dengan cara dan sarana menegakkan kekuasaaan.
Menurut Zuhairi Misrowi (2002)Terorisme merupakan sebuah paham yang berbeda dengan kebanyakan paham yang tumbuh dan berkembang di dunia, baik dulu maupun yang mutakhir. Terorisme selalu identik dengan teror, kekerasan, ekstrimitas dan intimidasi. Para pelakunya biasa disebut sebagai teroris. Oleh karenanya, terorisme sebagai paham yang identik dengan teror seringkali menimbulkan konsekuensi negatif bagi kemanusiaan. Terorisme kerap menjatuhkan korban kemanusiaan dalam jumlah yang tak terhitung.
Berdasarkan Konvensi PBB 1937, terorisme didefinisikan sebagai segala bentuk tindak kejahatan yang ditujukan langsung kepada negara dengan maksud menciptakan bentuk teror terhadap orang-orang tertentu atau kelompok orang atau masyarakat luas. Sementara itu, dalam buku petunjuk tehnis anti teror tahun 2000 ditulis bahwa Terorisme adalah cara berfikir dan bertindak yang menggunakan teror sebagai tehnik untuk mencapai tujuan.
Terorisme di Indonesia
Terorisme di Indonesia dimulai pada tahun 2000, dengan adanya Bom Bursa Efek Jakarta, yang diikuti dengan beberapa peledakkan bom lainnya. Pada tahun 2002, terjadi bom Bali, yang memakan banyak korban (kurang lebih 202 orang). Peristiwa ini dianggap sebagai peristiwa terorisme paling parah di Indonesia. Pada tahun 2003, terjadi peristiwa yang dikenal dengan Bom Mariott yang menyebabkan 11 orang meninggal. Pada tahun 2004, bom meledak di kantor Kedutaan Besar Australia, dan menyebabkan 5 orang tewas dan ratusan lainnya luka-luka. Tahun 2005, kembali terjadi bom di Bali, yaitu di Kuta dan Jimbaran. Dan baru-baru ini terjadi bom ritz carlton dan mariott.
Membicangkan terorisme di Indonesia, tidak lepas dari nama Noordin M. Top, yang dipercaya sebagai otak terjadinya pemboman di beberapa tempat. Oleh karenanya tewasnya Noordin M. Top menjadi keberhasilan yang luar biasa dalam upaya pemberantasan terorisme di Indonesia.
Berbicara tentanng terorisme, terkadang dikaitkan pula dengan konspirasi. Meskipun teori konspirasi dianggap dibangun dengan logika yang mengada-ada, sebab mengandalkan premis, 'jangan-jangan'. Karenanya, teori konspirasi dianggap kurang bisa memberi pertanggungjawaban secara ilmiah.
Terlepas dari itu, rasanya ada beberapa hal yang menarik. Misalnya, pasca tragedi WTC yang kemudian menjadi justifikasi AS menyerang Afganistan, Indonesia menjadi negara yang mengecam tindakan Amerika. Ketika majalah Times memberitakan aktivitas JI di Indonesia yang ditengarai berkaitan dengan Al Qaida, Indonesia tak kunjung mengambil tindakan apapun. Sampai kemudian terjadilah peristiwa Bom Bali I.
Bom Bali I merupakan jenis bom dahsyat jenis Special Atomic Demolition Munitions (SADM) alias Micro Nuke atau Nuklir Kecil. Ini dibuktikan dari munculnya cendawan raksasa di atas Jalan Legian Bali pasca pemboman, yang merupakan salah satu ciri khusus bom micro nuke.Bom Bali I mampu menerbangkan aspal dan batu-batu seberat 2 ton ke udara sehingga membentuk kawah berdiameter 7 meter sedalam 4 meter, mengangkat mobil hingga 6 meter ke udara dan membakar ratusan mobil lainnya, melukai 300 orang dan menewaskan 202 orang, menghancurkan 47 bangunan, membunuh manusia dalam radius 200 meter dan mampu menimbulkan shock-wave dengan kekuatan 1 juta kaki perdetik, serta getarannya terasa hingga 12 km dari pusat ledakan.
Apabila menggunakan jenis TNT, maka membutuhkan beberapa ratus ton TNT, yang hanya dapat diangkut dengan truk trailler. Padahal, Amrozi cs hanya menggunakan Colt L-300 yang daya angkutnya tidak lebih dari 3 ton. Menariknya, empat bulan sebelum terjadinya Bom Bali I, FBI telah mengetahui rencana pemboman di Bali yang diperintahkan oleh Hambali, petinggi Al Qaeda di Asia Tenggara. Pasalnya, FBI berhasil menangkap anggota Al Qaeda, Muhammad Jubara yang memberi informasi kalau Al Qaeda akan melakukan pemboman di Bali, seperti yang diberitakan koran Australia, Sydney Morning Herald (26/2/2004). Dengan demikian, logikanya adalah agen Biro Investigasi Federal AS tersebut jauh hari sudah mengetahui rencana pemboman Bali bahkan hingga tempat, tanggal, hari, jam, menit dan detiknya. dua hari sebelum peristiwa Bam Bali I, pemerintahan Presiden Bush telah mengeluarkan travel warning bagi warga AS untuk menghindari bar, restoran, dan klub malam di Bali. Sedangkan pemerintah Australia tidak pernah mengeluarkan travel warning bagi warganya meski telah diperingatkan oleh pemerintah AS. Maka tidaklah mengherankan jika hanya 1 warga negara AS yang jadi korban, sementara 88 warga Australia ikut menjadi korban para peristiwa dahsyat itu.
Menariknya lagi, terjadinya peristiwa pemboman atau tertangkapnya gembong teroris. Pada peristiwa Bom Bali II, terjadi setelah pemerintah menaikkan harga BBM dan protes yang meluas di kalangan masyarakat. Kemudian tewasnya Ibrahim, yang menjadi pelaku utama Bom Ritz Carlton dan Mariot dalam pengepungan, terjadi ketika sedang kisruh hasil Pemilu. Dan saat ini, tewasnya Nurdin M. Top terjadi ketika kisruh di tubuh KPK.
Apakah terorisme merupakan sebuah konspirasi besar, waktu yang kemudian menjawabnya.
Friday, September 18, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 komentar:
Post a Comment