Thursday, September 24, 2009

Konteks Keindonesiaan dari Deklarasi PBB tentang Hak Masyarakat Hukum Adat

0


Persoalan Masyarakat Hukum Adat (MHA) adalah persoalan lama yang ‘baru’ sehingga perlu direvitalisasi. Sesudah reformasi, sesudah amandemen UUD, baru pada tahun 2000 kesatuan MHA memperoleh momentum untuk diperhatikan. Artinya semua kebijakan publik yang akan dibuat, tidak boleh bertentangan dengan ketentuan yang ada dalam UUD 45. Sehingga tidak hanya secara retorik mengakui MHA, tetapi juga pengakuan legal terhadap MHA. Misal: dalam UU MK, kelompok orang dapat mengajukan uji materiil terhadap UU, salah satunya adalah MHA, apabila UU tersebut dinilai bertentangan dengan UUD.

Keberadaan MHA sesudah reformasi benar-benar eksis. Namun ada syarat-syarat yang harus dipenuhi. Syarat tersebut ada dalam pasal 18 b UUD 45
1. selagi masih hidup
2. sesuai dengan perkembangan
3. sesuai dengan prinsip NKRI

PBB memiliki deklarasi tentang Indigenous Peoples (IPs, namun demikian masih diperdebatkan sebab meski secara legal tidak mengikat tapi secara moral mengikat. Karena definisinya tidak dirumuskan, masing-masing negara memiliki definisi sendiri-sendiri, dan selanjutnya definisi tersebut diserahkan oleh masing-masing negara. Demikian pula dengan Indonesia, yang merumuskan sendiri. Kata asli di UUD terdapat dalam syarat sebagai presiden (Presiden Indonesia adalah Orang Indonesia Asli). Tapi sesudah reformasi hal tersebut diubah menjadi WN asli. Jadi diubah dari konsep antropologis menjadi konsep hukum. Jadi siapa saja yang lahir dengan status WNI, adalah WNI asli. Orang2 sepanjang berkewarganegaraan Indonesia, berhak menjadi presiden RI (lihat AS, orang kulit hitampun bisa jadi presiden). Hal ini digunakan dalam cara berpikir kita, tidak digunakan dalam kerangka etnisitas, tapi kerangka hukum (legal). Dalam memberi implementasi Dekalasi PBB tentang IPs, hal ini yang menjadi ketentuan dalam member konsep dalam pasal 18 b ayat (2). Yang ketinggalan hanya tradisi kraton. Kesatuan masyarakat daerah referensi ada 4; aceh, papua, DIY dan DKI Jakarta. Jadi Negara mengakui dan menghormati kesatuan daerah yang dianggap istimewa. Dalam konteks kraton, yang diakui hanya Jogja.

Konsep kesatuan MHA jangan sampai dipolitisir, baik oleh penguasa, atau dalam MHA itu sendiri. Karena kita berbicara bukan dalam konteks hak sipol, tapi dalam konteks hak ekosob. Deklarasi Orang Asli tidak bisa dijadikan dalih untuk mempersoalkan politik separatism. Misalnya dikaitkan dengan isu-isu yang dapat mengganggu integritas territorial Negara anggota. Deklarasi ini betul-betul tidak dikaitkan dengan amsalah politik. Di beberapa daerah, tampak ada usaha untuk memanfaatkan deklarasi ini untuk usaha-usaha separatism. Jangan sampai deklarasi tersebut dipakai untukk tujuan yang tidak tepat. Oleh karena dari kalangan kesatuan MHA bisa saling mengerti dimana sedang melakukan revitalisasi sehingga harus saling bahu-membahu dan saling bekerjasama. Dulu sat di MK melakukan mapping masyarakat hukum adat. Berapa yang masih hidup, berapa yang setengah mati. Pemetaan ini penting agar bisa menggerakkan dalam upaya merevitalisasi kesatuan MHA.

MHA harus bisa mengambil peran yang tepat dalam pembangunan Negara Indonesia. Pembangunan memerlukan juga partisipasi dari bawah, sehingga bagaimana kesatuan-kesatuan ini bisa mengambil peran. Dalam program pemberdayaan, maka kesatuan MHA menjadi fungsional.Berkembang ide, bagaimana jika kesatuan MHA dikaitkan dengan konsep desa. konsep desa adalah konsep di jawa. Misalnya di Bali, terdapat desa adat. Sebelum kita mengenal konsep desa, konsep desa itu adalah MHA. Tapi karena struktur dan teritori MHA mengalami perkembangan dalam zaman ORBA, struktur pedesaan hancur.

Berkaitan dengan kemungkinan disalahgunakannya deklarasi PBB adalah dipakai seperti dalam kasus di Papua, ada kecenderungan untuk menggunakannya sebagai referensi/ penguat untuk tindakan diskriminasi: misalnya untuk jabatan2, tidak boleh orang luar harus orang asli. Misalnya calon gubernur yang sekarang ini, oleh FMP ada beberapa yang dicoret, karena dianggap tidak asli. Dengan argumen, bapaknya bukan orang asli meskipun ibunya orang asli. Tetapi jika bapaknya asli dan ibunya tidak, maka dianggap orang asli. Jadi selain diskriminasi juga bias gender.

Bagaimana kita memerlakukan gejala seperti ini. Kita perlu member pengertian terhadap emosi-emosi yang tumbuh sesudah reformasi. Dikatakan atau tidak dikatakan hal ini muncul. Untuk smentara waktu bisa diterima, sebagai afirmative policy. Di beberapa daerah dalam kenyataannya ada yang tidak beres dalam hubungan dengan orang asli. Selama orla dan orba ada beberapa daerah dimana akibat dari politik sentralisasi dari negera menyebabkan banyak orang luar ke daerah. Program pendidikan tidak seimbang sehingga dirasa sebagai ketidakadilan.

Yang harus dicermati, Afirmatif policy ada batasnya, sifatnya sementara. Sulitnya UU Otsus tidak memberi batasan waktu. Jadi para pemberi keputusan, pembentuk UU perlu memikirkan kapan batas waktunya. Diskriminasi sangat ditentang dalam UUD 45 dan hukum internasional. Namun UUD memberlakukan adanya perlakuan khusus dalam pasal 28 h, dimana perlakukan khjusus dimungkinkan pada masyarakat yang tertinggal untuk mengejar ketertinggalannya. Sehingga para pejabat di Jakarta memahami semangat tersebut dengan keadilan.


oleh Bapak Jimly Ashidique
saat saya menjadi notulen Sarasehan Nasional Masyarakat Hukum Adat 13 - 14 Desember 2008



0 komentar: