“...General policies are supposedly gender neutral
but have different impact on men and women.”
(Waylen,1996, h.13)
Reformasi telah membawa dampak yang cukup signifikan dalam tata pemerintahan di Indonesia, dimana terjadi perubahan dalam sistem pemerintahan yang semula sentralistik ke sistem pemerintahan yang desentralistik. Konsep desentralisasi ini sendiri bukanlah hal baru, karena dengan jelas telah tertuang dalam UUD 1945 dimana desentralisasi bukan hanya konsep yang sifatnya politis tetapi juga anti sentralistik. Pemerintahan yang sentralistik dianggap tidak mampu memahami secara tepat nilai-nilai dan aspirasi lokal. Masyarakat akan lebih aman dan tentram dengan badan pemerintahan lokal yang dekat dengan rakyat, baik secara fisik maupun psikologis (Bonne Rust, 1968), karenanya pemerintahan yang desentralistik diperlukan agar pemerintahan mengacu pada kondisi dan keperluan lokal.
Otonomi daerah yang luas dan nyata kemudian diundangkan melalui Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 mengenai Otonomi Daerah yang mulai diberlakukan tanggal 1 Januari 2000. Mekanisme ini mengisyaratkan kewenangan yang besar bagi daerah dalam mengelola daerahnya secara lebih mandiri. Kewenangan tersebut menjadi angin segar bagi daerah setelah sistem sentralistik yang sebelumnya diterapkan dirasa terjadi ketidakadilan dalam hubungan pusat dan daerah. Sebelumnya dengan dalih pemerataan pembangunan, terjadi pengerukan kekayaan daerah ke pusat, karenanya otonomi daerah dipandang sebagai media yang paling tepat untuk membangun demokrasi yang mengutamakan transparansi dan partisipasi aktif dari seluruh warga masyarakat. Demokrasi sendiri menurut Robert A. Dahl dinyatakan sebagai sistem yang benar-benar atau bertanggung jawab kepada semua warga negaranya.
Pelaksanaan otonomi daerah kemudian membuat seluruh pemerintah daerah bergiat dalam membenahi daerahnya masing-masing, termasuk dalam membangun dasar hukum yang mengatur aktivitas di daerah, yaitu dengan menerbitkan Peraturan Daerah (Perda). Karenanya, Perda memiliki peranan penting dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, karena gerak operasional pemerintahan daerah dijalankan dengan Perda. Mengingat pentingnya Perda, sudah seharusnya Perda dibuat untuk menciptakan tata pemerintahan yang baik, sehingga dapat mendukung tercapainya tujuan otonomi daerah.
Otonomi Daerah dan Good Regulatory Governance
Otonomi (autonomy) menurut Sarundajang (1998), berasal dari bahasa Yunani, yaitu auto yang berarti sendiri dan namous yang artinya hukum atau peraturan. Sementara itu, menurut UU no 32 Tahun 2002 tentang pemerintahan daerah, diartikan sebagai hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan (pasal (1) angka 5). Sementara itu Daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunya batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Berdasarkan pengertian tersebut, otonomi daerah dapat dipahami sebagai kewenangan daerah otonom dalam mengatur rumah tangganya sendiri.
Penyelenggaraan otonomi daerah menjadi peluang dalam terciptanya good governance (tata pemerintahan yang baik). Good governance dapat didefinisikan sebagai penyelenggaraan pemerintahan secara partisipatif, efektif, jujur, adil, transparan dan bertanggung jawab kepada semua level pemerintahan (Sofian Efendi dalam Azhari dkk, 2002). Tata pemerintahan yang baik perlu didukung dengan tata regulasi pemerintahan yang baik (Good Regulatory Governance/ GRG), karena dalam menjalankan roda pemerintahan sebagaimana yang telah dimandatkan, pemerintah daerah memerlukan suatu instrumen hukum untuk menjamin kepastian hak dan warga negaranya di setiap daerah. Oleh karenanya Pemerintah Daerah bersama dengan DPRD Provinsi/ Kabupaten/ Kota diberi kewenangan oleh Undang-undang Dasar 1945 untuk membuat Peraturan Daerah yang memiliki fungsi, antara lain:
1.Perda sebagai instrumen kebijakan
Perda sebagai sarana hukum merupakan alat kebijakan daerah dalam melaksanakan otonomi daerag dan tugas perbantuan sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945 dan Undang-Undang Pemerintahan Daerah. Sebagai alat kebijakan daerah, Perda bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pembangunan yang berkelanjutan.
2.Perda sebagai pelaksana peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi
Perda merupakan pelaksana dari peraturan perundang-undangan yang ada di atasnya, sehingga perda tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di tingkat pusat (nasional)
3.Perda sebagai penangkap dan penyalur aspirasi masyarakat Daeerah
Perda merupakan sarana penyaluran kondisi khusus daerah dalam konteks dimensi ekonomi, sosial, politik dan budaya.
4.Perda sebagai harmonisator berbagai kepentingan
Perda merupakan produk perundang-undangan yang mempertemukan berbagai kepentingan. Oleh karenanya, dalam pembentukkan Perda harus diperhitungkan kepentingan-kepentingan yang ada, baik dalam tataran daerah yang bersangkutan, antar daerah ataupun dalam tataran nasional.
5.Perda sebagai alat transformasi perubahan bagi daerah
Perda memiliki andil dalam menentukan keberhasilan pemerintahan dan pembangunan daerah. Perda memiliki peranan penting dalam mencapai sistem pemerintahan dan kinerja pembangunan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat daerah. Perda bukan sekedar alat untuk mengatur tentang jalannya roda pemerintahan dan pembangunan tetapi juga sebagai alat untuk mencapai cita-cita daerah menuju kehidupan masyarakat yang lebih baik.
Dari hal tersebut penyusunan Peraturan Daerah yang terencana dan terpadu sangat penting. Berkaitan dengan penyusunan Peraturan perundang-undangan, perlu diketahui substansi yang perlu diatur, yaitu: asas tidak bertindak sewenang-wenang, asas perlakuan yang sama, asas kepastian hukum, asas perlakuan yang jujur, asas kecermatan, asas keharusan adanya motivasi daalam tindakan, dan asas memenuhi harapan yang ditimbulkan. Selain asas tersebut, terdapat asas ketidaksempurnaan yang dikemukakan oleh para teorisi Anglo Sazon (Lon L. Fuller, 1969 dalam Atmadja, 2001) yang meliputi arti ganda, kekaburan, terlalu luas, ketidaktepatan, ketidaktepatan tentang pentingnya sesuatu, berlebihan, terlalu panjang, membingungkan, tanpa tanda yang memudahkan pemahaman, dan ketidakteraturan. Dengan mengetahui asas-asas tersebut, akan membantu dalam menyusun peraturan perundang-undangan (Perda) yang baik sehingga dapat mendukung terciptanya tata kelola regulasi yang baik.
Dalam upaya menciptakan tata kelola regulasi yang baik, harus menggunakan prinsip-prinsip good governance, yaitu partisipatif, berorientasi pada konsensus, akuntabel, transparan, responsif, efektif dan efisien, adil serta mengikuti aturan hukum yang berlaku (UN-ESCAP, Bangkok, Thailand). Ini artinya dalam pembuatan Perda harus melibatkan partisipasi masyarakat, disetujui oleh masyarakat dan Perda dibuat dalam kerangka menjawab permasalahan yang ada dalam masyarakat. Selanjutnya Perda yang dihasilkan dapat dipertanggung jawabkan, memiliki rasa keadilan dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang ada di atasnya. Dengan berprinsip pada hal tersebut, perda yang dihasilkan dapat mendukung terciptanya good governance.
Adanya tata kelola regulasi yang baik akan menghasilkan regulasi yang berpihak kepada masyarakat, bukan pada elit atau golongan tertentu. Adalah menjadi tantangan bagi pemerintah daerah untuk dapat membuat regulasi yang berpihak pula kepada kelompok rentan (vulnerable groups) di daerahnya, misalnya perempuan, anak, kelompok minoritas dan masyarakat adat.
Perempuan dalam Kebijakan Publik di Daerah
Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa sejak adanya otonomi daerah pemerintah daerah tampak seperti berlomba-lomba menerbitkan peraturan-peraturan daerah. Namun demikian, beberapa peraturan daerah yang ada justru meminggirkan perempuan dan tidak berkeadilan gender. Meskipun secara normatif Perda-perda tersebut tidak dimaksudkan untuk mendiskriminasikan perempuan, namun dalam implementasinya perempuan sering dijadikan sebagai objek hukum. Berdasarkan catatan Komnas Perempuan, terdapat 30 peraturan daerah/ peraturan desa dan kebijakan lainnya yang secara eksplisit mengatur tubuh dan perilaku perempuan, misalnya Perda Kabupaten Garut Nomor 7 Tahun 2003 tentang larangan perempuan berjalan sendirian atau berada di luar rumah tanpa ditemani muhrimnya, khususnya pada selang waktu pukul 24.00. Perda Tangerang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan, Mencurigai, Menangkap Perempuan di Tempat Umum karena Diduga Melacur. Perda Kota Bengkulu Nomor 24 Tahun 2000 tentang Larangan Pelacuran.
Sebagian besar perda-perda tersebut merupakan Perda berbasis syariah. Meskipun Perda tersebut tidak mencantumkan secara jelas istilah Syariah Islam, namun terdapat kodifikasi elemen-elemen syariah Islam. Menjamurnya Perda-perda berbasis syariah, dapat dipahami bahwa aspek moralitas merupakan hal yang penting dalam pembangunan daerah. Namun demikian, pemikiran yang bias gender dengan mengekang perempuan dengan jilbasisasi dan larangan ke luar malam telah menyebabkan adanya produk-produk hukum yang alih-alih merupakan usaha menegakkan aspek moralitas justru mengekang perempuan dan menenggelamkan akar permasalahan yang sebenarnya. Meskipun Perda-perda tersebut tidak merumuskan secara tegas jenis kelamin perempuan, tetapi pada implementasi di lapangan hal ini justru menjadi ancaman terhadap hak-hak perempuan. Misalnya saja pada Perda Kota Tangerang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Larangan Pelacuran, pada pasal 4 ayat (1), disebutkan bahwa “setiap orang yang sikap atau perilakunya mencurigakan sehingga menimbulkan suatu anggapan bahwa ia/ mereka pelacur dilarang berada di jalan-jalan umum, di lapangan-lapangan, di rumah penginapan, losmen, hotel, asrama, rumah penduduk/ kontrakan, warung-warung kopi, tempat hiburan, gedung tempat tontonan, di sudut-sudut jalan atau di lorong-lorong jalan atau tempat-tempat lain di daerah.” Adanya Perda tersebut menyebabkan perasaan khawatir dan ketakutan bagi perempuan yang memiliki pekerjaan atau aktivitas di luar rumah, khusunya di malam hari. Perda tersebut dapat dipandang menghalangi hak setiap orang dalam memperoleh mata pencaharian. Selain itu, ketentuan dalam Perda tersebut dapat dijadikan dasar rujukan penangkapan atas dasar kecurigaan dan ini artinya tidak menggunakan prinsip praduga tak bersalah. Sementara itu Perda yang mengatur pakaian yang harus dikenakan perempuan, telah mengatur standar penampilan perempuan di muka publik. Ini menunjukkan bahwa adanya Perda tersebut berangkat dari asumsi bahwa perempuan masih sering berpakaian tidak pantas dan tidak bermoral. Pemberlakuan ini kemudian menimbulkan praktek diskriminasi dalam implementasinya, dimana di suatu daerah perempuan mendapat halangan dalam pelayanan publik karena busana yang dikenakan (bukan busana muslim).
Sebuah contoh kongkret, dalam penerapan Perda Kota Tangerang Nomor 8 Tahun 2005 telah berdampak pada pembatasan hak perempuan untuk melakukan aktivitas di malam hari. Pada bulan Februari 2006, seorang perempuan bernama Lilis ditangkap saat menunggu kendaraan umum untuk pulang. Lilis ditangkap dengan tuduhan berprofesi sebagai PSK, dengan bukti alat-alat kosmetik di tasnya. Meskipun Lilis menolak tuduhan sebagai PSK, pengadilan menyatakan dia bersalah dan menghukumnya dengan membayar denda Rp. 300.000,00. Karena Lilis tidak mampu membayar denda tersebut, ia akhirnya dipenjara selama 3 hari untuk mengganti denda tersebut.
Dari kasus tersebut, jelas terlihat bahwa implementasi Perda tersebut sangat diskriminatif pada perempuan, dan betapa perempuan kemudian menjadi korban dari kebijakan tersebut. Perda-perda berbasis syariah yang muncul untuk merespon persoalan moral di masyarakat justru memasung hak-hak perempuan dan anti toleransi. Persoalan moral dipahami dalam pengertian sempit, yaitu berkaitan dengan kesusilaan, dimana perempuan dipandang sebagai pihak yang paling bertanggung jawab atas hal tersebut. Atas nama kesusilaan dan moral, cara berpakaian untuk kelompok sex tertentu diberlakukan. Bukankah ukuran moral tidak dilihat dari seberapa panjang jilbab atau ritual yang dipersembahkan? Namun yang terjadi, kebijakan otonomi daerah yang alih-alih memiliki semangat demokratis, ternyata justru menjadi bumerang bagi idealisme prinsip demokrasi, karena melahirkan peraturan-peraturan yang anti toleransi.
Menurut Ahmad Suedy, Direktur Eksekutif Wahid Institute, beberapa Perda berbasis syariah yang diundangkan oleh sejumlah provinsi dan kabupaten/ kota pada umumnya ditujukan untuk kepentingan politik jangka pendek elit politik di masing-masing wilayah tersebut. Misalnya, ditujukan sebagai alat pencitraan elit politik yang sedang berkuasa dan untuk mempertahankan tingkat kepercayaan publik terhadap penguasa dan lenbaga legislatif di daerah, sebagai alat partai-partai politik dalam menunjukkan komitmen mereka terhadap kepentingan Islam dan umat Islam, atau sebagai modal awal dalam investansi politik untuk meraih simpati pemilih Muslim dalam pemilihan kepala daerah selanjutnya. Argument tersebut ditegaskan dengan hasil wawancara Komnas perempuan pada bulan februari 2008 dengan sejumlah elit politik lokal di 3 provinsi, dimana secara lugas para perancang perundang-undangan dengan sengaja dan seksama menjadikan perempuan sebagai alat mobilisasi publik oleh elit politik. Ini menunjukkan bahwa pertimbangan politik acapkali melatarbelakangi kemunculan perda-perda tersebut.
Berdasarkan hal tersebut, dapat dikatakan bahwa pembentukkan perda-perda tersebut tidak mencerminkan adanya tata kelola regulasi yang baik, mengingat pembentukkan Perda justru menjadi alat dalam pencapaian kepentingan politik elit-elit tertentu, selain itu juga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang ada di atasnya. Misalnya saja terhadap UUD 1945, sebagai peraturan perundang-undangan tertinggi dalam tata perundang-undangan Negara, yaitu dalam pasal 28 E ayat (2), 28 G dan 28 I ayat (2). Selain itu juga tidak sesuai dengan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) yang telah dirativikasi oleh pemerintah melalui UU Nomor 7 Tahun 1984, dimana dalam Undang-undang tersebut Pemerintah Pusat dan Daerah berkewajiban membuat kebijakan publik yang menjamin terlaksananya hak asasi manusia dan kebebasan pokok atas dasar persamaan dan keadilan, antara perempuan dan laki-laki dalam kehidupan sosial, ekonomi, politik dan budaya.
Belum adanya sensitivitas Perda terhadap persoalan perempuan juga terlihat dari sisi anggaran. Di setiap daerah, jumlah APBD yang diperuntukkan bagi pemberdayaan perempuan sangat beragam. Misalnya Perda APBD Kota Sukabumi yang diperkuat dengan SK Walikota Sukabumi Nomor 205 tahun 2001 tentang Alokasi Dana Pembangunan Kelurahan dan pembentukkan Tim Pembina dan Pengendali Dana Pembangunan kelurahan Kota Sukabumi tahun anggaran 2001, dana pembangunan yang diperuntukkan bagi perempuan masih membawa visi pendomestikan kaum perempuan. Di Tasikmalaya pada APBD tahun 2003 disebutkan adanya anggaran Rp 300.000.000,00 yang dialokasikan untuk Pelatihan perempuan, Anak dan Remaja. Namun alokasi dana untuk Biaya Langsung per kegiatan hanya sejumlah Rp 100.000.000,00 dan sisanya untuk Belanja pegawai, barang dan jasa, perjalanan dinas dan belanja operasi dan pemeliharaan. Ini menunjukkan bahwa pemberdayaan perempuan baru dijadikan sebatas proyek. Sementara itu, pemerintah Kota Samarinda dalam APBD tahun 2002 untuk sektor peranan wanita, anak dan remaja mengalokasikan 0,00043% dari total APBDnya. Kecilnya alokasi anggaran untuk perempuan menunjukkan masih belum adanya perhatian yang sungguh-sungguh dari Pemerintah Daerah.
Pun demikian, beberapa daerah pun tercatat sukses memiliki Perda yang berperspektif gender. Misalnya saja Perda Kabupaten Donggala No. 12 Tahun 2006 tentang Partisipasi dan Keterwakilan Perempuan dalam Pemerintahan Desa Lembaga Kemasyarakatan Desa dan Proses Pembangunan Desa. Selain itu terdapat pula Peraturan Bupati tentang alokasi anggaran yang responsif gender. Jawa Timur memiliki Perda Nomor 9 Tahun 2005 tentang Penyelenggaran Perlindungan bagi Anak dan Perempuan Korban Kekerasan, yang menjabarkan hak-hak korban dan kewajiban Pemerintah dalam memberikan layanan terpadu bagi korban. Perda Kabupaten Sumbawa Nomor 11 tahun 2003 tentang Pembinaan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia asal Sumbawa, yang menyatakan kewajiban pemerintah untuk memberikan perlindungan terhadap buruh migran di daerahnya dari segala bentuk eksploitasi dan kekerasan serta menolak semua bentuk komoditas terhadap tenaga kerja yang meyoritas perempuan. Di Kabupaten Lombok Timur terdapat SK Bupati Bebas Biaya Visum untuk Korban Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak, SK Bupati tentang Perlindungan, Penempatan dan Pembinaan Tenaga Kerja Asal Lombok Timur dan Perda Nomor 7 tahun 2007 tentang Perlindungan Buruh Informal di Kabupaten Lombok Timur. Di tingkat desa, terdapat Peraturan Desa Sido Urip, Kecamatan Argamakmur, Bengkulu Utara, Nomor 1 Tahun 2005 tentang Perlindungan Hukum bagi Korban Kekerasan. Adanya Perda-perda tersebut menunjukkan bahwa otonomi daerah menjadi peluang tersusunnya regulasi yang ramah perempuan dan lebih lanjut akan mendorong terciptanya tata pemerintahan yang sensitif terhadap perempuan dan the voiceless lainnya. Ini artinya, akan tercipta tata kelola peraturan daerah yang baik yang memiliki sensitivitas gender.
Regulasi Berperspektif Gender
Semangat otonomi daerah yang pada hakekatnya didasarkan pada keinginan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pengelolaan sumber daya alam serta meningkatkan pasrtisipasi masyarakat, sudah seharusnya memiliki sensitivitas gender. Oleh karenanya dalam upaya menciptakan tata kelola regulasi yang baik, diikuti pula tata kelola regulasi yang baik berperspektif gender. Ini penting melihat adanya beberapa peraturan daerah yang justru diskriminatif dan tidak memiliki sensitivitas gender. Regulasi berperspektif gender dapat dipahami bahwa muatan dari regulasi tersebut tidak diskriminan terhadap gender manapun (baik laki-laki maupun perempuan). Penekanan terhadap adanya Perda ramah perempuan, tidak lepas dari banyaknya Perda yang justru memasung hak-hak perempuan dan dalam struktur masyarakat yang masih patriarki, perempuan masih kurang mendapatkan hak-haknya. Regulasi (dalam hal ini regulasi di tingkat daerah) dengan sensitivitas gender adalah suatu hal yang penting, karena Indonesia menganut sistem Eropa Kontinental dimana penerapan hukum di Indonesia didasarkan pada hukum tertulis (written law). Ini tidak lepas karena perempuan masih lemah ketika berhadapan dengan hukum. Ketimpangan gender dalam bidang hukum dapat dijumlai dalam tiga aspek hukum sekaligus, yaitu materi hukum, budaya hukum dan struktur hukum. Dalam aspek struktur, ditandai dengan masih kurangnya sensitivitas gender di lingkungan penegak hukum. Pada aspek budaya, masih dipengaruhi budaya patriarki yang kemudian mendapat legitimasi dari interpretasi agama. Sementara itu dari segi materi hukum, masih adanya muatan-muatan yang diskriminatif atau tidak memiliki sensitivitas gender.
Adanya regulasi berperspektif gender diharapkan dalam proses otonomi daerah nantinya tidak menjadi proses marginalisasi dan pelumpuhan terhadap hak-hak perempuan, namun menjadi ruang bagi perempuan dalam pemenuhan hak-haknya untuk menuju kesejahteraan bersama. Oleh karenanya, pengimplementasian kebijakan desentralisasi, mengintegrasikan pula isu gender dalam semua kebijakan yang dibuat oleh pemerintah guna mendukung adanya keadilan gender. Untuk menuju tata kelola regulasi yang baik berperspektif gender, ada beberapa hal yang perlu diperhatika.
Pertama, adanya partisipasi masyarakat dalam pembuatan keputusan, sehingga keputusan yang ada merupakan cerminan aspirasi masyarakat dan berdasarkan kebutuhannya. Konsep partisipasi politik oleh Philipus M. Hadjon dikaitkan dengan keterbukaan, dimana tanpa adanya keterbukaan pemerintahan, maka masyarakat tidak mungkin melakukan partisipasi dalam kegiatan-kegiatan pemerintahan. Dari konsep tersebut, jelas terlihat bahwa partisipasi berhubungan dengan demokrasi, yaitu adanya kesempatan bagi rakyat untuk ikut memutuskan dalam proses pengambilan keputusan di pemerintahan. Partisipasi ini juga menajdi salah satu karakteristik tata kelola pemerintahan yang baik. partisipasi tersebut selanjutnya oleh UNDP (United Nations Development Programme) diartikan sebagai keterlibatan masyarakat dalam pembuatan keputusan baik secara langsung maupun tidak langsung melalui lembaga perwakilan yang dapat menyalurkan asprirasinya. Partisipasi tersebut dibangun atas dasar kebebasan bersosialisasi dan berbicara serta berpartisipasi secara konstruktif. Berdasarkan hal tersebut, partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan termasuk pula Perda yaitu memberi masukan secara lisan atau tertulis dalam persiapan maupun pembahasan Perda.
Terkait dengan partisipasi masyarakat dalam pembuatan Perda, menurut Sad Dian Utomo, manfaat partisipasi masyarakat adalah: memberikan landasan yang lebih baik untuk pembuatan kebijakan publik, memastikan adanya implementasi yang lebih efektif karena warga mengetahui dan terlibat dalam pembuatan kebijakan publik, meningkatkan kepercayaan warga kepada eksekutif dan legislatif, serta efisiensi sumber daya. Pelibatan masyarakat dalam pembuatan perda dapat dilakukan dengan melibatkan masyarakat dalam rapat Dengar Pendapat Umum atau rapat lain yang sejenis, penjaringan masukan oleh anggota DPRD dan sebagainya. Pelibatan masyarakat ini, terutama adalah masyarakat yang ‘rentan’ terhadap peraturan tersebut dan juga perempuan. Terkait dengan hal ini perlu adanya aksi afirmatif terkait dengan pelibatan perempuan, mengingat perempuan selama ini kurang banyak terlibat dalam proses pengambilan keputusan dan hal ini makin diperburuk dengan sistem patriarki yang masih berlaku di masyarakat. Pelibatan perempuan dalam pembuatan Perda, diharapkan dapat memberi masukan sehingga Perda yang dihasilkan berperspektif gender dan memiliki rasa keadilan pada masyarakat, terutama bagi perempuan.
Kedua, adanya pendidikan kritis dan sensitif gender kepada masyarakat (khususnya perempuan dan para pengambil keputusan). Partisipasi masyarakat tanpa dibarengi pendidikan kritis dan sensitif gender, kurang mampu menghasilkan Perda berperspektif gender. Oleh karenanya perlu adanya pendidikan kritis dan sensitif gender kepada masyarakat. Pendidikan ini dilakukan secara luas, baik pendidikan formal maupun informal, terutama pendidikan keluarga, sehingga nantinya dapat mendorong adanya perubahan dari budaya patriarki menjadi budaya yang menghargai kesetaraan, perbedaan dan kemajemukan. Dari budaya kekerasan menjadi budaya damai penuh toleransi.
Pendidikan ini ditekankan kepada perempuan, dimana perempuan sebagai salah satu pihak termarginalkan dalam masyarakat. Oleh karenanya perlu penekanan sehingga perempuan dapat berpartisipasi dan memanfaatkan haknya dalam pembuatan kebijakan sehingga bisa lebih pro keadilan. Hal ini penting karena adanya partisipasi perempuan tanpa diikuti dengan pendidikan kritis dan sensitif gender pada perempuan dapat menjadi bomerang sendiri. Ini dapat menjadi justifikasi keberadaan Perda yang diskriminatif dengan alasan perempuan telah terlibat di dalamnya. Selain itu pendidikan kritis dan sensitif gender perlu diberikan kepada para pengambil keputusan, baik itu eksekutif maupun anggota legislatif sehingga nantinya keputusan yang dihasilkan pun tidak diskriminatif terhadap kelompok sex tertentu.
Ketiga, peningkatan pemahaman tentang legal drafting kepada para pembuat kebijakan. Pemahaman yang baik mengenai legal drafting oleh para pembuatan kebijakan merupakan hal yang penting, sehingga nantinya regulasi yang dihasilkan tidak cacat hukum serta merupakan sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Keempat, adanya interpretasi agama yang ramah perempuan dan berkeadilan gender. Hal ini tidak lepas dari maraknya Perda-perda yang berbasis syariah, dimana kemudian yang tampak adalah agama tidak berpihak pada perempuan. Padahal, apa yang disyariatkan Tuhan pasti merupakan tuntutan ideal dan sesuai dengan kebutuhan manusia. Oleh karenanya diperlukan interpretasi yang ramah perempuan sehingga dapat mengeliminasi secara gradual pemahaman keagamaan sehingga lebih akomodatif terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Ini penting, karena agama acapkali dijadikan alat legitimasi dalam mengabsahkan kebijakan-kebijakan yang justru seringkali bertentangan dengan nilai agama. Oleh karenanya perlu adanya pemahaman yang luas terhadap ajaran agama, sehingga agama tidak dijadikan legitimasi dalam mengabsahkan kebijakan-kebijakan yang acapkali justru bertentangan dengan nilai agama.
Kelima, penerapan RIA (Regulatory Impact Assesment), yang merupakan alat untuk mengevaluasi kebijakan regulasi secara efektif dan efisien. Tujuan dilaksanakannya RIA adalah untuk menilai secara sistematis pengaruh negatif dan positif dari regulasi yangt sedang diusulkan atau yang sedang berjalan. Oleh karenanya, RIA dapat berfungsi sebangai alat pengambil keputusan yang secara sistematis dan konsisten mengkaji pengaruh yang ditimbulkan oleh tindakan pemerintah dan mengkomunikasikan informasi pada para pengambil kebijakan. Pelaksanaan RIA akan berdampak pada dihasilkannya regulasi yang positif dan tidak tumpang tindih. Ini artinya regulasi yang dihasilkan mengakomodasi semua kelompok/ golongan yang ada, serta memiliki kebermanfaatan yang nyata bagi masyarakat.
Dengan demikian, dapat mendukung adanya tata kelola regulasi yang baik berperspektif perempuan. Selanjutnya regulasi ini dapat mendukung terciptanya kehidupan yang lebih baik, berperi kemanusiaan, berkeadilan gender serta ramah perempuan. Bukankah dunia yang ramah perempuan adalah dunia yang ramah untuk semuanya?
“There never will be complete equality until
women themselves help to make law and elect law makers.”
Susan B. Anthony
Daftar Pustaka
“Good Governance pada Pemerintah Provinsi DIY,” dalam http://www.skripsi-tesis.com/07/05/good-governance-pada-pemerintah-provinsi-diy-pdf-doc.htm
“Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan seDunia Perempuan Pembela HAM Masih di Dili,” dalam http://www.cybertokoh.com/mod.php?mod=publisher&op=printarticle&artid=3567
“Memenangkan Perda Partisipasi Perempuan,” dalam http://www.yappika.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=59&Itemid=70
“Otonomi Daerah, Politisasi Identitas, dan Hak Konstitusional Perempuan: Catatan 10 tahun Reformasi,“ dalam www.komnasperempuan.or.id/wp-content/uploads/2009/02/catatan-tahun-kekerasan-terhadap-perempuan-2007.pdf
“Peraturan Daerah dan Transformasi Sosial” dalam http://talkshows.pshk.or.id/dokumentasitalkshowdetail.php?id=28
“Potret perempuan dalam Otonomi Daerah: Rangkuman Penelitian Pertama WRI,” dalam http://wri.or.id/?q=node/8
Chandraningrum, Dewi , “Perda Syaria and the Indonesian Women’s Critical Perspectives,” Working Paper
Chrisnawati, Desy, “Prinsip Good Governance dalam Pembentukkan Peraturan Perundang-undangan di Indonesia: Studi Kasus terhadap Peraturan Daerah di Kota Surabaya,” dalam http://adln.lib.unair.ac.id/go.php?id=gdlhub-gdl-s1-2007-chrisnawat-5303&PHPSESSID=7ef6e323a54e817c51a603fa3c103195
Christanto, Joko, Otonomi Daerah dan Skenarion Indonesia 2020 dalam Konteks Pembangunan Daerah dengan Pendekatan Kewilayahan (Regional Development Approach), dalam http://tumoutou.net/3_sem1_012/joko_christanto.htm
Made Ari Yuliartini Griadhi, Ni dan Anak agung Sri Utari, “Partisipasi Masyarakat dalam Pembentukkan Peraturan Daerah,” dalam http://ejournal.unud.ac.id/abstrak/partisipasi%20masy%20_md%20ari%20yuliarini%20&%20aasri%20utari_%20jan%20208%20wr(1).pdf
Sadiawati, Diani , “Regulasi (Peraturan Perundang-undangan) dan Pengarusutamaan Gender,” dalam http://www.legalitas.org/database/artikel/lain/Regulasi%20Pengarusutamaan%20Gender.pdf
Anonim, Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah
Arivia, Gadis (ed),” Women for Peace: Perempuan untuk Perdamaian Dunia, Jakarta:2007
Fokus: Bersama Menolak Perda Diskriminatif, Nawala The Wahid Institute, No 2/ Tahun II, Maret – Juni 2007
Journal of Business and Political Economy (Jurnal Bisnis dan Ekonomi Politik), Vol 7, No 3, July 2006
Jurnal Perempuan Ed. 60, September 2008, Jakarta, hal 14
0 komentar:
Post a Comment