Wednesday, November 05, 2008

hak kesehatan reproduksi

3

Masalah reproduksi selama ini dipandang sebagai masalah privat dan jarang sekali dibumikan di ranah publik. Ini disebabkan karena reproduksi sebagaimana halnya dengan seksualitas dipandang sebagai hal yang tabu untuk dibicarakan secara terbuka. Hal ini menyebabkan tidak banyak orang yang mengerti benar masalah reproduksi, padahal reproduksi adalah suatu hal yang penting. Oleh karenanya penting kiranya untuk mengetahui dan paham mengenai masalah reproduksi, karena tiap-tiap orang memiliki hak atas kesehatan reproduksi.

Kesehatan reproduksi dalam Kongres Kependudukan dan Pembangunan di Kairo tahun 1994, didefinisikan sebagai keadaan sehat fisik, mental, sosial, dan tidak sekedar tidak memiliki penyakit atau keadaan lemah. Berdasarkan definisi tersebut dapat dikatakan bahwa kesehatan tidak hanya menyangkut masalah fisik, namun juga berkenaan dengan masalah sosial dan mental. Kesehatan reproduksi menyangkut perkembangan organ-organ
reproduksi sejak dalam kandungan hingga meninggal.


Hak kesehatan reproduksi menyangkut hak untuk mendapatkan informasi dan pendidikan
yang benar mengenai reproduksi; hak untuk mendapatkan kehidupan seks yang aman
dan memuaskan, hak untuk kebebasan berpikir, termasuk kebebasan dari penafsiran ajaran agama, kepercayaan, filosofi, dan tradisi secara sempit yang akan membatasi kebebasan berpikir tentang pelayanan reproduksi; hak atas kebebasan dan keamanan individu untuk mengatur kehidupan reproduksinya, termasuk untuk hamil atau tidak hamil; hak untuk hidup, yaitu dibebaskan dari risiko kematian karena kehamilan; hak mendapat pelayanan dan perlindungan kesehatan, termasuk hak atas informasi, keterjangkauan, pilihan, keamanan, kerahasiaan; hak memilih bentuk keluarga; dan hak kebebasan berkumpul dan berpartisipasi dalam politik yang termasuk jaminan atas hak untuk mendesak pemerintah agar menempatkan masalah kesehatan reproduksi sebagai prioritas dalam kebijakan politik negara.

Meskipun hak atas kesehatan reproduksi adalah hak setiap orang, baik laki-laki ataupun perempuan, namun tidak dapat disangkal bahwa kesehatan reproduksi berhubungan erat dengan perempuan. Walaupun berhubungan erat dengan perempuan, namun perempuan masih menjadi pihak yang termarginalkan dalam hal kesehatan reproduksi.Hak kesehatan reproduksi seringkali berhadapan dengan hubungan seksualitas yang tidak seimbang antara laki-laki dan perempuan, di mana laki-laki berada di posisi superior sementara perempuan berada di posisi inferior. Akses perempuan dalam pengambilan keputusan yang berhubungan dengan masalah reproduksinya sangat rendah. Keputusan untuk hamil atau tidak seringkali bukan keputusan bersama dan tidak mengindahkan pendapat perempuan sebagai pemilik rahim. Banyak kasus menunjukkan bahwa istri tidak memiliki kemampuan untuk menolak suaminya yang telah tertular penyakit menular seksual. Selain itu banyak dijumpai pula pelanggaran terhadap hak kesehatan reproduksi perempuan, misalnya pemaksaan hubungan seksual di dalam perkawinan, perjodohan paksa, pemaksaan pernikahan dini, larangan menghentikan kehamilan, pelecehan seksual, dan tidak adanya informasi masalah kesehatan reproduksi. Hal ini diperburuk dengan budaya masyarakat yang patriarki, sehingga hasilnya dapat dibayangkan, perempuan kurang mampu mendapatkan hak kesehatan reproduksinya.

Belum terpenuhinya hak kesehatan reproduksi bagi perempuan, terlihat juga dari masih
tingginya angka ibu hamil. Selain itu perempuan masih kurang mendapatkan informasi mengenai kesehatan reproduksi yang benar, dan akibatnya mitos dan informasi yang tidak lengkap dan jelas berkeliaran dengan bebas di masyarakat. Berkaitan dengan masalah penjarangan kehamilan, perempuan pernah menjadi korban program pengen dalian laju pendudk dengan adanya program Keluarga Berencana(KB). Perempuan diharuskan menggunakan alat kontrasepsi tanpa adanya penelitian/ pemeriksaan yang akurat mengenai alat KB apa yang cocok dengan dirinya.

Berdasarkan hal yang telah dipaparkan tersebut, jelas terlihat bahwa hak atas kesehatan reproduksi belum sepenuhnya diberikan pada perempuan. Padahal hak atas kesehatan reproduksi dijamin melalui serangkaian konvensi internasional yang juga ditandatangani Pemerintah Indonesia, yaitu Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, kesepakatan Konferensi Internasional tentang Kependudukan dan Pembangunan di Cairo, Mesir, tahun 1994, dan Konferensi Dunia keempat tentang Perempuan di Beijing tahun 1995. Hak atas kesehatan reproduksi juga dilindungi oleh Undang-Undang Dasar 1945 yang telah diamandemen, yang menyebutkan bahwa kesehatan adalah bagian dari hak asasi manusia. Oleh karena itu, hak atas kesehatan reproduksi harus segera diberikan, di mana terdapat keadilan gender di dalamnya. Ini bisa dilakukan dengan adanya kesetaraan gender dalam masalah seksualitas, informasi kesehatan reproduksi yang baik dan merata untuk semua orang (terutama perempuan yang tinggal di daerah pedalaman, atau dengan tingkat pendidikan yang rendah). Sosialisasi kesehatan reproduksi tersebut dapat dilakukan melalui pendidikan formal ataupun non formal, yang menempatkan perempuan sebagai subjek, bukan objek atas kebijakan pemerintah ataupun objek dari kapitalis industri kesehatan dan alat-alat kontrasepsi. Selain itu perlu ditingkatkan akses perempuan terhadapa layanan kesehatan reproduksi. Sementara itu berkaitan dengan masalah kebijakan, perlu adanya peninjauan atas kebijakan yang cenderung bias jender yang berkaitan dengan masalah kesehatan reproduksi, misalnya UU Perkawinan No1/ 1974 yang masih menunjukkan hubungan yang tidak setara antara suami dan istri. Serta Undang- Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan yang belum mengakomodir masalah kesehatan reproduksi secara komprehensif.

3 komentar:

Anonymous said...

Ria...U sekarang dimana ? Udah punya Pacar blm ?

ria permana sari said...

wah... siapa ney...?

Anonymous said...

thanks ya infonya !!!

www.bisnistiket.co.id