aku memintal doa
untuk dia yang tercinta
kembalilah dia yang terkasih
lelah sungguh aku menanti berakhirnya 1 dasawarsa
namun kau tak kunjung kembali
tiap purnama kutunggu kau di ujung jembatan ini
tempat terakhir kau kutemu
“Bapak mau ke jembatan lagi?” tanya Wati, anak semata wayangku.
“Iya, siapa tahu hari ini ibu pulang. Kontrak ibu kamu kan 10 tahun, sekarang sudah lebih 3 bulan, harusnya ibumu sudah pulang.” Kataku sambil menyisir rambutku yang kian menipis dan mematut-matutkan diriku di kaca sebelum pergi. Aku tak mau kelihatan buruk ketika menyambutmu nanti.
Hari ini tepat 10 tahun 3 bulan kau pergi tinggalkan kami semua demi secercah harapan untuk kehidupan yang lebih baik. Semua orang menganggap apa yang kulakukan sia-sia, terlebih ketika sudah 4 tahun kau tak ada kabar dan tak lagi mengirimi kami uang, namun tak pernah selintaspun pikiran buruk di otakku. Aku yakin, kau pasti akan kembali, sebagaimana dulu janji yang kau sampaikan. Sebagaimana janji yang dulu aku ucapkan, kan kutunggu kau di sini, di ujung jembatan ini.
“Nunggu Marni lagi Kang?” sapa Kang Ahmad.
“Iya, siapa tahu hari ini dia pulang.”
“Saya nunggu istri saya, kemarin saya ditelpon katanya hari ini dia pulang,” katanya dengan mata berkaca-kaca.
Kami terdiam. Aku membayangkan diriku juga ditelpon bahwa istriku pulang hari ini, namun pak Ramli tidak memberitahu apapun juga. Ya, selama ini jika istriku menelpon selalu ke nomor Pak Ramli, karena kami tak punya pesawat telepon atau handphone.
“Kang, kok nangis.. Sebentar lagi istrinya kan datang,” kataku ketika mendengar kang Ahmad terisak.
“iya kang, jenazah istri saya tepatnya.”
Aku terdiam, Darti istri kang Ahmad pergi jadi TKI, dua tahun sesudah kepergian istriku dan sekarang… Tidak, Marni baik-baik saja di sana. Aku yakin itu, aku selalu mendoakannya tiap malam. Aku selalu meminta Tuhan untuk menjaganya, dan bukankah di sana ada pemerintah yang akan membantu dan menjaganya ketika dia kesulitan?
Akhirnya mobil yang membawa jenazah istri Kang Ahmad datang. Dengan berat hati aku tinggalkan jembatan itu dan mengikuti Kang Ahmad yang melangkah gontai menuju rumahnya. Semoga jika Marni datang hari ini, dia bisa memahami mengapa aku tak ada di ujung jembatan itu, menantinya sebagaimana ucapku padanya 10 tahun yang lalu.
***
Belum empat tahun usiaku kala itu, ketika ibuku pergi ke jazirah Arab untuk mengais rezeki di sana. Kenangan tentang ibuku tak sedikitpun tertinggal di sini. Yang aku tahu, dia pasti orang yang sangat baik dan mencintai Bapak. Jika tidak, mengapa tiap hari Bapak selalu menyempatkan ke jembatan untuk menantinya? Tiap tanggal 1 bulan Agustus, seharian penuh Bapak bakal menunggu ibu di Jembatan Cilet. Dulu Bapak selalu mengajakku, ketika aku belum bersekolah sambil menceritakan bagaimana ibu.
Sia-sia, apa yang Bapak lakukan. Namun tak pernah aku katakana hal itu padanya, semua orang sudah mengatakan hal itu padanya, namun dia tak pernah bergeming pada keyakinannya bahwa ibu pasti kembali. Bapak tak pernah peduli bahwa sudah 4 tahun Ibu tak pernah lagi mengirimkan kabar.
“Terakhir kali ibumu menelpon, dia bilang majikannya baik. Dia sehat di sana dan akan segera pulang.”
Demikian selalu kata bapak, entah itu untuk meyakinkan aku atau dirinya sendiri bahwa ibu baik-baik saja di sana. Aku sudah melepas harapan akan bertemu dengan ibu, sudah terlalu banyak cerita sedih tentang TKI yang aku dengar. Kemarin Mila, temanku bercerita tentang kakaknya yang pulang dan menjadi gila karena trauma akibat perkosaan yang dia alami. Atau Sidik yang menangis karena ibunya pulang dalam keadaan tak bernyawa.
Diam-diam aku hubungi pak Cardi, orang dari desa sebelah yang gencar membela hak-hak TKI. Banyak yang bilang, kita bisa minta bantuannya untuk mencari kerabat kita yang pergi jadi TKI dan tak ada kabar. Namun tentu saja itu tidak berarti usahanya selalu berhasil, namun setidaknya dia berusaha membantu. Pernah satu kali aku ajak Bapak ke sana, namun Bapak malah memarahi dengan alasan aku berpikir yang bukan-bukan tentang keadaan ibu.
“Kalau kita berpikir positif, itu yang akan terjadi,” demikian selalu kata Bapak.
“Kamu lihat Santi, dia tidak ada kabar selama 5 tahun, toh nyatanya dia pulang juga. Sukses lagi.”
***
Angin masih meniupkan mimpiku
pulang, kembali bersama mereka yang terkasih
namun getir dingin membuyarkan lamunanku
besok pagi aku dipancung
Sudah sepuluh tahun aku meninggalkan keluargaku. Tentu Wati sudah besar sekarang, terakhir kali aku menelpon mereka, Wati bilang dia rangking satu di kelasnya dan dia ingin jadi bidan. Tentunya tak akan aku biarkan nasib Wati berakhir seperti aku, jadi TKI. Bukan.. bukan karena ini pekerjaan yang buruk. Tidak ada pekerjaan yang buruk. Hanya saja aku takut, takut pengalamanku akan berulang padanya.
“Mas, tolong uang yang aku kirim, kau simpan juga untuk masa depan Wati. Aku ingin dia jadi orang yang sukses. Tak mengapa rumah kita masih buruk seperti dulu ketika aku tinggalkan.”
Demikian selalu kata-kataku pada suamiku. Tak ingin sedikitpun aku membuatnya khawatir dengan menceritakan keadaanku yang sebenarnya. Semuanya berubah empat tahun lalu. Majikanku sering sekali memukuli, sejak usahanya tak lancar. Pekerjaan aku selalu saja dibilang tidak baik dan terakhir aku dituduh akan membunuh mereka. Tuhan… aku memang benci pada mereka, pada perlakuan mereka. Aku benci mereka karena mereka tak membayar gajiku, yang harusnya bisa aku kirimkan ke keluargaku. Tapi sungguh, aku tak akan pernah membunuh mereka, itu dosa.
Segala pembelaanku tak juga diindahkan, hingga akhirnya aku berada di penjara. Dimana-dimana mereka dulu yang menjanjikan akan membantu aku ketika aku kesulitan, mengapa tak nampak batang hidungnya? Aku tidak ingin mati di sini, aku ingin bertemu keluargaku.
***
Sudah beberapa hari ini Pak Karsa termenung, istrinya tak kunjung datang. Beberapa kabar buruk yang datang tentang tetangganya yang juga menjadi TKI, membuatnya semakin resah dengan keadaan istrinya.
“Wati, Bapak mau ke tempat pak Cardi.”
“Kenapa pak? Ada berita tentang Ibu?”
“Bapak mau minta bantuannya, agar tahu dimana ibumu.”
Tidak beberapa saat kemudian, pintu rumah kami diketuk. Buru-buru aku membukanya.
“Pak Cardi…” kataku
“Wah baru saja saya mau ke rumah sampeyan, kang.”
Pak Cardi terdiam dan memandang Wati dengan getir, membuat Wati semakin merasa gelisah.
“Ada berita tentang Ibu kan Pak?” Wati terisak.
Pak Karsa terdiam, mematung dan memandang Pak Cardi.
“Kang, sabar ya.. saya baru dapat beritanya tadi. Istri sampeyan bakal dihukum mati besok. Majikannya menuduh istri sampeyan akan membunuh mereka.”
“Itu tidak mungkin Kang, istri saya tidak seperti itu. Itu bohong… ini tentu gara-gara saya yang berpikiran buruk tentang istri saya. Ini gara-gara saya. Kejadian kan…”
Wati memandang Bapaknya dan mengajaknya duduk di kursi serta berusaha menenangkannya.
Empat tahun tanpa kabar
Berbagai berita sedih terlalu sering kudengar
Guruku berkata para TKI adalah pahlawan devisa
Bagaimana bisa seorang pahlawan dibiarkan mati di sana
Dibiarkan diperkosa atau dianiaya
Empat tahun tanpa kabar
Sejak saat itu telah kurelakan dirimu
0 komentar:
Post a Comment