Monday, November 26, 2007

Perkembangan Pasar Modal di Indonesia

0


Di era globalisasi, pasar modal atau bursa merupakan pendanaan yang cukup penting. Pasar modal dapat diibaratkan dengan mall atau pusat perbelanjaan, hanya saja yang membedakannya adalah barang-barang yang diperjualbelikan. Jika pusat perbelanjaan umum menyediakan berbagai macam barang kebutuhan hidup, maka pasar modal hanya menjajakan produk-produk pasar modal, seperti obligasi dan efek. Jadi pasar modal adalah kegiatan yang berhubungan dengan perdagangan modal, seperti obligasi dan efek. Pasar ini berfungsi untuk menghubungkan investor, perusahaan dan institusi pemerintah melalui perdagangan instrumen keuangan jangka panjang.

Pasar modal merupakan salah satu alternatif investasi bagi para investor. Melalui pasar modal, investor dapat melakukan investasi di beberapa perusahaan melalui pembelian efek-efek baru yang ditawarkan atau yang diperdagangkan di pasar modal. Sementara itu, perusahaan dapat memperoleh dana yang dibutuhkan dengan menawarkan instrumen keuangan jangka panjang. Adanya pasar modal memungkinkan para investor untuk memiliki perusahaan yang sehat dan berprospek baik, karena tidak hanya dimiliki oleh sejumlah orang tertentu. Penyebaran kepemilikan yang luas akan mendorong perkembangan perusahaan yang transparan. Ini tentu saja akan mendorong menuju terciptanya good corporate governance.

Sejarah Pasar Modal di Indonesia
Kegiatan jual beli saham dan obligasi sebenarnya telah dimulai pada abad XIX. Pada tanggal 14 Desember 1912, Amserdamse Effectenbueurs mendirikan cabang bursa di Batavia. Bursa ini merupakan bursa tertua keempat di Asia, setelah Bombay, Hongkong dan Tokyo. Bursa yang dinamakan Vereniging voor de Effectenhandel, memperjualbelikan saham dan obligasi perusahaan/ perkebunan Belanda yang beroperasi di Indonesia, obligasi yang diterbitkan pemerintah (propinsi dan kotapraja), sertifikat saham perusahaan-perusahaan Amerika yang diterbitkan oleh kantor administrasi di negeri Belanda serta efek perusahaan Belanda lainnya (Rusdin, Pasar Modal, Bandung; Alfabeta, 2006, hal 4).

Minat masyarakat terhadap pasar modal mendorong didirikannya bursa di kota Surabaya (11 Juni 1925) dan Semarang (1 Agustus 1925). Perkembangan pasar modal pada saat itu, terlihat dari nilai efek yang mencapai NIF 1,4 milyar, pun demikian perkembangan pasar modal ini mengalami penyurutan akibat Perang Dunia II. Akibatnya, pemerintah Hindia Belanda mengambil kebijakan untuk memusatkan perdagangan efeknya di Batavia dan menutup bursa efek di Semarang dan Surabaya. Pada tanggal 17 Mei 1940, secara keseluruhan kegiatan perdagangan efek ditutup.

Di masa kemerdekaan, pada tahun 1950, pemerintah mengeluarkan obligasi Republik Indonesia, yang menandakan mulai aktifnya Pasar Modal Indonesia. Pada tanggal 31 Juni 1952, Bursa Efek di Jakarta dibuka kembali. Penyelenggaraan tersebut kemudian diserahkan kepada Perserikatan Perdagangan Uang dan Efek-efeknya (PPUE). Namun pada tahun 1958, terjadi kelesuan dan kemunduran perdagangan di Bursa, akibat konfrontasi pemerintah dengan Belanda. Pemerintah di masa Orde Baru, berusaha untuk mengembalikan kepercayaan rakyat terhadap nilai mata uang Rupiah. Pemerintah melakukan persiapan khusus untuk membentuk pasar modal. Pada tahun 1976, pemerintah membentuk Bapepam (Badan Pembina Pasar Modal) dan PT Danareksa. Hal ini menunjukkan keseriusan pemerintah untuk membentuk Pasar Uang dan Pasar Modal. Pada tanggal 10 Agustus 1977, berdasarkan Keppres RI No 52/ 1976, pasar modal diaktifkan kembali. Perkembangan pasar modal selama tahun 1977 – 1987, mengalami kelesuan. Pada tahun 1987-1988, pemerintah menerbitkan paket-paket deregulasi. Paket deregulasi ini adalah: Paket Desember 1987 (Pakdes 87), Paket Desember 1988 (Pakto 88), dan Paket Desember 1988 (Pakdes 88). Penerbitan paket deregulasi ini menandai liberalisasi ekonomi Indonesia. Dampak dari adanya ketiga kebijakan tersebut, pasar modal Indonesia menjadi aktif hingga sekarang.

Struktur dan Hukum Pasar Modal
Struktur pasar modal di Indonesia tertinggi berada pada Menteri Keuangan yang menunjuk Bapepam sebagai lembaga pemerintah yang melakukan pembinaan, pengaturan dan pengawasan pasar modal. Sementara itu, bursa efek bertindak sebagai pihak yang menyelenggarakan dan menyediakan sistem atau sarana untuk mempertemukan penawaran jual dan beli efek pihak lain dengan tujuan untuk memperdagangkan efek di antara mereka.

Marak dan rumitnya kegiatan pasar modal, menuntut adanya perangkat hukum sehingga pasar lebih teratur, adil, dan sebagainya. Jadi hukum pasar modal mengatur segala segi yang berkenaan dengan pasar modal. Di Indonesia, terdapat UU Pasar Modal, yaitu UU No. 8/ 1995 yang mengatur tentang pasar modal. Menurut UU ini, Bapapem diberi kewenangan sebagai pengawas dan memiliki otoritas penyelidakan serta penyidikan.

Pasar Modal Indonesia Dewasa Ini
Aktivitas pasar modal yang merupakan salah satu potensi perekonomian nasional, memiliki peranan yang penting dalam menumbuhkembangkan perekonomian nasional. Dukungan sector swasta menjadi kekuatan nasional sebagai dinamisator aktivitas perekonomian nasional. Pun demikian, di Indonesia, ternyata pasar modal masih didominasi oleh pemodal asing. Idealnya, dalam pasar modal perlu ada keseimbangan antara pemodal asing dengan pemodal lokal.

Pasar modal Indonesia masih dianalogikan dengan arena judi, bukan sebagai sarana investasi. Akibatnya, hal ini menyebabkan peningkatan fluktuasi dan merugikan investor minoritas.

Indonesia memiliki 2 bursa efek, yaitu Bursa Efek Jakarta (BEJ) dan Bursa Efek Surabaya (BES), yang masing-masing dijalankan oleh perseroan terbatas. Pada September 2007, Bursa Efek Jakarta dan Surabaya digabungkan (merger) menjadi Bursa Efek Indonesia (BEI). Melalui merger ini diharapkan dapat makin memberikan peluang bagi perusahaan ke pasar modal.

Melalui penggabungan ini, biaya pencatatan menjadi lebih murah, karena hanya mencatatkan saham secara single listing, sudah terakreditasi pada BEI. Sementara itu, bagi anggota bursa, dengan menjadi anggota bursa atau pemegang saham BEI, akan langsung menembus pasar. Bagi investor penggabungan ini menjadikan makin banyaknya pilihan investasi, karena tidak ada lagi pembedaan pasar BES dan BEJ, karena produk investasi ditawarkan dalam satu atap, BEI.

Tuesday, November 20, 2007

tentang perempuan

0

Kemarin, saya mendapatkan kesempatan untuk bertemu dengan beberapa perempuan dari beberapa daerah, yah masih di jawa barat ajalah...

Keadaan perempuan, masih saja terpinggirkan (apalagi ketika melihat budaya patriarki yang masih mengakar di negeri ini). Salah seorang teman menceritakan tentang pernikahan usia muda yang dia alami. Anak memang dianggap hak milik orang tua, sehingga apa yang terjadi dalam hidupnya ditentukan oleh orang tua, demikian pula dengan pernikahan. Jawa Barat memang terkenal sebagai daerah dengan tingkatr pernikahan usia muda yang cukup tinggi. Hal ini juga membuat tingkat perceraian cukup tinggi pula.

Nggak hanya itu saja, perempuan memiliki akses pendidikan yang lebih rendah bagi laki-laki. Perempuan yang berpendidikan tinggi memang banyak, namun perempuan yang berpendidikan rendah juga tak kalah banyak. Anggapan di masyarakat bahwa perempuan tidak usah berpendidikan tinggi masih ada, karena ujung-ujungnya perempuan bekerja di rumah tangga.

Terbatasnya pilihan pekerjaan dan dorngan ekonoi, membuat banyak perempuan kemudian bekerja di luar negeri. Hal ini tentu saja membuat mereka rentan untuk diperdagangkan. Pilihan bekerja di luar negeri tidak jarang menghadapkan perempuan dalam situasi sulit, seperti penyiksaan dari majikan (fisik, seksual dan ekonomi).

Keadaan perempuan memang belum seperti yang diharapkan. Tapi itu adalah tantangan untuk memperjuangkannya...

Sunday, October 28, 2007

lagi, tentang buruh migran

0

Persoalan buruh migran masih saja menjadi hal yang biasa ditemui. Pun begitu, nyatanya upaya perlindungan terhadap buruh migran ini masih kurang. Beberapa teman yang aktif berusaha menyelesaikan permasalah ini mengeluhkan kurang kooperatifnya pemerintah. Ini tentu saja hal yang ironis, mengingat buruh migran adalah penyumbang terbesar devisa negara.

Sebut saja M, yang mengadu nasib ke salah satu negara timur tengah. M yang bekerja di sana untuk mencukupi kebutuhan keluarganya, mengalami nasib yang malang. bagaimana tidak, M diperkosa oleh anak laki-laki majikannya, hingga akhirnya M hamil. Tidak hanya itu saja, gaji M selama bekerja di sana juga belum dibayarkan.

Lain lagi dengan J, yang saat ini harus berada di penjara karena dituduh menyantet majikannya. Tidak hanya itu saja, nama J pun dipalsu dengan nama orang lain. J saat ini telah 2 tahun di penjara tanpa ada upaya signifikan untuk membebaskannya. Saat saya menemui keluarganya, ternyata telah banyak media yang meliput cerita J. bahkan orang nomor 2 di kota tersebut telah datang ke sana. Namun J masih belum bebas juga.

Jika J dipenjara karena dituduh menyantet majikan, T dipenjara karena ketahuan memiliki HP. Kini T telah 8 bulan dipenjara.

....

itu tentu saja hanya beberapa dari cerita sedih perjalanan buruh migran.

Saturday, September 22, 2007

ketika hajatan menjadi bisnis

0

Bulan Juni - Agustus lalu barangkali adalah masa-masa hajatan. Apalagi di kampung-kampung, hajatan menjadi acara yang tidak bisa diganggu gugat. Beberapa pertemuan bahkan dibatalkan karena sibuk hajatan.

lain ladang lain belalang
lain lubuk lain ikannya

demikian pepatah bilang. Dan memang benar adanya. begitu juga untuk hal bernama hajatan...

saat saya berkunjung di sebuah daerah di kuningan (Jawa Barat), saya baru tahu tentang kebiasaan acara hajatan di sana. Di sana tamu yang datang memberikan amplop sumbangan kepada yang punya hajat. Amplop tersebut langsung dibuka oleh si empunya (di depan orang yang memberikan). Di belakang sudah ada "petugas" pencatat. Pencatat ini kemudian memberi tahu kepada bagian pemberi oleh-oleh. Maka tamu tadi akan menerima oleh-oleh sesuai dengan sumbangan yang ia berikan. Dan ini sudah ada standarnya. MIsalnya, jika menyumbang Rp 10.000,00 akan membawa 2 buah bungkus mie instan. Tapi penyumbang ini bisa jadi tidak membawa oleh-oleh, karena jika dia makan di tempat hajatan, maka oleh-oleh tidak diberikan.
"kalo nyumbangnya dikit, mendingan juga makan. Rugi kalo enggak"
"kalo sayang sama anak, ya enggak makan. Entar bisa bawa pulang mie"
"biasanya di jalan udah kompakan, mau makan ato enggak"
....

namun hal tersebut hanya berlaku bagi perempuan. Untuk tamu laki-laki, disediakan kotak untuk menaruh amplop sumbangan. Tamu laki-laki biasanya makan di tempat hajatan dan tidak mendapatkan oleh-oleh.

Hal yang sama terjadi pula di Subang.. Di sana ada semacam sistem menabung. Saat musim panen, orang memberi beras 1 ton kepada orang yang punya hajat. Jadi kelak, jika si pemberi ini mempunyai hajat, akan mendapatkan beras 1 ton dari orang yang dulu diberinya.

Lucunya, di sana orang yang menikah bisa untung hingga 30 juta. Bahkan orang yang tidak punya anak pun mau menjadi sponsor/ penanggung acara hajatan orang lain...

ini tentu saja berbeda dengan hajatan di tempat saya, di mana semua orang selalu harus makan di tempat hajatan (baik laki-laki dan perempuan). Uang sumbangan ditaruh di kotak sumbangan, dan tidak dibuka di depan si penyumbang. Balas membalas antara tuan reumah dan penyumbang terjadi jika penyumbang mempunyai hajat. Biasanya uang sumbangannya sama dengan yang dulu di berikan. Hantaran atau oleh-oleh diberikan kepada tamu yang dirasa cukup dekat dengan keluarga mempelai.

komersialisasi ternyata sudah sedemikian menggurita, bahkan ke desa yang dulu digambarkan sebagai masyarakat yang bersifat paguyuban... Lepas dari itu saya jadi berpikir, betapa industri mie instan diuntungkan dari acara hajatan tersebut...

Bandung, 30 Agustus 2007

Monday, August 27, 2007

persaudarian perempuan, lemah?

0

Benarkah persaudarian perempuan lemah?
Hal ini masih saja menggelisahkan saya. Dalam perjalanan hidup saya sebagai seorang perempuan, nyatanya saya selalu dihadapkan pada lemahnya persaudarian perempuan.
Ini tentu saja berbeda dengan laki-laki, yang saya pikir lebih mempunyai ikatan persaudaraan yang kuat dibandingkan perempuan.
Persaudarian antar perempuan seringkali dilemahkan oleh rasa iri, cemburu, laki-laki dan sebagainya..
Padahal untuk menuju kesetaraan antara perempuan dan laki-laki serta mengakhiri penindasan terhadap perempuan, maka ikatan persaudariaan ini harus dikuatkan.

Thursday, August 09, 2007

Tentang Mie Instan

1

Saat saya berkunjung ke rumah teman saya - laki-laki, lajang- di tempat sampahnya ada banyak tumpukan bungkus mie instant. Persediaan mie instant di lemarinya pun lumayan banyak.

Di suatu daerah, saya menjumpai seorang ibu dan anaknya (+ 1 tahun. Sang ibu tengah menyuapi anaknya dengan mie instant.

Saat saya berbelanja di sebuah supermarket di Bandung, terlihat oleh saya, seorang ibu (perempuan) dengan kereta dorong yang di dalamnya terdapat banyak mie instant. Di rak supermarket itupun terlihat berbagai macam mie instant dengan berbagai rasa, mulai harga Rp 450,00 sampai Rp 1.500,00.

Mie instant selain akrab di kalangan mahasiswa juga akrab di saat situasi darurat. Misalnya sebagai bantuan bagi korban bencana. Saat saya menjadi relawan gunung akan meletus (gunung merapi) di Jogja dan gempa Jogja, mie instant menjadi salah satu bahan makanan yang banyak diberikan kepada para pengungsi.

Mie instant memang telah begitu popular di Indonesia. Di stasiun televisipun iklan mie instan cukup banyak. Sayang saya belum pernah menghitung, dalam sehari dalam sebuah stasiun televisi ada berapa iklan mie instan.

Saat saya live in di sebuah daerah, mie instan dapat dikatakan makanan yang cukup mewah. Dan layak dihidangkan untuk tamu. Sementara itu, tidak jarang saya melihat anak-anak kecil memakan mie instan tanpa dimasak. Saat orang hajatpun (misal, menikah), oleh-oleh kepada penyumbang terkadang berbentuk mie instan.

Namanya juga mie instan, cara penyajiannya pun instan. Cukup 15 menit, mie rebus atau mie goreng sudah siap untuk dinikmati. Rasanya pun standar, rasa mie instan!
Fenomena mie instan memang sudah demikian populer, baik di desa ataupun di kota. Makanan inipun dikonsumsi oleh berbagai kalangan. Selain sebagai teman nasi, mie instan juga dikonsumsi sebagai pengisi perut dan tidak sekedar makanan mendadak. Pada tahun 1997, perkiraan tingkat konsumsi mie instan perorangan per tahun di Indonesia adalah sebesar 42,3 bungkus, dan pada tahun 1998, naik menjadi 39, 1 bungkus (Republika, 11 September 2000).

Sebenarnya sudah lama saya ingin menulis tentang ini, namun baru kesampaian sekarang.

Sejarah Mie InstanMeskipun mie atau bakmi dikenalkan oelh etnis Tiongkok dan berasal dari daratan Tiongkok, namun mie instan justru lahir di Jepang, atau lebih dikenal dengan nama mie ramen.

Pada tahun 1958, Momofuku Ando – pendiri pabrik makanan Nissin – mulai memperkenalkan makanan olahan mie instan yang dikenal sebagai chicken ramen. Pada tahun 1971, Nissin memperkenalkan produk mie instan di AS dan setahun kemudian telah memiliki pabrik mie instan di AS (Seymour Cooked Food Research International), London, UK dalam GAPMMI Newsletter, 5 Oktober 2000 dalam Monika Evandaru, et al, Perempuan Post Kolonial dan Identitas Global, hal 53).

Di Indonesia, mie instan diperkenalkan mulai tahun 1969 oleh PT Lima Satu Sakyu Industri Pangan yang memproduksi Super Mie. Pada tahun 1993, telah berdiri 26 perusahaan mie instan dengan 31 pabrik untuk mensuplai kebutuhan mie instan di Indonesia (Evandaru., et al, ibid, hal 54). Dengan sekitar 50 merek dagang, pasar mie instan di Indonesia mampu menyerap + 8, 6 juta bungkus per tahun.

Industri Mie Instan
Produsen terbesar mie instan di Indonesia adalah PT Sanmaru (Indofood Group), yang sebagian besar sahamnya dimiliki oleh Salim Group.

Angka produksi mie instan di Indonesia pada tahun 1999 mencapai 5,2 milyar bungkus. Jika per tahunnya pasar mie instan mampu menyerap 8, 6 juta bungkus, dan harga rata-rata mie instan adalah Rp 900,00, maka diperkirakan industri ini bisa meraup uang sebesar 7.740.000.000. Sungguh angka yang cukup fantastis, bukan?

Selain sebagai produsen mie instan terbesar di Indonesia, PT Indofood Sukses Makmur Group masih diuntungkan lagi karena tepung terigu – bahan baku mie instan – diperoleh dari PT Bogasari, yang masih berada di bawah bendera Salim Group.
PT Bogasari yang didirikan pada tahun 1971, memegang hak tunggal penggilingan gandum yang diimpor Bulog. Bisa dipastikan, PT Indofood mampu memperoleh bahan baku dengan harga rendah.

Konsumsi bahan pangan dari gandum atau tepung terigu di Indonesia nampak meningkat pesat. Impor gandum ke Indonesia sebelumnya mencapai 4 juta ton. Pada tahun 2000, jumlah mie instan dari bahan gandum yang diperkirakan terjual di Indonesia mencapai 8, 6 milyar bungkus (The Jakarta Post, 30 Agustus 1999).

Meluasnya konsumsi gandum tidak bisa lepas dari kebijakan AS. Pada tahun 1954, Kongres mengeluarkan kebijakan Public Law 480 (PL480), untuk mengembangkan dan memperluas pasar komoditi pertanian AS, memanfaatkan kelimpahan produksi pertanian AS untuk memerangi kelaparan dan mendorong pembangunan ekonomi negara sedang berkembang (Evandaru., et al., hal 48).

PL480 inilah yang memungkinkan masuknya gandum ke negara dunia ketiga, dalam jumlah banyak dan murah. Indonesia mulai mengimpor biji gandum dari AS sejak tahun 1970an. Sejak tahun itu, sampai dengan 1998, monopoli pengolahan gandum impor diserahkan Bulog ke PT Bogasari Flour Mills yang dimiliki Liem Sie Liong (Evandaru, hal 48-9).
Konsumsi terigu di Indonesia dipakai untuk bahan makanan berupa bakmi basah (52%), mie instan (20%), biskuit (20%), roti (15%), mie telor (8%), dan 5 % langsung dikonsumsi oleh masyarakat (Republika, 20 Juli 1999).

Untuk menekan harga tepung terigu di dalam negeri, pemerintah mensubsidi PT Bogasari. Menurut INDEF, pemerintah mensubsidi sebesar 760 milyar rupiah dengan perhitungan harga impor gandum Rp 418,00/ kg. Bogasari membeli dari Bulog hanya Rp 141,00/ kg. Jadi ada subsidi sebesar Rp 277,00/ kg. Subsidi ini tidak diterima oleh rakyat secara langsung, karena konsumen terigu terbesar adalah Indofood, jadi bisa dipastikan penikmat terbesar subsidi tersebut bukan rakyat, tetapi Indofood.

perempuan dan perdamaian

1

Hubungan antara perempuan dan perdamaian bukanlah suatu hal yang baru. Sejarah membuktikan bahwa saat konflik terjadi perempuan bergerak dalam mengupayakan perdamaian. Perempuan dan kelompok perempuan memainkan peran penting dalam perdamaian. Sayangnya hal ini acapkali terabaikan. Masalah menjaga atau pengupayaan perdamaian seringkali dianggap sebagai wilayah kekuasaan laki-laki, demikian halnya dengan masalah keamanan dan pertahanan.

Dalam situasi konflik/ perang, perempuan dan anak menjadi kelompok yang tidak diuntungkan. Perempuan memiliki beban dalam menjaga kelangsungan hidup keluarganya (saat laki-laki berperang, perempuan menjaga rumah dan juga ekonomi), dan dalam situasi tersebut ekskalasi kekerasan terhadap perempuan dan anak pun meningkat. Dari sini terlihat bagaimana perdamaian terkait erat dengan hak perempuan. Deklarasi internasional tentang keadilan social melihat bahwa hak sosial dan politik perempuan tidak bisa terpenuhi tanpa adanya keadaan yang stabil dan damai.

Saat terjadi perang, perempuan mengorganisasikan diri untuk mengupayakan perdamaian. Di awal tahun 1820, perempuan Amerika membentuk Female Peace Society, sementara itu pada tahun 1854 terbentuklah kelompok perdamaian transnasional pertama, the European Women’s Peace League yang dipelopori oleh Frederika Bremer.1 Di awal tahun 1891, National Council of Women (NCW) dan Women’s Christian Temperance Union (WCTU) meminta pemerintah Amerika Serikat untuk menghindarkan terjadinya perang dengan Chili. Pada tahun 1980an, berdiri Mothers Against Silence di Israel, Women in Black di Israel muncul setelah intifada 1988 dan di tahun 1995 muncul the Saturday Mother di Turki.

Bertolak dari hal tersebut, menarik untuk dikaji lebih dalam mengenai peran perempuan dalam perdamaian. Dalam mengkaji masalah tersebut, penting untuk dibahas mengenai feminisme, karena feminisme merupakan gerakan untuk menciptakan keadilan antara laki-laki dan perempuan. Proses perdamaian itu sendiri sudah semestinya membawa dampak bagi terciptanya situasi yang adil.

Feminisme dan Perdamaian
Beberapa tokoh feminisme sepakat bahwa perang hanya ada dalam benak laki-laki. Ini disebabkan karena laki-laki ditumbuhkan dengan sifat agresif (laki-laki disosialisasikan untuk lekat dengan kekerasan, misalnya dengan bermain perang-perangan, dsb).

Berkelahi, menaklukkan, menguasai, dan menyerang kemudian disebut sebagai kemampuan laki-laki (masculine skill). Sifat masculin yang berlebihan ini yang menyebabkan terjadinya konflik/ perang. Konflik dan peperangan kemudian dipahami sebagai berkumpulnya paham-paham maskulinitas yang mengabaikan pihak-pihak inferior (termasuk perempuan). Oleh karenanya, laki-laki harus disadarkan atas sifat destruktifnya, karena hipermaskulin dapat menyebabkan terjadinya kehancuran. Adanya perang, kekerasan, termasuk kekerasan terhadap perempuan berawal dari cara pandang maskulin.

Sementara itu, perempuan yang dalam kesehariannya dekat dengan konsep alam dan mengasuh anak, dalam dirinya tumbuh sifat memelihara. Oleh karenanya perempuan memeiliki potensi dalam melakukan kegiatan perdamaian. Berkaitan dengan hal ini, ada salah satu gerakan perempuan yang menjuluki dirinya Pasifis, merupakan gerakan masyarakat yang mendorong pengurangan senjata dan perang. Lou Harris dan Harris Poll, mengatakan bahwa perempuan jauh lebih maju daripada laki-laki dalam mendesakkan kahadiran kualitas dasar kemanusiaan, lebih berdedikasi pada perdamaian dan menentang perang serta lebih memberikan perhatian terhadap kekerasan terhadap anak, serta begitu tergerak hatinya terhadap apa yang disebut sebagai the pall of violence (selubung kekerasan).

Sementara itu, menurut Françoise de Eaubonne yang pertama kali memperkenalkan "Revolusi Ekologis", hanya perempuanlah yang cocok mengemban misi perdamaian. Kedekatan perempuan dengan konsep Ibu Bumi (mother's nature), menyebabkan perempuan memiliki potensi untuk melakukan revolusi ekologis.

Ekofeminisme melihat adanya masalah sosial, kultural dan struktural berupa dominasi yang sangat kuat dalam relasi antarkelompok manusia (ras, etnik, negara bangsa, agama, seks dan jender) dan antar manusia dengan lingkungannya yang menyebabkan penderitaan bagi manusia, baik perang atau kehancuran lingkungan hidup. Dalam ideology ini, ditemukan titik tolak bersama, yaitu tentang energi feminitas yang berpotensi untuk menjaga bumi. Oleh karena itu, jelas terlihat bahwa sub-ordinasi perempuan tidak hanya membawa dampak buruk pada perempuan, namun juga kepada laki-laki. Demikian pula sebaliknya, kesetaraan gender akan menguntungkan perempuan dan juga laki-laki.

Friday, July 13, 2007

Igor Tudor

0

Igor Tudor memulai karir sepakbola profesionalnya bersama dengan Hajduk Split, klub sepakbola di Kroasia. Setelah 3 musim bergabung dengan Hajduk Split, Igor kemudian pindah ke Juventus pada tahun 1998.

Igor menghabiskan 6 musim penuh bersama dengan Juve, dan kemudian Igor dipinjamkan ke Siena pada Januari 2005. Igor kemudian kembali bermain dengan Juve di Serie B. Kontraknya habis pada bulan Juni 2007, dan Igor akhirnya kembali lagi ke Hajduk Split.

Apa Kabar Anak Indonesia

0


Tanggal 23 Juli merupakan Hari Anak Nasional. Menarik, memang ada hari khusus bagi anak-anak. secara kasat mata hal ini berarti ada perhatian dan penghargaan terhadap anak-anak. berkaitan dengan peraturan, pemerintah juga telah mengeluarkan beberapa peraturan berkaitan dengan masalah anak, yaitu UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Rativikasi Konvensi ILO No. 138 dan 182, serta peraturan-peraturan lainnya.

Pun demikian ternyata realita menunjukkan bahwa anak-anak di Indonesia masih berada dalam posisi rentan. Mahalnya biaya pendidikan telah menyebabkan banyak anak-anak terpaksa putus sekolah, ini masih ditambah dengan jauhnya jarak ke sekolah yang menyebabkan tingginya biaya transportasi. Berdasarkan data UI-IPEC pada tahun 2002-2003, terdapat 2,6 juta pekerja rumah tangga di Indonesia, di mana setidaknya 688.132 (34,83 persen) di antaranya adalah anak-anak; 93 persen dari jumlah tersebut adalah anak perempuan di bawah usia delapan belas tahun. Sementara itu menurut Irwanto 30% dari pekerja seks komersial di Indonesia adalah anak-anak. Jumlah ini tentu saja makin bertambah seiring dengan naiknya harga kebutuhan pokok yang makin menyebabkan tingginya angka kemiskinan.

Berkaitan dengan trafiking, di mana kemiskinan dan posisi sub ordinat anak adalah realita di berbagai daerah Indonesia telah menyebabkan anak rentan menjadi korban trafiking. Menurut ILO pada tahun 2003, sekitar 8,4 juta anak di seluruh dunia terjebak dalam perbudakan perdagangan praktek ijon pelacuran pornografi dan pekerjaan terlarang. 1,2 juta diantaranya bahkan telah diperdagangkan. Angka ini belum termasuk 246 juta anak yang menjadi buruh anak. 3 juta dari 8,4 juta anak yang dilaporkan itu adalah anak2 Indonesia.

Potret burum wajah anak-anak di Indonesia makin diperparah dengan minimnya layanan kesehatan dan ketersedian pangan yang bergizi. Jumlah balita gizi buruk di Indonesia, menurut laporan UNICEF 2006 menjadi 2,3 juta jiwa, atau meningkat dari 1,8 juta pada tahun 2004/2005. Hal ini tentu saja dapat menimbulkan adanya lost generation.

Hal tersebut tentu saja hanya catatan kecil dari potret buram kondisi anak di Indonesia. Berkaitan dengan hal tersebut tentu saja sudah menjadi tugas kita sebagai orang dewasa untuk memastikan hak-hak anak terpenuhi. Serta mengupayakan lingkungan yang terbaik bagi anak di mana anak dapat tumbuh dan berkembang dengan baik.

.. untuk mereka
penerus negeri ini
agar bisa tumbuh dan berkembang
sebagai pemimpin negeri

Saturday, May 12, 2007

Pendidikan Kritis Feminis dalam Upaya Pencegahan Trafiking

1

Perdagangan manusia sebenarnya bukanlah fenomena baru di Indonesia. Pun demikian baru belakangan masalah ini marak dibicarakan. Indonesia termasuk dalam kategori negara dengan peringkat buruk dalam hal penanganan perdagangan perempuan dan anak. Selain ditengarai sebagai negara dengan kasus perdagangan orang untuk pasaran domestik yang meluas, Indonesia juga menjadi negara pengirim bagi trafiking internasional.

Berkaitan dengan perdagangan manusia, perempuan dan anak menjadi kelompok yang rentang diperdagangkan. Menurut Sri Redjeki SH, kasus perdagangan perempuan dan anak pada tahun 2000 telah mencapai 7000 kasus.Dalam catatan tahunan Komnas Perempuan tahun 2004, terdapat 562 kasus trafiking perempuan. Sementara itu, menurut catatan Komnas Perlindungan Anak, perdagangan balita yang melibatkan sindikat internasional menunjukkan adanya peningkatan. Pada tahun 2003, ada 102 kasus yang terbongkar sementara itu di tahun 2004 jumlahnya bertambah menjadi 192 kasus. Laporan UNICEF tahun 1998 memperkirakan jumlah anak yang tereksploitasi seksual atau dilacurkan mencapai 40000-70000 anak yang tersebar di 75106 tempat di Indonesia. Sementara itu dari tahun 2002 ke tahun 2003, terdapat lonjakan kasus trafiking perempuan dan anak sebesar 884 %, dari 32 kasus pada tahun 2002 menjadi 283 kasus pada tahun 2003.



Menurut Protokol PBB untuk Mencegah dan Menghukum Perdagangan Manusia, terutama Perempuan dan Anak sebagai tambahan atas Konvensi PBB Melawan Kejahatan Terorganisir Transnasional tahun 2000, trafiking didefinisikan sebagai perekrutan, pengangkutan, pemindahan, penyembunyian, atau penerimaan seseorang, melalui penggunaan ancaman atau tekanan atau bentuk-bentuk lain dari kekerasan, penculikan, penipuan, kecurangan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan atau memberi/menerima pembayaran atau memperoleh keuntungan sehingga mendapatkan persetujuan dari seseorang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, untuk tujuan eksploitasi. Sementara itu, dalam kaitannya dengan trafiking anak, cara adalah tidak relevan.

Berdasarkan definisi tersebut, trafiking mencakup 3 unsur, yaitu; 1)perekrutan, pengangkutan, pemindahan, penyembunyian atau penerimaan; 2) dengan cara ancaman, tekanan atau bentuk-bentuk lain dari kekerasan; 3) untuk tujuan eksploitasi. Pada praktek trafiking, persetujuan dari korban tidak relevan. Artinya, apakah korban setuju atau tidak, tidak dipermasalahkan. Dalam banyak kondisi seringkali tidak memberikan keluasaan pada korban untuk memberikan persetujuan. Perempuan yang mengalami trafiking harus ditempatkan sebagai korban yang membutuhkan dukungan dan perlindungan, bukan pelaku.

Perdagangan perempuan tidak dapat dilepaskan pada adanya ketidakadilan gender. Ketidakadilan gender yang disebabkan karena perbedaan gender, merupakan sistem dan struktur di mana baik laki-laki atau perempuan menjadi korban dari sistem tersebut. Salah satu bentuk dari ketidakadilan gender adalah kekerasan berbasis gender, yang menurut Rekomendasi Umum No. 19, didefinisikan sebagai kekerasan yang terjadi karena seseorang perempuan atau laki-laki. Di Indonesia tingkat kekerasan terhadap perempuan cukup memprihatinkan. Menurut Sri Rejeki Sumaryono, sekitar 24 juta perempuan Indonesia pernah mengalami tindak kekerasan. Berdasarkan data Komnas Perempuan, terjadi kenaikan sekitar 63% dari tahun 2001 ke tahun 2002 berkaitan dengan jumlah perempuan yang mengalami kekerasan.

Perempuan dalam Gerusan Kapitalisme-Patriarki
Kekerasan berbasis gender tidak bisa dilepaskan dari budaya patriarki. Budaya patriarki telah menyebabkan relasi laki-laki dan perempuan berlangsung dan berpusat dalam kontrol laki-laki. Hal ini selanjutnya mengakibatkan adanya penguasaan dan diskriminasi terhadap perempuan yang dilakukan oleh lelaki. Keyakinan bahwa kodrat perempuan itu lemah, posisinya di bawah laki-laki, “bertugas” melayani dan mudah ditindas menjadikan kaum perempuan dianggap sebagai “hak milik” laki-laki dan dapat diperlakukan semena-mena, termasuk dengan cara kekerasan. Hak istimewa yang dimiliki laki-laki akibat konstruksi gender telah menempatkan laki-laki untuk memiliki kekuasaan lebih tinggi daripada perempuan

Dalam budaya patriarki, perempuan (dan anak) berada dalam posisi sub-ordinat, yang kemudian menjadikan perempuan rentan akan kekerasan. Lemahnya posisi perempuan tidak hanya mengakibatkan kekerasan, namun juga marginalisasi atau proses pemiskinan perempuan dalam ekonomi, subordinasi dalam keputusan politik, dan ketimpangan dalam bidang pendidikan.

Pembangunan merupakan alat untuk hak-hak dasar warga negara, baik itu laki-laki ataupun perempuan. Namun pada kenyataannya pembangunan yang terjadi justru memiskinan masyarakat. Pembangunan yang bertumpu pada pertumbuhan ekonomi (economic growth), sentralistik, dan cenderung eksploitatif pada akhirnya menindas kaum perempuan.Selain itu, model pembangunan yang pro neolib dan tatanan ekonomi kapitalistik yang diterapkan pemerintah sebagai konsekuensi dari masuknya Indonesia dalam tatanan ekonomi global ternyata justru menyengsarakan rakyat. Structural Adjustment Programs (SAPs) yang dicangkokkan agen-agen neolib (IMF, World Bank, dsb) melalui mekanisme hutang, mensyaratkan penghapusan peran negara dalam urusan ekonomi. Akibatnya masalah kesejahteraan rakyat diabaikan. Dampak dari hal ini adalah pencabutan subsidi, serta menjadikan barang dan jasa publik (air, listrik, layanan kesehatan dan pendidikan) menjadi komoditas. Liberalisasi perdagangan yang menggusur produk-produk lokal, ekspansi MNCs yang seringkali menyebabkan degradasi lingkungan telah memarginalkan masyarakat, terutama perempuan.

Dalam model pembangunan ini, partisipasi perempuan diabaikan. Struktur patriarki yang mengakar di masyarakat dipertahankan oleh agen-agen neolib, karena hal ini menjadi keuntungan bagi mereka. Akses perempuan akan hak sosial dan ekonominya dibatasi oleh banyak peraturan. Tubuh dan seksualitas perempuan dibuat sedemikian rupa sehingga menghasilkan keuntungan bagi negara. Dengan tingkat pendidikan yang rendah, perempuan juga mendapatkan upah yang lebih rendah dari pada laki-laki dengan memikul beban ganda. Yang terjadi adalah eksploitasi terhadap perempuan.

Pembangunan model neolib telah menimbulkan berbagai masalah, seperti makin tingginya angka kemiskinan. Ironisnya, banyak perempuan yang mengalami keganasan kemiskinan tersebut. Krisis ekonomi telah menyebabkan naiknya jumlah perempuan miskin serta meningkatnya jumlah dan beban kerja bagi perempuan. Jadi dapat dikatakan bahwa kemiskinan menjadi wajah perempuan. Selanjutnya, kemiskinan ini menyebabkan banyak perempuan dan anak bekerja, hal ini menjadikan mereka rentan sebagai korban trafiking.Tidak jarang diantara mereka kemudian terperangkap dalam industri seks komersial. Globalisasi juga turut meningkatkan industri seks yang memicu banyak perempuan diperlakukan sebagai objek seks dan dijual ke negara lain.

Pendidikan Kritis-Feminis sebagai Upaya Pencegahan
Perdagangan perempuan adalah salah satu akibat dari adanya ketidakadilan gender. Oleh karenanya, dalam upaya pencegahan dan pemberantasan perdagangan perempuan, keadilan gender adalah sesuatu yang mutlak. Tanpa adanya keadaan ini, hak-hak perempuan dan the voiceless lainnya tidak akan terpenuhi, dan yang ada adalah daftar panjang kekerasan terhadap perempuan dan anak, termasuk perdagangan perempuan dan anak.

Pengalaman dan refleksi dalam menjalankan program menunjukkan masih lemahnya kesadaran gender di masyarakat. Persoalan perempuan, dan tidak terpenuhinya hak perempuan masih dianggap sebagai sesuatu yang bersifat kodrat. Ketidakadilan gender telah menyebabkan perempuan dinomerduakan dalam berbagai sector kehidupan, pendidikan, pengambilan keputusan, dsb. Lemahnya posisi perempuan ini tentu saja menjadikan mereka rentan sebagai korban kekerasan, termasuk trafiking.

Melihat hal tersebut, penting adanya pendidikan kritis terhadap perempuan. Melalui pendidikan kritis yang lebih menekankan kepada pengalaman sebagai perempuan, dilakukan berbagai macam diskusi termasuk berbagi pengalaman mereka. Perempuan diajak untuk memahami pengalamannya dan menolak ideologi serta norma yang dipaksakan kepadanya.Ini disebabkan persoalan penindasan perempuan bukan datang dari laki-laki an sich, melainkan persoalan sistem dan struktur ketidakadilan masyarakat dan salah satunya, ketidakadilan jender.

Dalam pendidikan kritis ini, perempuan disadarkan pentingnya berkumpul dan berorganisasi. Melalui kelompok, usaha yang yang dilakukan bisa lebih mudah, dan suara mereka juga bisa didengar. Ternyata perempuan-perempuan ini bila diberi kesempatan, memiliki kepekaan terhadap permasalahan yang ada di sekitarnya dan memiliki komitmen untuk mengupayakan terselesaikannya masalah. Yang penting dalam pendidikan kritis ini adalah menumbuhkan kekuatan pada perempuan, di mana perempuan yang selama ini cenderung menerima keadaan untuk ikut dalam tindakan perubahan sosial di lingkungannya.

Pendidikan kritis mengarah pada munculnya inisiatif perempuan lokal untuk mengorganisasikan perempuan di lingkungannya. Melalui pertemuan-pertemuan rutin, dilakukan diskusi-diskusi tentang perempuan dan persoalan-persoalan yang dihadapinya. Sebuah kelompok di Subang melakukan pendidikan perempuan melalui diskusi-diskusi, sehingga perempuan menjadi terinformasi dengan baik dan peka terhadap masalah di sekitarnya. Tema diskusi pun sesuai dengan kebutuhan perempuan, misalnya masalah kekerasan dalam rumah tangga, kesehatan reproduksi atau tentang kekerasan terhadap anak. Di Cirebon, di sebuah desa yang sebagian besar perempuannya bekerja sebagai buruh migran, terdapat inisiatif dari perempuan lokal untuk berkumpul dan bersama-sama mengupayakan usaha bersama untuk mengatasi persoalan ekonomi yang menjadi persoalan perempuan di daerah tersebut. Melalui kelompok arisan, mereka menabung untuk dijadikan modal usaha ekonominya. Dalam pertemuan yang rutin dilakukan, diadakan diskusi-diskusi untuk memberi pencerahan kepada perempuan sekaligus memecahkan permasalahan yang dihadapi oleh anggota-anggotanya.

Hal tersebut tentu saja merupakan bukti bahwa bila perempuan diberi kesempatan dan disadarkan akan hak-haknya, mereka mampu memberikan kontribusi yang positif bagi masyarakatnya. Oleh karena itu, penting pula bagi perempuan untuk ikut ambil bagian dalam proses pengambilan keputusan, sehingga nantinya keputusan yang dibuat tidak merugikan perempuan dan kelompok-kelompok lainnya. Adanya kekerasan, konflik dan sebagainya tidak lepas dari adanya pengabaian terhadap nilai-nilai perempuan. Karena kekerasan, konflik merupakan kumpulan dari nilai-nilai maskulin yang tidak lepas dari nafsu agresivitas, penindasan, menguasai dan hegemoni. Oleh karenanya, perempuan dengan pengalamannya memiliki nilai-nilai perempuan yang mendukung pada terciptanya masyarakat yang lebih manusiawi. Nilai-nilai ini yang selanjutnya harus disebarkan di masyarakat.

Inti dari semuanya adalah adanya pemberdayaan perempuan, yang dimaknai sebagai kekuatan berpikir untuk bebas dan membuat keputusan sendiri, kekuatan yang mampu membangkitkan rasa percaya diri dan kebanggaan karena kodrat keperempuannya, kekuatan untuk bertindak melawan penindasan dan penghancuran, dan kekuatan untuk menciptakan kultur yang baru dan nilai-nilai yang baru. Jika perempuan dipenuhi kekuatan tersebut, tentunya akan tercipta lingkungan yang ramah perempuan dan anak. Bukankah dunia yang ramah perempuan dan anak, di mana nilai-nilai perempuan menyebar merupakan dunia yang ramah bagi semua?


tulisan ini dimuat dalam kumpulan makalah Konferensi Internasional Women for Peace, Departemen Filsafat UI, 2007