Monday, August 27, 2007

persaudarian perempuan, lemah?

0

Benarkah persaudarian perempuan lemah?
Hal ini masih saja menggelisahkan saya. Dalam perjalanan hidup saya sebagai seorang perempuan, nyatanya saya selalu dihadapkan pada lemahnya persaudarian perempuan.
Ini tentu saja berbeda dengan laki-laki, yang saya pikir lebih mempunyai ikatan persaudaraan yang kuat dibandingkan perempuan.
Persaudarian antar perempuan seringkali dilemahkan oleh rasa iri, cemburu, laki-laki dan sebagainya..
Padahal untuk menuju kesetaraan antara perempuan dan laki-laki serta mengakhiri penindasan terhadap perempuan, maka ikatan persaudariaan ini harus dikuatkan.

Thursday, August 09, 2007

Tentang Mie Instan

1

Saat saya berkunjung ke rumah teman saya - laki-laki, lajang- di tempat sampahnya ada banyak tumpukan bungkus mie instant. Persediaan mie instant di lemarinya pun lumayan banyak.

Di suatu daerah, saya menjumpai seorang ibu dan anaknya (+ 1 tahun. Sang ibu tengah menyuapi anaknya dengan mie instant.

Saat saya berbelanja di sebuah supermarket di Bandung, terlihat oleh saya, seorang ibu (perempuan) dengan kereta dorong yang di dalamnya terdapat banyak mie instant. Di rak supermarket itupun terlihat berbagai macam mie instant dengan berbagai rasa, mulai harga Rp 450,00 sampai Rp 1.500,00.

Mie instant selain akrab di kalangan mahasiswa juga akrab di saat situasi darurat. Misalnya sebagai bantuan bagi korban bencana. Saat saya menjadi relawan gunung akan meletus (gunung merapi) di Jogja dan gempa Jogja, mie instant menjadi salah satu bahan makanan yang banyak diberikan kepada para pengungsi.

Mie instant memang telah begitu popular di Indonesia. Di stasiun televisipun iklan mie instan cukup banyak. Sayang saya belum pernah menghitung, dalam sehari dalam sebuah stasiun televisi ada berapa iklan mie instan.

Saat saya live in di sebuah daerah, mie instan dapat dikatakan makanan yang cukup mewah. Dan layak dihidangkan untuk tamu. Sementara itu, tidak jarang saya melihat anak-anak kecil memakan mie instan tanpa dimasak. Saat orang hajatpun (misal, menikah), oleh-oleh kepada penyumbang terkadang berbentuk mie instan.

Namanya juga mie instan, cara penyajiannya pun instan. Cukup 15 menit, mie rebus atau mie goreng sudah siap untuk dinikmati. Rasanya pun standar, rasa mie instan!
Fenomena mie instan memang sudah demikian populer, baik di desa ataupun di kota. Makanan inipun dikonsumsi oleh berbagai kalangan. Selain sebagai teman nasi, mie instan juga dikonsumsi sebagai pengisi perut dan tidak sekedar makanan mendadak. Pada tahun 1997, perkiraan tingkat konsumsi mie instan perorangan per tahun di Indonesia adalah sebesar 42,3 bungkus, dan pada tahun 1998, naik menjadi 39, 1 bungkus (Republika, 11 September 2000).

Sebenarnya sudah lama saya ingin menulis tentang ini, namun baru kesampaian sekarang.

Sejarah Mie InstanMeskipun mie atau bakmi dikenalkan oelh etnis Tiongkok dan berasal dari daratan Tiongkok, namun mie instan justru lahir di Jepang, atau lebih dikenal dengan nama mie ramen.

Pada tahun 1958, Momofuku Ando – pendiri pabrik makanan Nissin – mulai memperkenalkan makanan olahan mie instan yang dikenal sebagai chicken ramen. Pada tahun 1971, Nissin memperkenalkan produk mie instan di AS dan setahun kemudian telah memiliki pabrik mie instan di AS (Seymour Cooked Food Research International), London, UK dalam GAPMMI Newsletter, 5 Oktober 2000 dalam Monika Evandaru, et al, Perempuan Post Kolonial dan Identitas Global, hal 53).

Di Indonesia, mie instan diperkenalkan mulai tahun 1969 oleh PT Lima Satu Sakyu Industri Pangan yang memproduksi Super Mie. Pada tahun 1993, telah berdiri 26 perusahaan mie instan dengan 31 pabrik untuk mensuplai kebutuhan mie instan di Indonesia (Evandaru., et al, ibid, hal 54). Dengan sekitar 50 merek dagang, pasar mie instan di Indonesia mampu menyerap + 8, 6 juta bungkus per tahun.

Industri Mie Instan
Produsen terbesar mie instan di Indonesia adalah PT Sanmaru (Indofood Group), yang sebagian besar sahamnya dimiliki oleh Salim Group.

Angka produksi mie instan di Indonesia pada tahun 1999 mencapai 5,2 milyar bungkus. Jika per tahunnya pasar mie instan mampu menyerap 8, 6 juta bungkus, dan harga rata-rata mie instan adalah Rp 900,00, maka diperkirakan industri ini bisa meraup uang sebesar 7.740.000.000. Sungguh angka yang cukup fantastis, bukan?

Selain sebagai produsen mie instan terbesar di Indonesia, PT Indofood Sukses Makmur Group masih diuntungkan lagi karena tepung terigu – bahan baku mie instan – diperoleh dari PT Bogasari, yang masih berada di bawah bendera Salim Group.
PT Bogasari yang didirikan pada tahun 1971, memegang hak tunggal penggilingan gandum yang diimpor Bulog. Bisa dipastikan, PT Indofood mampu memperoleh bahan baku dengan harga rendah.

Konsumsi bahan pangan dari gandum atau tepung terigu di Indonesia nampak meningkat pesat. Impor gandum ke Indonesia sebelumnya mencapai 4 juta ton. Pada tahun 2000, jumlah mie instan dari bahan gandum yang diperkirakan terjual di Indonesia mencapai 8, 6 milyar bungkus (The Jakarta Post, 30 Agustus 1999).

Meluasnya konsumsi gandum tidak bisa lepas dari kebijakan AS. Pada tahun 1954, Kongres mengeluarkan kebijakan Public Law 480 (PL480), untuk mengembangkan dan memperluas pasar komoditi pertanian AS, memanfaatkan kelimpahan produksi pertanian AS untuk memerangi kelaparan dan mendorong pembangunan ekonomi negara sedang berkembang (Evandaru., et al., hal 48).

PL480 inilah yang memungkinkan masuknya gandum ke negara dunia ketiga, dalam jumlah banyak dan murah. Indonesia mulai mengimpor biji gandum dari AS sejak tahun 1970an. Sejak tahun itu, sampai dengan 1998, monopoli pengolahan gandum impor diserahkan Bulog ke PT Bogasari Flour Mills yang dimiliki Liem Sie Liong (Evandaru, hal 48-9).
Konsumsi terigu di Indonesia dipakai untuk bahan makanan berupa bakmi basah (52%), mie instan (20%), biskuit (20%), roti (15%), mie telor (8%), dan 5 % langsung dikonsumsi oleh masyarakat (Republika, 20 Juli 1999).

Untuk menekan harga tepung terigu di dalam negeri, pemerintah mensubsidi PT Bogasari. Menurut INDEF, pemerintah mensubsidi sebesar 760 milyar rupiah dengan perhitungan harga impor gandum Rp 418,00/ kg. Bogasari membeli dari Bulog hanya Rp 141,00/ kg. Jadi ada subsidi sebesar Rp 277,00/ kg. Subsidi ini tidak diterima oleh rakyat secara langsung, karena konsumen terigu terbesar adalah Indofood, jadi bisa dipastikan penikmat terbesar subsidi tersebut bukan rakyat, tetapi Indofood.

perempuan dan perdamaian

1

Hubungan antara perempuan dan perdamaian bukanlah suatu hal yang baru. Sejarah membuktikan bahwa saat konflik terjadi perempuan bergerak dalam mengupayakan perdamaian. Perempuan dan kelompok perempuan memainkan peran penting dalam perdamaian. Sayangnya hal ini acapkali terabaikan. Masalah menjaga atau pengupayaan perdamaian seringkali dianggap sebagai wilayah kekuasaan laki-laki, demikian halnya dengan masalah keamanan dan pertahanan.

Dalam situasi konflik/ perang, perempuan dan anak menjadi kelompok yang tidak diuntungkan. Perempuan memiliki beban dalam menjaga kelangsungan hidup keluarganya (saat laki-laki berperang, perempuan menjaga rumah dan juga ekonomi), dan dalam situasi tersebut ekskalasi kekerasan terhadap perempuan dan anak pun meningkat. Dari sini terlihat bagaimana perdamaian terkait erat dengan hak perempuan. Deklarasi internasional tentang keadilan social melihat bahwa hak sosial dan politik perempuan tidak bisa terpenuhi tanpa adanya keadaan yang stabil dan damai.

Saat terjadi perang, perempuan mengorganisasikan diri untuk mengupayakan perdamaian. Di awal tahun 1820, perempuan Amerika membentuk Female Peace Society, sementara itu pada tahun 1854 terbentuklah kelompok perdamaian transnasional pertama, the European Women’s Peace League yang dipelopori oleh Frederika Bremer.1 Di awal tahun 1891, National Council of Women (NCW) dan Women’s Christian Temperance Union (WCTU) meminta pemerintah Amerika Serikat untuk menghindarkan terjadinya perang dengan Chili. Pada tahun 1980an, berdiri Mothers Against Silence di Israel, Women in Black di Israel muncul setelah intifada 1988 dan di tahun 1995 muncul the Saturday Mother di Turki.

Bertolak dari hal tersebut, menarik untuk dikaji lebih dalam mengenai peran perempuan dalam perdamaian. Dalam mengkaji masalah tersebut, penting untuk dibahas mengenai feminisme, karena feminisme merupakan gerakan untuk menciptakan keadilan antara laki-laki dan perempuan. Proses perdamaian itu sendiri sudah semestinya membawa dampak bagi terciptanya situasi yang adil.

Feminisme dan Perdamaian
Beberapa tokoh feminisme sepakat bahwa perang hanya ada dalam benak laki-laki. Ini disebabkan karena laki-laki ditumbuhkan dengan sifat agresif (laki-laki disosialisasikan untuk lekat dengan kekerasan, misalnya dengan bermain perang-perangan, dsb).

Berkelahi, menaklukkan, menguasai, dan menyerang kemudian disebut sebagai kemampuan laki-laki (masculine skill). Sifat masculin yang berlebihan ini yang menyebabkan terjadinya konflik/ perang. Konflik dan peperangan kemudian dipahami sebagai berkumpulnya paham-paham maskulinitas yang mengabaikan pihak-pihak inferior (termasuk perempuan). Oleh karenanya, laki-laki harus disadarkan atas sifat destruktifnya, karena hipermaskulin dapat menyebabkan terjadinya kehancuran. Adanya perang, kekerasan, termasuk kekerasan terhadap perempuan berawal dari cara pandang maskulin.

Sementara itu, perempuan yang dalam kesehariannya dekat dengan konsep alam dan mengasuh anak, dalam dirinya tumbuh sifat memelihara. Oleh karenanya perempuan memeiliki potensi dalam melakukan kegiatan perdamaian. Berkaitan dengan hal ini, ada salah satu gerakan perempuan yang menjuluki dirinya Pasifis, merupakan gerakan masyarakat yang mendorong pengurangan senjata dan perang. Lou Harris dan Harris Poll, mengatakan bahwa perempuan jauh lebih maju daripada laki-laki dalam mendesakkan kahadiran kualitas dasar kemanusiaan, lebih berdedikasi pada perdamaian dan menentang perang serta lebih memberikan perhatian terhadap kekerasan terhadap anak, serta begitu tergerak hatinya terhadap apa yang disebut sebagai the pall of violence (selubung kekerasan).

Sementara itu, menurut Françoise de Eaubonne yang pertama kali memperkenalkan "Revolusi Ekologis", hanya perempuanlah yang cocok mengemban misi perdamaian. Kedekatan perempuan dengan konsep Ibu Bumi (mother's nature), menyebabkan perempuan memiliki potensi untuk melakukan revolusi ekologis.

Ekofeminisme melihat adanya masalah sosial, kultural dan struktural berupa dominasi yang sangat kuat dalam relasi antarkelompok manusia (ras, etnik, negara bangsa, agama, seks dan jender) dan antar manusia dengan lingkungannya yang menyebabkan penderitaan bagi manusia, baik perang atau kehancuran lingkungan hidup. Dalam ideology ini, ditemukan titik tolak bersama, yaitu tentang energi feminitas yang berpotensi untuk menjaga bumi. Oleh karena itu, jelas terlihat bahwa sub-ordinasi perempuan tidak hanya membawa dampak buruk pada perempuan, namun juga kepada laki-laki. Demikian pula sebaliknya, kesetaraan gender akan menguntungkan perempuan dan juga laki-laki.

Friday, July 13, 2007

Igor Tudor

0

Igor Tudor memulai karir sepakbola profesionalnya bersama dengan Hajduk Split, klub sepakbola di Kroasia. Setelah 3 musim bergabung dengan Hajduk Split, Igor kemudian pindah ke Juventus pada tahun 1998.

Igor menghabiskan 6 musim penuh bersama dengan Juve, dan kemudian Igor dipinjamkan ke Siena pada Januari 2005. Igor kemudian kembali bermain dengan Juve di Serie B. Kontraknya habis pada bulan Juni 2007, dan Igor akhirnya kembali lagi ke Hajduk Split.

Apa Kabar Anak Indonesia

0


Tanggal 23 Juli merupakan Hari Anak Nasional. Menarik, memang ada hari khusus bagi anak-anak. secara kasat mata hal ini berarti ada perhatian dan penghargaan terhadap anak-anak. berkaitan dengan peraturan, pemerintah juga telah mengeluarkan beberapa peraturan berkaitan dengan masalah anak, yaitu UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Rativikasi Konvensi ILO No. 138 dan 182, serta peraturan-peraturan lainnya.

Pun demikian ternyata realita menunjukkan bahwa anak-anak di Indonesia masih berada dalam posisi rentan. Mahalnya biaya pendidikan telah menyebabkan banyak anak-anak terpaksa putus sekolah, ini masih ditambah dengan jauhnya jarak ke sekolah yang menyebabkan tingginya biaya transportasi. Berdasarkan data UI-IPEC pada tahun 2002-2003, terdapat 2,6 juta pekerja rumah tangga di Indonesia, di mana setidaknya 688.132 (34,83 persen) di antaranya adalah anak-anak; 93 persen dari jumlah tersebut adalah anak perempuan di bawah usia delapan belas tahun. Sementara itu menurut Irwanto 30% dari pekerja seks komersial di Indonesia adalah anak-anak. Jumlah ini tentu saja makin bertambah seiring dengan naiknya harga kebutuhan pokok yang makin menyebabkan tingginya angka kemiskinan.

Berkaitan dengan trafiking, di mana kemiskinan dan posisi sub ordinat anak adalah realita di berbagai daerah Indonesia telah menyebabkan anak rentan menjadi korban trafiking. Menurut ILO pada tahun 2003, sekitar 8,4 juta anak di seluruh dunia terjebak dalam perbudakan perdagangan praktek ijon pelacuran pornografi dan pekerjaan terlarang. 1,2 juta diantaranya bahkan telah diperdagangkan. Angka ini belum termasuk 246 juta anak yang menjadi buruh anak. 3 juta dari 8,4 juta anak yang dilaporkan itu adalah anak2 Indonesia.

Potret burum wajah anak-anak di Indonesia makin diperparah dengan minimnya layanan kesehatan dan ketersedian pangan yang bergizi. Jumlah balita gizi buruk di Indonesia, menurut laporan UNICEF 2006 menjadi 2,3 juta jiwa, atau meningkat dari 1,8 juta pada tahun 2004/2005. Hal ini tentu saja dapat menimbulkan adanya lost generation.

Hal tersebut tentu saja hanya catatan kecil dari potret buram kondisi anak di Indonesia. Berkaitan dengan hal tersebut tentu saja sudah menjadi tugas kita sebagai orang dewasa untuk memastikan hak-hak anak terpenuhi. Serta mengupayakan lingkungan yang terbaik bagi anak di mana anak dapat tumbuh dan berkembang dengan baik.

.. untuk mereka
penerus negeri ini
agar bisa tumbuh dan berkembang
sebagai pemimpin negeri

Saturday, May 12, 2007

Pendidikan Kritis Feminis dalam Upaya Pencegahan Trafiking

1

Perdagangan manusia sebenarnya bukanlah fenomena baru di Indonesia. Pun demikian baru belakangan masalah ini marak dibicarakan. Indonesia termasuk dalam kategori negara dengan peringkat buruk dalam hal penanganan perdagangan perempuan dan anak. Selain ditengarai sebagai negara dengan kasus perdagangan orang untuk pasaran domestik yang meluas, Indonesia juga menjadi negara pengirim bagi trafiking internasional.

Berkaitan dengan perdagangan manusia, perempuan dan anak menjadi kelompok yang rentang diperdagangkan. Menurut Sri Redjeki SH, kasus perdagangan perempuan dan anak pada tahun 2000 telah mencapai 7000 kasus.Dalam catatan tahunan Komnas Perempuan tahun 2004, terdapat 562 kasus trafiking perempuan. Sementara itu, menurut catatan Komnas Perlindungan Anak, perdagangan balita yang melibatkan sindikat internasional menunjukkan adanya peningkatan. Pada tahun 2003, ada 102 kasus yang terbongkar sementara itu di tahun 2004 jumlahnya bertambah menjadi 192 kasus. Laporan UNICEF tahun 1998 memperkirakan jumlah anak yang tereksploitasi seksual atau dilacurkan mencapai 40000-70000 anak yang tersebar di 75106 tempat di Indonesia. Sementara itu dari tahun 2002 ke tahun 2003, terdapat lonjakan kasus trafiking perempuan dan anak sebesar 884 %, dari 32 kasus pada tahun 2002 menjadi 283 kasus pada tahun 2003.



Menurut Protokol PBB untuk Mencegah dan Menghukum Perdagangan Manusia, terutama Perempuan dan Anak sebagai tambahan atas Konvensi PBB Melawan Kejahatan Terorganisir Transnasional tahun 2000, trafiking didefinisikan sebagai perekrutan, pengangkutan, pemindahan, penyembunyian, atau penerimaan seseorang, melalui penggunaan ancaman atau tekanan atau bentuk-bentuk lain dari kekerasan, penculikan, penipuan, kecurangan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan atau memberi/menerima pembayaran atau memperoleh keuntungan sehingga mendapatkan persetujuan dari seseorang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, untuk tujuan eksploitasi. Sementara itu, dalam kaitannya dengan trafiking anak, cara adalah tidak relevan.

Berdasarkan definisi tersebut, trafiking mencakup 3 unsur, yaitu; 1)perekrutan, pengangkutan, pemindahan, penyembunyian atau penerimaan; 2) dengan cara ancaman, tekanan atau bentuk-bentuk lain dari kekerasan; 3) untuk tujuan eksploitasi. Pada praktek trafiking, persetujuan dari korban tidak relevan. Artinya, apakah korban setuju atau tidak, tidak dipermasalahkan. Dalam banyak kondisi seringkali tidak memberikan keluasaan pada korban untuk memberikan persetujuan. Perempuan yang mengalami trafiking harus ditempatkan sebagai korban yang membutuhkan dukungan dan perlindungan, bukan pelaku.

Perdagangan perempuan tidak dapat dilepaskan pada adanya ketidakadilan gender. Ketidakadilan gender yang disebabkan karena perbedaan gender, merupakan sistem dan struktur di mana baik laki-laki atau perempuan menjadi korban dari sistem tersebut. Salah satu bentuk dari ketidakadilan gender adalah kekerasan berbasis gender, yang menurut Rekomendasi Umum No. 19, didefinisikan sebagai kekerasan yang terjadi karena seseorang perempuan atau laki-laki. Di Indonesia tingkat kekerasan terhadap perempuan cukup memprihatinkan. Menurut Sri Rejeki Sumaryono, sekitar 24 juta perempuan Indonesia pernah mengalami tindak kekerasan. Berdasarkan data Komnas Perempuan, terjadi kenaikan sekitar 63% dari tahun 2001 ke tahun 2002 berkaitan dengan jumlah perempuan yang mengalami kekerasan.

Perempuan dalam Gerusan Kapitalisme-Patriarki
Kekerasan berbasis gender tidak bisa dilepaskan dari budaya patriarki. Budaya patriarki telah menyebabkan relasi laki-laki dan perempuan berlangsung dan berpusat dalam kontrol laki-laki. Hal ini selanjutnya mengakibatkan adanya penguasaan dan diskriminasi terhadap perempuan yang dilakukan oleh lelaki. Keyakinan bahwa kodrat perempuan itu lemah, posisinya di bawah laki-laki, “bertugas” melayani dan mudah ditindas menjadikan kaum perempuan dianggap sebagai “hak milik” laki-laki dan dapat diperlakukan semena-mena, termasuk dengan cara kekerasan. Hak istimewa yang dimiliki laki-laki akibat konstruksi gender telah menempatkan laki-laki untuk memiliki kekuasaan lebih tinggi daripada perempuan

Dalam budaya patriarki, perempuan (dan anak) berada dalam posisi sub-ordinat, yang kemudian menjadikan perempuan rentan akan kekerasan. Lemahnya posisi perempuan tidak hanya mengakibatkan kekerasan, namun juga marginalisasi atau proses pemiskinan perempuan dalam ekonomi, subordinasi dalam keputusan politik, dan ketimpangan dalam bidang pendidikan.

Pembangunan merupakan alat untuk hak-hak dasar warga negara, baik itu laki-laki ataupun perempuan. Namun pada kenyataannya pembangunan yang terjadi justru memiskinan masyarakat. Pembangunan yang bertumpu pada pertumbuhan ekonomi (economic growth), sentralistik, dan cenderung eksploitatif pada akhirnya menindas kaum perempuan.Selain itu, model pembangunan yang pro neolib dan tatanan ekonomi kapitalistik yang diterapkan pemerintah sebagai konsekuensi dari masuknya Indonesia dalam tatanan ekonomi global ternyata justru menyengsarakan rakyat. Structural Adjustment Programs (SAPs) yang dicangkokkan agen-agen neolib (IMF, World Bank, dsb) melalui mekanisme hutang, mensyaratkan penghapusan peran negara dalam urusan ekonomi. Akibatnya masalah kesejahteraan rakyat diabaikan. Dampak dari hal ini adalah pencabutan subsidi, serta menjadikan barang dan jasa publik (air, listrik, layanan kesehatan dan pendidikan) menjadi komoditas. Liberalisasi perdagangan yang menggusur produk-produk lokal, ekspansi MNCs yang seringkali menyebabkan degradasi lingkungan telah memarginalkan masyarakat, terutama perempuan.

Dalam model pembangunan ini, partisipasi perempuan diabaikan. Struktur patriarki yang mengakar di masyarakat dipertahankan oleh agen-agen neolib, karena hal ini menjadi keuntungan bagi mereka. Akses perempuan akan hak sosial dan ekonominya dibatasi oleh banyak peraturan. Tubuh dan seksualitas perempuan dibuat sedemikian rupa sehingga menghasilkan keuntungan bagi negara. Dengan tingkat pendidikan yang rendah, perempuan juga mendapatkan upah yang lebih rendah dari pada laki-laki dengan memikul beban ganda. Yang terjadi adalah eksploitasi terhadap perempuan.

Pembangunan model neolib telah menimbulkan berbagai masalah, seperti makin tingginya angka kemiskinan. Ironisnya, banyak perempuan yang mengalami keganasan kemiskinan tersebut. Krisis ekonomi telah menyebabkan naiknya jumlah perempuan miskin serta meningkatnya jumlah dan beban kerja bagi perempuan. Jadi dapat dikatakan bahwa kemiskinan menjadi wajah perempuan. Selanjutnya, kemiskinan ini menyebabkan banyak perempuan dan anak bekerja, hal ini menjadikan mereka rentan sebagai korban trafiking.Tidak jarang diantara mereka kemudian terperangkap dalam industri seks komersial. Globalisasi juga turut meningkatkan industri seks yang memicu banyak perempuan diperlakukan sebagai objek seks dan dijual ke negara lain.

Pendidikan Kritis-Feminis sebagai Upaya Pencegahan
Perdagangan perempuan adalah salah satu akibat dari adanya ketidakadilan gender. Oleh karenanya, dalam upaya pencegahan dan pemberantasan perdagangan perempuan, keadilan gender adalah sesuatu yang mutlak. Tanpa adanya keadaan ini, hak-hak perempuan dan the voiceless lainnya tidak akan terpenuhi, dan yang ada adalah daftar panjang kekerasan terhadap perempuan dan anak, termasuk perdagangan perempuan dan anak.

Pengalaman dan refleksi dalam menjalankan program menunjukkan masih lemahnya kesadaran gender di masyarakat. Persoalan perempuan, dan tidak terpenuhinya hak perempuan masih dianggap sebagai sesuatu yang bersifat kodrat. Ketidakadilan gender telah menyebabkan perempuan dinomerduakan dalam berbagai sector kehidupan, pendidikan, pengambilan keputusan, dsb. Lemahnya posisi perempuan ini tentu saja menjadikan mereka rentan sebagai korban kekerasan, termasuk trafiking.

Melihat hal tersebut, penting adanya pendidikan kritis terhadap perempuan. Melalui pendidikan kritis yang lebih menekankan kepada pengalaman sebagai perempuan, dilakukan berbagai macam diskusi termasuk berbagi pengalaman mereka. Perempuan diajak untuk memahami pengalamannya dan menolak ideologi serta norma yang dipaksakan kepadanya.Ini disebabkan persoalan penindasan perempuan bukan datang dari laki-laki an sich, melainkan persoalan sistem dan struktur ketidakadilan masyarakat dan salah satunya, ketidakadilan jender.

Dalam pendidikan kritis ini, perempuan disadarkan pentingnya berkumpul dan berorganisasi. Melalui kelompok, usaha yang yang dilakukan bisa lebih mudah, dan suara mereka juga bisa didengar. Ternyata perempuan-perempuan ini bila diberi kesempatan, memiliki kepekaan terhadap permasalahan yang ada di sekitarnya dan memiliki komitmen untuk mengupayakan terselesaikannya masalah. Yang penting dalam pendidikan kritis ini adalah menumbuhkan kekuatan pada perempuan, di mana perempuan yang selama ini cenderung menerima keadaan untuk ikut dalam tindakan perubahan sosial di lingkungannya.

Pendidikan kritis mengarah pada munculnya inisiatif perempuan lokal untuk mengorganisasikan perempuan di lingkungannya. Melalui pertemuan-pertemuan rutin, dilakukan diskusi-diskusi tentang perempuan dan persoalan-persoalan yang dihadapinya. Sebuah kelompok di Subang melakukan pendidikan perempuan melalui diskusi-diskusi, sehingga perempuan menjadi terinformasi dengan baik dan peka terhadap masalah di sekitarnya. Tema diskusi pun sesuai dengan kebutuhan perempuan, misalnya masalah kekerasan dalam rumah tangga, kesehatan reproduksi atau tentang kekerasan terhadap anak. Di Cirebon, di sebuah desa yang sebagian besar perempuannya bekerja sebagai buruh migran, terdapat inisiatif dari perempuan lokal untuk berkumpul dan bersama-sama mengupayakan usaha bersama untuk mengatasi persoalan ekonomi yang menjadi persoalan perempuan di daerah tersebut. Melalui kelompok arisan, mereka menabung untuk dijadikan modal usaha ekonominya. Dalam pertemuan yang rutin dilakukan, diadakan diskusi-diskusi untuk memberi pencerahan kepada perempuan sekaligus memecahkan permasalahan yang dihadapi oleh anggota-anggotanya.

Hal tersebut tentu saja merupakan bukti bahwa bila perempuan diberi kesempatan dan disadarkan akan hak-haknya, mereka mampu memberikan kontribusi yang positif bagi masyarakatnya. Oleh karena itu, penting pula bagi perempuan untuk ikut ambil bagian dalam proses pengambilan keputusan, sehingga nantinya keputusan yang dibuat tidak merugikan perempuan dan kelompok-kelompok lainnya. Adanya kekerasan, konflik dan sebagainya tidak lepas dari adanya pengabaian terhadap nilai-nilai perempuan. Karena kekerasan, konflik merupakan kumpulan dari nilai-nilai maskulin yang tidak lepas dari nafsu agresivitas, penindasan, menguasai dan hegemoni. Oleh karenanya, perempuan dengan pengalamannya memiliki nilai-nilai perempuan yang mendukung pada terciptanya masyarakat yang lebih manusiawi. Nilai-nilai ini yang selanjutnya harus disebarkan di masyarakat.

Inti dari semuanya adalah adanya pemberdayaan perempuan, yang dimaknai sebagai kekuatan berpikir untuk bebas dan membuat keputusan sendiri, kekuatan yang mampu membangkitkan rasa percaya diri dan kebanggaan karena kodrat keperempuannya, kekuatan untuk bertindak melawan penindasan dan penghancuran, dan kekuatan untuk menciptakan kultur yang baru dan nilai-nilai yang baru. Jika perempuan dipenuhi kekuatan tersebut, tentunya akan tercipta lingkungan yang ramah perempuan dan anak. Bukankah dunia yang ramah perempuan dan anak, di mana nilai-nilai perempuan menyebar merupakan dunia yang ramah bagi semua?


tulisan ini dimuat dalam kumpulan makalah Konferensi Internasional Women for Peace, Departemen Filsafat UI, 2007

Monday, November 06, 2006

merindukan cerita berperspektif anak

1

Bila kita mencermati dongeng-dongeng atau cerita saat kita masih kecil, banyak yang tidak pro-anak. Atau banyak dari cerita tersebut yang tidak melihat sisi perasaan anak atau memperhitungkan bagaimana perspektif anak mengenai hal tersebut. Rasanya semua hanya melihat dari perspektif orang dewasa atau menceritakan bagaimana seharusnya anak bersikap.

Misalnya cerita Malin Kundang yang demikian popular. Yang kita ketahui adalah Malin Kundang adalah anak durhaka. Jika kita durhaka, kita bisa dikutuk, dsb… Namun adakah kita mencermati, mengapa Malin bisa seperti itu? Kita semua pasti setuju jika pola pengasuhan anak membawa dampak terhadap perkembangan karakter anak (baca deh pengasuhan anak di blogs ini). Nah mengapa tidak diceritakan bagaimana pengasuhan yang dilakukan oleh orang tuanya? Hal yang sama juga untuk cerita Batu Menangis.

Lalu mengenai cerita Sangkuriang, apakah kita akan berpihak pada Dayang Sumbi? Bukan salah Sangkuriang jika ia ingin menyenangkan hati ibunya dengan menyembelih Tumang. Dan bukan salah Sangkuriang, jika dia tidak mengetahui bahwa Tumang adalah ayahnya. Mungkin hal semacam ini yang sepertinya lepas dari pencermatan kita.

selain itu banyak pula cerita-cerita yang menggambarkan bagaimana keberuntungan selalu berpihak pada anak bungsu. pernahkah kita berpikir bagaimana dengan perasaan anak sulung, yang biasanya malah menjadi tokoh antagonis?

Bagi saya, bukan masalah benar atau salah dalam cerita tersebut. Tetapi juga bagaimana kita memperhatikan pula perspektif anak. Mereka pasti memiliki tanggapan tersendiri mengenai cerita anak yang disampaikan padanya. Entah itu mereka tidak suka karena ceritanya selalu menceritakan anak bungsu yang selalu mendapatkan segalanya, dan sebagainya. Sebagai orang yang pernah mengalami menajdi anak, pasti kita juga pernah memiliki pikiran semacam itu.

tentang buruh migran

1

Persoalan buruh migran merupakan persoalan yang kompleks. Meskipun Indoensia merupakan negara pengirim buruh migran dalam jumlah yang besar, toh hal ini tidak serta merta menjadikan kebijakan pemerintah menjadi pro buruh migran. Hal ini tentu saja kontras, dengan realita yang menunjukkan betapa buruh migran telah menjadi penghasil devisa dalam jumlah yang tidak sedikit.

Persoalan buruh migran dapat dikatakan cukup kompleks, mulai dari proses perekrutannya hingga saat kembali ke tanah air. Pada proses perekrutannya, banyak dijumpai kasus buruh migran illegal, yang tentu saja akan berpengaruh pada nasibnya di luar negeri. Tidak hanya itu saja, alih-alih menawarkan kerja sebagai PRT (Pembantu Rumah Tangga) atau buruh pabrik, ternyata banyak calon buruh migran yang ditipu menjadi PSK (pekerja Seks Komersial). Dari sini bisa dilihat eratnya masalah trafiking dengan buruh migran.

Adalah suatu realita, jika sebagian besar buruh migran adalah perempuan. Untuk masalah ini perempuan tampaknya lebih ‘laku’ ketimbang laki-laki. Hal ini tentu saja tidak lepas dari pengidentikan perempuan dengan kerja rumah tangga selain tentu saja upahnya yang lebih murah ketimbang buruh laki-laki. Budaya menerima dan belum disadarinya hak-hak perempuan oleh perempuan yang menjadi buruh migran, acapkali menjadikan mereka sasaran perlakuan tidak adil dari majikannya (entah itu perlakuan yang tidak senonoh atau kekerasan yang dilakukan majikan). Hal ini tentu saja menambah panjang daftar penderitaan perempuan.

Lemahnya perlindungan pemerintah terhadap buruh migran, telah menjadikan kondisi mereka bertambah buruk. Jika kita mencermati berita di media massa, berita tentang kekerasan terhadap buruh migran masih sering dijumpai. Entah itu kasus buruh migran yang meninggal di tempat kerja, gaji yang tidak dibayar, atau mendapat perlakuan kasar dari majikan.

Persoalan tidak berhenti sampai di sini. Ada hal lain yang patut diperhatikan, yaitu keluarga buruh migran. Jeratan kemiskinan dan keinginan untuk memperoleh kehidupan yang baik membuat seseorang memutuskan untuk bekerja di luar negeri. Seorang perempuan kemudian harus rela meninggalkan keluarganya. Lalu apa dampaknya? Saya pernah menemui kasus di mana seorang perempuan menjadi buruh migran, setiap tahunnya dia mengirimi uang kepada keluarganya. Tapi apa yang terjadi pada suaminya? Tanpa memikirkan istrinya yang sedang bekerja di luar negeri, serta dengan enaknya menikmati pengahsilan yang dikirimkan istrinya, ia menikah dengan perempuan lagi atau selingkuh. Lagi, suatu bentuk ketidakadilan terhadap perempuan.

Lalu bagaimana dengan anak yang ditinggalkan? Ternyata dia tumbuh dengan kurang kasih saying dan perhatian. Ini tentu saja merupakan bentuk pengingkaran terhadap hak anak. Ayah yang seharusnya mampu mengasuh dan mendidik anaknya (menjadi single parent sementra), tidak menjalankannya. Ini tidak lepas dari anggapan bahwa mengasuh anak adalah tugas perempuan, sehingga laki-laki kurang memiliki tanggung jawab atas hal ini. Ini bila ibunya saja yang menajdi buruh migran. Bagaimana jika kedua orang tuanya menjadi buruuh migran? Anda tentu bisa membayangkan apa akibatnya bukan? Seringkali anak-anak ini terpengaruh hal-hal negatif di lingkungannya. Karena kurangnya perhatian dan kasih sayang orang tua, proses tumbuh kembangnya terganggu. Namun tentu saja kita tidak bisa menyalahakan seseorang mencari penghasilan di luar negeri bukan?

Masalah anak ternyata tidak berhenti sampai di situ saja. Dalam beberapa kasus buruh migran, ada di antara mereka yang melahirkan anak-anak indo. Anak-anak ini selanjutnya tinggal bersama mereka di desanya. Mereka memiliki hidung mancung khas orang Arab atau warna kulit yang berbeda dengan kulit anak kebanyakan. Berbeda dengan dunia entertainment kita dimana orang indo pasti ‘laku’, tidak begitu dengan mereka. Karena staus mereka yang tidak jelas dan perbedaan fisik yang mencolok, mereka mendapatkan perlakuan yang tidak adil. Entah itu cemoohan atau dijauhi teman-temannya. Hal semacam ini tentu saja akan berdampak buruk dalam perkembangan mental anak-anak. Mereka adalah realita yang tidak bisa dipungkiri keadaannya, dan adilkah bila mereka mendapat perlakuan semacam itu?

Apa yang dituliskan di sini tentu saja tidak bisa mengungkapkan realita permasalahan buruh migran secara komprehensif. Pun begitu, semoga bisa menjadi awal kepedulian terhadap masalah buruh migran dan mau ikut memperjuangkannya. Kadang terpikir juga dalam benak saya, salah siapa ini? Entahlah… jeratan kemiskinan telah menyebabkan bayak orang terperangkap dalam lingkaran setan kemiskinan. Buruh migran adalah salah satu dari banyak masalah akibat lingkaran kemiskinan. Masih tentang buruh migran, saya tidak bisa membayangkan betapa banyak lagi masalah mengenai buruh migran yang akan kita jumpai di media massa, terkait dengan kebijakan pemerintah menaikkan angka pengiriman buruh migran sebesar 200%.

Sunday, November 05, 2006

pengasuhan anak

0


Membicarakan masalah anak merupakan hal yang menarik bagi saya. Bahkan menurut saya, masalah ini tidak lekang dimakan waktu. Bagaimana tidak, karena kita memiliki pengalaman sebagai anak-anak dan kita semua pasti bersinggungan dengan anak-anak, entah itu anak kita, adik, keponakan, anak tetangga atau anak orang…

Saya termasuk orang yang percaya bahwa setiap anak memiliki watak baik. Namun begitu, dalam perkembangannya, watak inipun berfluktuasi seiring dengan pola pengasuhan dan lingkungan si anak. Anak yang dibesarkan dalam keluarga yang terbuka akan perubahan tentu berbeda dengan anak yang dibesarkan pada keluarga yang konservatif. Berkaitan dengan masalah pengasuhan anak, sebuah pepatah mengatakan:
Jika anak dibesarkan dengan celaan, ia akan belajar menghina
Jika anak dibesarkan dengan pujian, ia akan belajar menghargai
…. (waduh saya lupa lanjutannya, besok kalo sudah inget saya lanjutkan lagi)

Tulisan ini bukan untuk menyalahkan keluarga atas terbentuknya perilaku anak yang buruk. Namun begitu, tulisan ini hendak mengajak kita sama-sama melihat bagaimana pola pengasuhan mempengaruhi pola pikir dan pribadi anak di masa depan. Hal yang perlu kita ingat adalah, anak tidak serta merta lahir sebagai anak nakal, anak baik, anak yang patuh, anak bandel, dsb.

Hal yang sering dilupakan dalam pengasuhan anak, atau mengawal tumbuh kembang anak atau berkomuniaksi dengan anak, adalah pengalaman orang dewasa sebagai anak. Menurut saya ini penting, karena dalam pengasuhan anak penting kiranya untuk memahami perasaan anak. Sayangnya, begitu menjadi orang dewasa hal ini acap kita lupakan karena kita cenderung berpikiran mengetahui apa yang terbaik bagi anak. Lagipula dalam hubungan anak-orang dewasa, anak berada dalam posisi sub-ordinat. Pendapat dan keinginannya seringkali tak diindahkan oleh orang dewasa. Cobalah kita berpikir sejenak. Saat kita kecil dahulu, perlakuan dari orang dewasa apa yang tidak kita sukai, dan apakah saat kita menjadi orang dewasa kita justru melakukan hal tersebut?

Hal lain yang acap dilupakan adalah, penghargaan atas keberadaan anak. Penting bagi kita sebagai orang dewasa untuk menghargai apa yang telah dilakukan anak, dan bukan justru membanding-bandingkannya dengan orang lain. Jika tidak, maka anak akan tumbuh dengan ketidakpercayaan diri serta ragu dalam mengambil keputusan yang menyangkut ats dirinya, karena dia selalu berpikir untuk tidak mengecewakan orang tuanya. Setiap anak adalah pribadi yang unik, dan banggalah atas dirinya. Every children is special.

Demikian halnya dengan pelabelan pada diri anak. Misalnya seorang anak yang dicap anak nakal. Percaya atau tidak, tapi dia akan menganggap dirinya nakal. Atau seringkali orang dewasa emlabeli anak yang atraktif dan banyak bertanya sebagai anak nakal. Padahal memang demikianlah anak-anak, jika ia banyak bergerak atau ingin tahu tentang banyak hal. Tugas kita sebagai orang dewasa adalah membimbing mereka, memastikan mereka tumbuh dengan baik. Jangan lantas mematikan kekritisan dan potensi mereka.

Anak menurut saya adalah pribadi yang sensitive, mereka begitu peka dengan keadaan di sekelilingnya dan juga perlakuan yang mereka dapatkan dari orang-orang di sekeliling mereka. Menurut saya, penting bagi kita untuk tidak menyalahkan atas perbuatan yang mereka lakukan. Namun berkomunikasi sebagai teman mereka, mengapa mereka melakukan hal tersebut. Kita akan tahu, jangan-jangan bukan kesalahan mereka, namun akibat dari tindakan mereka atau niatnya baik hanya saja mereka belum tahu caranya.

Pola pengasuhan berdampak besar terhadap perkembangan pribadi anak. Karena melalui mekanisme ini nilai ditransfer kepada anak. Melalui mekanisme ini, anak akan belajar, karena anak tidak hanya belajar dari apa yang anda sampaikan kepadanya. Dia belajar pula dari bagaimana anda bersikap, berkata dsb..

Anak bagai selembar kertas polos. Coretan atau gambaran apa yang nantinya akan ada dalam kertas polos tersebut, tergantung dari bimbingan, ajaran dan pengasuhan orang dewasa. Dan hal penting yang patut kita ingat adalah, anak bukan milik kita. Mereka adalah milik mereka sendiri. Tugas kita sebagai orang dewasa adalah memastikan mereka tumbuh dan berkembang dengan baik, sehingga nantinya mereka menjadi orang dewasa yang baik.

Bandung, 3 November 2006

Saturday, October 14, 2006

jeratan kemiskinan: tentang BMI

0

Buruh migran memang suatu masalah yang cukup kompleks. Bagaimana tidak, dari masalah pemberangkatan yang seringkali merupakan hal ilegal atau terperangkap dalam kasus trafiking sampai masalah perlakuan yang nanti mereka terima dari majikannya. Namun ternyata masalahnya tidak cukup sampai di situ saja, masih ada masalah lain yaitu menyangkut keluarga yang mereka tinggalkan.
Rata-rata buruh migran adalah perempuan, yah dibanding laki-laki, perempuan lebih laku sebagai buruh migran. mungkin karena kebanyakan lapangan pekerjaan yang tersedia berkaitan dengan kerja rumah tangga (dan bukankah perempuan selama ini selalu dikaitkan dengan kerja rumah tangga, meski kerja itu bukanlah sepenuhnya milik perempuan, atau karen aupah buruh perempuan yang lebih murah daripada buruh laki-laki). Jika kita meninjau lebih lanjut apa yang terjadi dengan keluarga buruuh migran perempuan ini. Saya pernah menemukan kasus, suami yang ditinggal istrinya untuk bekerja di luarnegeri, malah kemudian menikah dengan perempuan lain dan dia selalu menerima uang kiriman dari istrinya. Apakah ini suatu hal yang adil?
Belum lagi dengan masalah anak, anak yang ditinggalkan seringkali kurang kasih sayang dan perhatian, dampaknya dia bisa terpengaruh hal-hal negatif. Belum lagi bila anak tersebut ditinggalkan oleh orang tuanya yang sama-sama menjadi buruh migran. atau dia ditinggal oleh ibunya yang menjadi buruh migran, sementara ayahnya juga bekerja (masih di dalam negeri). Yang kebanyakan terjadi, saat anak ditinggalkan oleh Ibunya ke luar negeri, seharusnya ayah di sini memiliki peran untuk mengasuh anak. namun kenyataannya tidak begitu. anggapan yang tertanam sejak dahulu bahwa perempuan memiliki tanggung jawab untuk mengasuh anak membuat suami tidak memiliki kepedulian terhadap masalah anak. dann mengelak untuk disalahkan saat terjadi sesuatu dengan sang anak. kembali dipertanyakan apakah ini adil?
mencermati masalah anak tersebut, berarti merupakan pengingkaran terhadap hak anak untuk mendapatkan kasih sayang. namun tentu saja kita tidak bisa melarang seseorang untuk mencari pekerjaan sebagai buruh migran.Lalu siapa yang salah di sini?
Jeratan kemiskinan telah mengakibatkan msalah yang kompleks, dan memposisikan orang dalam lingkaran setan kemiskinan. Apakah negara peduli tentang masalah ini? Entahlah, tapi kupikir tidak, karena buktinya pemrintah akan menaikkan angka pengiriman buruh migran hingga 200%. APa akibatnya? tentu saja akan banyak kasus-kasus buruh migran dan juga anak-anak yang ditelantarkan.